TAHUN BARU PENUH BERKAT

354

HIDUPKATOLIK.COM 

Sanjaya

Dia memang memiliki kharisma yang membuat banyak orang terpukau dengan tutur katanya. Ujung tahun pada pusat keramaian di kawasan perkantoran SCBD Jakarta. Dia dikerumuni pemburu berita. Malam ini galeri yang dia miliki menggelar pameran lukisan akhir tahun para maestro lukis nasional. Cita rasa seni, bergabung dengan tangan midasnya dalam mengolah ekonomi, membuat lukisan-lukisan yang dipamerkan diserbu para kolektor.

Dari jarak jauh dia melihat kehadiranku. Di tengah kerumunan pemburu berita, dia cukup menggerakkan ujung jari. Aku sudah paham. Kucari kedai kopi dekat lokasi pameran lukisan. Setengah jam berikut, dia menuju kedai kopi.

“Cah bagus,” dia berucap. Memanggil diriku dari penggalan kata, bocah bagus. Aku mengangkat tubuh. Dia memelukku.

“Bvlgari pour homme. Aku suka bau ini,”ungkapnya.

“Sukses pameran lukisannya, Jeng Ola,” aku kecup pipinya. Ya, aku memanggil dia dengan awalan ‘jeng.’

Dia memesan minuman kesukaannya macchiato, kopi espresso dengan sedikit busa. Hanya tiga tegukan macchiato masuk ke bibirnya. Selanjutnya dia kembali ke lokasi pameran lukisan yang semakin ramai pengunjung. Meninggalkan diriku.

“Pembukaan pameran yang luar biasa. Separuh lukisan sudah terjual,” kata dia ketika kami menelusuri penggalan jalan SCBD. Sisa-sisa hiasan Natal masih mengepung SCBD. Ditambah menyambut tahun baru, aneka lampu berwarna-warni memperindah ibu kota. Hanya berjarak dua ratus meter dari lokasi pameran, apartemen milik Jeng Ola.

Dari lantai tiga puluh dua, terlihat Jakarta bermandi cahaya. Dari kamar Jeng Ola, kami mandi keringat. Itulah ritual yang selalu aku jalani. Setiap akhir pekan aku menginap di apartemen Jeng Ola.

Minggu ketika pagi menguak. Sarapan yang biasanya selalu nikmat, kali ini terasa hambar. Jeng Ola terisak. Mengumpulkan suara untuk kemudian berbicara lirih di telingaku. “Ami menyuruh aku segera ke Melbourne. Sebentar lagi dia melahirkan. Ami meminta proses kelahiran anaknya ditunggu maminya. Selanjutnya memohon agar aku tinggal di Melbourne. Dia sarjana seni. Mengajak aku menerapkan ilmunya, mengembangkan galeri untuk go global. Aku tidak bisa menolak permintaan anakku, Cah Bagus.”

Jeng Ola menunduk, tiada menatap wajahku. Aku terpaku tidak mampu bergerak. Hening tercipta. Jakarta di waktu pagi. Hari pertama membuka tahun, terasa sunyi. Selanjutnya aku peluk erat tubuh Jeng Ola. Aku menangis. Aku meraung-raung. Jeng Ola lima puluh enam tahun, aku dua puluh tujuh tahun. Jeng Ola bukan sekedar kekasihku. Dia ibuku. Ibu menuju nirwana ketika melahirkan aku. Aku sejak lahir tidak pernah melihat ibu. Aku tidak pernah merasakan pelukan ibu. Dipelukan Jeng Ola, aku kembali menjadi kanak-kanak. Kanak-kanak yang disusui ibunya.

Ola Maheswari

Ami anakku. Umur empat tahun, terakhir dia melihat papinya. Selanjutnya, hanya kami berdua. Ami tidak pernah bertanya tentang papinya. Aku tidak pernah menceritakan mantan suamiku. Tangan kasar suamiku yang membuat bilur-bilur pada wajahku, menjadi akhir dari perkawinan. Karierku sebagai profesional di bank asing, tidak membuat dia bangga. Justru menjadi sumber percekcokan. Proses pengadilan yang cepat, memutuskan Ami menjadi hak asuhku.

Setahun lalu, Ami terbang dari Melbourne menuju Jakarta. Mengabarkan akan menikah. Menuntaskan magister seni di negeri kangguru dan memutuskan untuk bekerja di Australia, Ami mendapat jodoh imigran dari Vietnam.

“Mami….” katanya penuh kehati-hatian dihadapanku. “Boleh aku tahu di mana sekarang papi? Aku mau meminta restu padanya. Bagaimanapun juga dia tetap papiku.”

Aku tak mampu berucap. Bertahun-tahun aku dihantui ketakutan akan pertanyaan dari anakku tentang papinya. Dan akhirnya anakku bertanya. Aku menuju dapur. Aku bikin minuman kesukaan Ami, teh Twinning aroma earl grey. Dua cangkir teh Twinning. Duduk berhadapan. Aku berkata dan tidak paham dimana ragaku ketika bercerita.

“Dia bukan papimu. Aku mengambil kamu dari panti asuhan di Bantul. Suster memberi data-data siapa dirimu dan orang-tuamu. Namun aku dan papimu tidak ingin tahu asal-usulmu. Data-data tentang dirimu kami bakar begitu kamu tiba di rumah ini.”

Brigitta Utami 

Cerita dari mami meruntuhkan nalarku. Aku bukan anak kandungnya. Rahim bermasalah menjadikan mami tidak bisa memiliki anak. Namun aku tetap mencintai mami. Mami adalah utusan Tuhan untuk membesarkan diriku.

Secuil cerita dari mami membawa aku terbang ke Yogya. Dari bandara aku menuju ke selatan kota, dua puluh tujuh kilo meter jauhnya. Di kawasan nan asri Ganjuran. Ada panti asuhan yang sudah ada sejak jaman Belanda. Suster kepala menemui diriku. Aku bercerita, diadopsi mami dua puluh enam tahun lalu. Kukatakan, semua data tentang diriku sudah dibakar sama mami.

Suster kepala menuturkan orang tuaku masih ada di Bantul. Seniman tradisional yang sering mementaskan ketropak keliling kampung. Info yang berharga bagiku. Ada alasan bahwa aku dari Australia ingin meneliti kesenian tradisional untuk bahan tulisan.

Dari panti asuhan Ganjuran, menuju desa Mangiran. Tepat di pinggir  Sungai Progo. Ada joglo yang sedang diperbaiki. Lelaki sepuh lima puluh tujuh tahun dengan tubuh masih kekar, berdiri memandangi joglo. Aku jabat erat tangannya. Kutahan agar air mata tidak membludak memenuhi wajahku. Lelaki sepuh kekar itu, bapakku.

“Panggil saja Pakde Karso,” dia mengenalkan diri. “Senang ada peneliti seni dari Australia mampir ke rumahku. Di joglo ini warga desa berlatih kesenian. Dulu kalau hujan latihan bubar. Joglo tidak mampu menampung tumpahan air hujan. Anakku mengirim uang untuk membangun joglo baru. Ayo Ami, masuk ke rumah.”

Pakde Karso mengajak aku masuk ke rumahnya. Ruang tamu yang juga baru selesai diperbaiki. Aku membenamkan diri pada kursi kuno khas desain Yogya.

“Untung anakku rejekinya lancar. Bisa memperbaiki rumah,” Pakde Karso sekali lagi membanggakan anaknya.

“Anak Pakde sekarang di mana?” aku bertanya. Pakde Karso berdiri, mengajak aku memandang foto yang dipajang di tembok. Ada tiga foto. Satu, saat Pakde Karso menggendong anaknya berseragam SD. Dua, Pakde Karso memegang kendang, anaknya bermain kuda lumping. Tiga, anaknya memakai toga. Pakde Karso memakai jas, disampingnya.

“Sejak kecil tole sudah aku ajak keliling pentas ketoprak. Tole bakatnya pada musik. Makanya tole mahir main gamelan. Kalo pentas, ya sekadar main kuda lumping saja,” Pakde Karso menunjukkan foto anaknya yang dipanggil tole – sapaan anak laki-laki di Jawa – bermain kuda lumping.

“Kalau foto ini, Pakde?” kutunjuk foto ketika tole memakai baju wisuda. Tole nan ganteng penuh wibawa dengan baju wisuda.

“Begitu kuliah, tole aku batasi main kesenian. Fokus pada pendidikan. Jangan seperti bapaknya yang SD saja tidak lulus. Tole lulus sarjana ekonomi dari UGM. Lalu berburu beasiswa melanjutkan strata dua. Tole mendapat beasiswa pemerintah Perancis. Tole lulus dari Sorbonne Perancis. Pakde baru sekali pakai jas. Baru sekali pula keluar Pulau Jawa, langsung terbang jauh ke Perancis,” ada kebanggaan nan meluap pada diri Pakde Karso ketika bertutur tentang anaknya.

Tole, anaknya yang tak lain saudara kandungku.

Sanjaya

Minggu pagi awal tahun yang muram. Jeng Ola dalam waktu tidak lama akan terbang ke Negeri Kangguru. Di Melbourne dia akan momong cucu sekaligus memenuhi ajakan anaknya untuk membangun galeri berkelas internasional. Nalarku mampat. Tidak mampu menjawab hubunganku dengan Jeng Ola. Mengendorkan nalar, cara terbaik, menelepon Bapakku.

“Kok tumben pagi-pagi nelpon?” dari seberang nun jauh terdengar suara Bapak.

“Tahun baru, Pak,” aku menjawab.

“Kebetulan. Mengawali tahun saatnya Bapak harus bercerita padamu. Kamu wajib mengerti siapa dirimu,” suara Bapak lirih, namun terdengar jelas. Aku diamkan, karena aku tidak paham apa yang akan diceritakan Bapak.

“Kamu lahir kembar. Dulu ketika melahirkan dirimu, ibumu juga melahirkan kembaranmu. Hanya bertahan satu jam setelah melahirkan, ibumu meninggal. Ada wasiat yang dibisikan ibumu sebelum meninggal. Bapak harus membesarkan kamu dan kembaranmu sebaik-baiknya.” Suara Bapak hilang. Sunyi yang terjadi.

Suara Bapak muncul kembali. Kali ini menahan isakan tangis. “Sayang Bapak tidak bisa memenuhi wasiat ibumu. Sebagai pekerja seni tradisional Bapak tidak bisa sekaligus membesarkan dua anak. Walaupun begitu Bapak tetap berpegang teguh dengan wasiat ibumu untuk membesarkan dirimu. Bapak tidak  menikah lagi,”  dari balik ponsel suara Bapak tercekat. Aku tetap tanpa suara.

“Kembaranmu perempuan. Dulu bapak titipkan di Panti asuhan Ganjuran. Temukan kembaranmu, Tole!” Bapak tidak mampu berucap lagi. Telpon terputus.

Perintah Bapak adalah titah. Yang harus aku tunaikan dengan tuntas. Akan aku cari kembaranku. Akan aku temukan dia, perempuan saudariku.

Perempuan itu bernama Brigitta Utami. Gadis cantik, anak asuh Jeng Ola.

Natal 2022 – Tahun Baru 2023!

Oleh A.M. Lilik Agung, Penulis/Cerpenis/Trainer Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini