Uskup Denpasar Mgr. Silvester San: Mari Belajar dari Panggilan Yusuf

231
Mgr. Silvester San

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 18 Desember 2022 Minggu Adven IV, Yes.7:10-14; Mzm.24:1-2,3-4ab,5-6;Rm.1:1-7;Mat.1:18-24

KISAH Matius dalam Injil ini diberi judul “Kelahiran Yesus Kristus”. Tetapi kalau kita membaca kisah ini dengan penuh perhatian, kita akan setuju bahwa temanya bukan kelahiran Yesus, melainkan lebih tepat: kabar malaikat kepada Yusuf; sejajar dengan kabar malaikat kepada Maria dalam Injil Lukas (1:26-38). Malah beberapa ahli Kitab Suci cenderung untuk menetapkan bagi kisah ini suatu judul yang lebih tepat lagi, yaitu “Kisah Panggilan Yusuf”.

Ilustrasi Santo Yosef dengan bayi Yesus (Dok. media.ascensionpress.com)

Yang menjadi latar belakang kisah panggilan Yusuf ini adalah sebuah peristiwa yang menggoncangkan hati Yusuf serta mengacaukan seluruh rencana hidupnya. Yusuf telah bertunangan dengan Maria. Meskipun menurut hukum Yahudi mereka boleh disebut “suami-istri”, namun mereka belum berhak hidup sebagai suami isteri. Sebab tahap kedua dari upacara perkawinan mereka, yaitu penjemputan Maria ke rumah suaminya, belum diadakan. Justru di masa persiapan akan peresmian perkawinan itu, Yusuf menyadari bahwa tunangannya telah mengandung. Karena itulah ia mau menceraikan Maria dengan diam-diam.

Tulus Hati

Apakah Yusuf merasa tertipu, maka ia mau menceraikan Maria dengan diam-diam? Rupanya tidak! Yusuf bermaksud menceraikan istrinya bukan karena ia tertipu. Menurut Mateus karena Yusuf seorang yang tulus hati. Persoalannya, apa yang dimaksudkan Penginjil Mateus dengan tulus hati? Apakah Yusuf disebut tulus, karena ia merasa kasihan terhadap Maria yang sudah hamil, karena ia tidak suka membuat ribut atau kehebohan di kampung? Rasanya tidak! Sebab menurut hukum Yahudi yang tercantum dalam kitab Ulangan (20:20), Yusuf berhak menceraikan istri atau tunangannya yang tidak setia. Malahan menurut hukum itu wanita demikian harus dirajam dengan batu. Andaikata Yusuf bertindak sesuai dengan hukum itu, ia tetap seorang yang tulus hati, dalam arti ia mematuhi hukum Taurat.

Tetapi, menurut Mateus, Yusuf tulus hati, sebab setelah menyadari bahwa Maria mengandung secara ajaib (hal ini tentu diketahuinya dari Maria), dan Allah mempunyai suatu rencana istimewa terhadap Maria dan Anaknya, dan oleh karena dalam keseluruhan rencana Allah itu Yusuf tidak melihat tempat bagi dirinya, maka ia menyingkirkan diri. Ia merasa tidak berhak untuk menjadi ayah bagi anak yang berasal dari Allah itu.

Keluarga Kudus Nazaret dalam gambaran Santo Josemaria Escriva.

Namun reaksi pertama Yusuf ini akhirnya mendapat penyelesaian. Yusuf menerima panggilannya sebagai bapa sekalipun dengan peran terbatas, sebagai bapa angkat. Yusuf melaksanakan kehendak Allah tanpa kata. Ia setia pada kehendak Allah atas dirinya. Jawaban tepat terhadap Allah dan rencanaNya dinyatakan tidak hanya dengan rasa hormat, tetapi juga dengan kesetiaan konkret terhadap panggilan dan rencana Allah. Dan kesetiaannya ini ditunjukkan dalam seluruh hidupnya: mendampingi Maria ke Betlehem, ke Mesir, kembali ke Palestina, hidup di Nasareth dan terus menemani keluarga kudus dengan setia. Jadi, Yusuf yang hampir melarikan diri dari tugas, dia itulah yang paling cocok untuk tugas itu. Dia melaksanakan perintah Allah bukan karena merasa diri mampu, melainkan karena merasa diri tidak layak, lalu diteguhkan oleh Allah sendiri.

Menjadi Model

Apa yang bisa kita teladani dari tokoh Yusuf bagi hidup kita?

Pertama, Yusuf adalah model bagaimana menjawabi panggilan Allah. Memang Allah memanggil kita ke dalam panggilan hidup yang beraneka ragam: panggilan membiara, panggilan menjadi imam, panggilan hidup berkeluarga, dan lain-lain. Kita sadar akan ketidakmampuan kita di hadapan Allah yang memanggil kita untuk menghayati panggilan hidup itu. Rasa hormat dalam pengalaman Yusuf adalah sikap kita-manusia pada umumnya berhadapan dengan panggilan Allah. Namun inisiatif dan campur tangan Allah dapat meneguhkan kita, seperti yang telah ditunjukkan-Nya kepada Yusuf. Dalam hal ini karena Allahlah yang menjadi kekuatan dan andalan kita, maka kita berani menjawabi panggilan Allah itu.

Santo Yosep

Yusuf yang taat secara total dalam seluruh hidupnya menjadi model bagi kita dalam menjawabi panggilan Allah. Kita tahu bahwa dalam Kitab Suci Yusuf tidak pernah berbicara sepatah katapun. Ia cuma taat pada apa yang diperintahkan Allah tanpa diskusi. Ketaatan ini sama nilainya dengan iman. Karena iman dan ketaatan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, seperti kata Santo Yakobus: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17). “Apa yang dilakukan oleh Yusuf sesungguhnya adalah ketaatan iman”, demikian kata Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Custos (RC 3). “Memang kepada Allah yang memanggil dibutuhkan ketaatan iman, dengan mana manusia menyerahkan diri secara total dan bebas kepada Allah”.

Kedua, Yusuf adalah tokoh yang tulus hati, tetapi bukan dalam arti legalistis, yaitu secara kaku mengikuti peraturan yang berlaku. Ia tulus hati dalam arti rohani. Setelah sadar bahwa Allah mempunyai rencana istimewa terhadap Maria, dan ia tidak melihat tempat bagi dirinya sendiri dalam rencana itu, ia berpikir lebih baik ia diam-diam menarik diri. Dan itu dibuatnya dengan tulus hati. Tetapi ternyata Allah membutuhkannya untuk memasukkan Yesus dalam keturunan raja Daud (Bdk Roma 1:3 dalam Bacaan Kedua). Yusuf dengan tulus hati mengikuti rencana Allah itu. Dan sampai akhir hayatnya ia menjalankan tugasnya dengan baik. Ia selalu berpikir dan bekerja secara lurus dan tulus, sesuai tugas dan panggilannya.

Pada zaman ini, ketulusan hati sering dianggap sebagai suatu kebodohan. Pernah seorang pemuda dicaci maki oleh keluarganya karena dia dianggap bersikap bodoh, sebab ia secara jujur mengaku bahwa dialah yang telah menghamili gadis tetangganya. Kita semua mengenal istilah-istilah seperti: diplomasi, asal bapak senang, uang pelicin, korupsi dan aneka bentuk ketidakjujuran, yang sering populer dipraktekkan. Saya kira, dalam situasi ini mungkin baik tokoh Yusuf ini lebih mendapat tempat dalam hati kita. Seperti Yusuf, kita perlu melaksanakan tugas panggilan kita masing-masing dengan tulus ikhlas.

“Karena iman dan ketaatan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, seperti kata Santo Yakobus: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak. 2:17).”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini