Andari Tak Suka Dipuji

192

HIDUPKATOLIK.COM -PEREMPUAN  mana yang tak suka dipuji? Rasanya tak ada. Dipuji karena perhiasannya mengikuti mode, pakaiannya seperti yang dipakai model top, atau tipe gawainya selalu mengikuti tren. Disanjung karena anaknya pintar-pintar dan bersekolah di sekolah dan universitas yang punya nama besar, suami yang tak pernah ragu menggelontorkan sebagian besar penghasilannya untuk keluarga, atau kendaraan yang nyaris tiga tahun sekali ganti yang baru.

Tapi Andari jengah ketika teman atau tetangganya celetuk, entah basa-basi entah bersungguh-sungguh, mengomentari hidupnya.

“Wah, Bu Andari mah enak. Anak-anak sudah besar, bersekolah di sekolah favorit, nilainya bagus-bagus pula. Sebentar lagi si bungsu lulus. Pasti dari relasi Ibu, si bungsu mudah saja mendapatkan pekerjaan yang diinginkan,” kata Bu Rosa tentang Yosa, bungsu Bu Andari.

“Banyak orang bisa melakukannya, Bu Rosa,” jawab Andari merendah.

Wajahnya gelisah karena pujian itu. Ada rasa yang mengusik dadanya ketika kalimat-kalimat Bu Rosa meluncur.

“Bu, jadi kita arisan WKRI sore nanti?” tanya Andari mengalihkan perhatian.

“Jadi dong. Saya berharap sore ini nama saya keluar dari kocokan,” kata Bu Rosa penuh harap.

“Nanti kita berangkat bareng saja, Bu. Depan rumah Bu Ranti tidak cukup luas untuk parkir. Nanti Ibu saya jemput jam empat, boleh?” tanya Andari.

“Iyalah, mobil ibu kan lebih bagus,” kata Bu Rosa.

“Bukan begitu. Mobil saya lebih kecil sehingga gang depan rumah Bu Ranti masih bisa dilalui kendaraan lain,” jawab Andari.

Keduanya berpisah di halaman gereja. Andari melaju ke Ansana Yoga, tempatnya berlatih seminggu tiga kali.

“Nah, ini. Sudah kepala 5 tapi badan masih lentur seperti usia 25,” puji Bu Anggia.

Perempuan berisi itu kagum pada Andari. Menurutnya, Andari yang berpostur sedang itu selalu sehat karena rutin berlatih yoga. Di masa pandemi, tak pernah sekalipun Andari batuk pilek atau flu seperti tanda-tanda terjangkit Covid. Virus yang bermutasi dengan banyak varian itu tidak sempat mampir padanya.

Lagi-lagi Andari tidak mengerti, mengapa tubuh yang sehat, yang sejatinya setiap orang dapat mewujudkannya, juga beragam aktivitas di gereja menjadikannya dipuji. Kemarin tanaman anggrek bulannya dipuji orang yang melintas di depan rumahnya. Matanya tidak berhenti melihat deretan tangkai anggrek putih menawan itu menjulur dan bergoyang manja di depan rumahnya. Bukankah semua orang, jika mau, akan punya anggrek yang sama? Asal rajin merawat, menyemprot nutrisi dengan rutin, mengajaknya berbicara, apa lagi? Tak ada. Memang hanya begitu ia memperlakukan tanaman-tanamannya hingga mereka asri, subur, dan menggoda mata.

Pujian dan sanjungan yang diterima dirasakan Andari sebagai berlebihan. Ia merasa belum mengerjakan sesuatu yang pantas untuk dipuji. Andai ibunya masih ada, beliaulah yang pantas menerima pujian itu. Dari ibunyalah semangat menggereja itu diterimanya. Seperti ibunya, Andari hampir selalu ada pada semua gerak langkah kegiatan gereja. Hari Sabtu dan Minggu lebih-lebih. Sabtu pagi KBG-nya tugas gotong royong membersihkan gereja, siangnya menata bunga untuk altar, Misa Sabtu petang tugas koor, Minggu pagi tugas tatib dan tata laksana, Minggu Siang tugas lektor atau mazmur, dan Minggu sore rapat panitia ulang tahun paroki. Nyaris sepenuh itu sebenarnya, tetapi terasa ada yang hilang dalam dirinya. Pujian-pujian itu pula, menambahinya dengan beban, sebuah rasa yang menjengahkan, mengusik nuraninya.

Rasa itu terus mengganggunya, terutama malam hari ketika ia surut dari banyak aktivitas. Ia merasa dibawa ke tempat yang jauh dan tinggi, melesat dengan cepat dalam angin yang dingin. Seseorang berjubah dengan sosok yang tak begitu kentara menerbangkannya ke langit. Sampailah mereka di padang luas nan sunyi. Samar-samar dari kejauhan terdengar bunyi lonceng gereja. Dentangnya sangat syahdu. Ia ingin menanyakan pada sosok yang membawanya yang berdiri di sampingnya. Ketika menoleh, ia tidak lagi menemukannya meskipun rasanya ia masih ada di sisi kirinya. Sosok itu ada tetapi tidak lagi berwujud. Terasa ada dan mendampingi tetapi tidak bisa dilihat.

Tampak dari arah timur jauh, keluar dari balik bangunan mahapurba yang dingin dan bisu, sebarisan perempuan mengenakan jubah putih semacam velum. Pakaian itu berwarna hitam, terbuka di bagian depan sehingga jubah putihnya tampak, dikancingkan dengan jepitan. Pada sisi kiri menjuntai manik-manik rosario dari logam sehingga ketika melangkahkan kaki ada bunyi kricik-kricik halus. Mereka beriring-iring dalam langkah-langkah sunyi menuju sebuah bangunan yang tak kalah purba dengan yang ada di seberangnya. Sebuah kapela, agaknya. Ups, tak salahkah matanya? Orang kelima pada barisan itu adalah dirinya. Ya, tidak salah lagi, itu Andari. Ia melihat dirinya bersama iring-iringan itu memasuki kapela yang terus membunyikan lonceng paginya. Laudes mengundangnya. Tepat ketika kaki-kaki mereka sampai di ambang pintu, kapela yang dimasukinya menjadi lebih terang dan transparan serupa kaca bening. Tampaklah sisi dalam bangunan itu. Satu per satu mereka menempati bangkunya, tidak terlalu dekat satu sama lain. Satu dari mereka mengangkat sebuah kalimat berirama: Ya, Tuhan, sudilah membuka hatiku. Secara serempak, lembut, dan syahdu yang lain menjawab: Supaya mulutku mewartakan pujian-Mu.

Andari menitikkan air mata. Ia larut dalam haru teringat keinginan masa remajanya dulu menjadi biarawati, sebuah keinginan yang akhirnya harus pupus setelah aneka peristiwa terjadi dalam hidupnya. Air matanya menderas. Andari makin sesenggukan. Napasnya tersengal-sengal menahan rindu untuk bisa melayani Tuhan secara khusus.

“Ma, Ma…bangun….”

Tubuh Andari terguncang-guncang. Matanya yang basah terbuka. Ketika sadar, Andari sangat kecewa, mengapa kesyahduan itu hanya mimpi. Mengapa keindahan itu cepat sekali berlalu? Ingin rasanya ia kembali masuk dalam mimpi itu, menikmati kesyahduan langka itu, berasyik masyuk dalam kemesraan bersama-Nya. Jika mimpi itu nyata terjadi saat ini, ia merasa lebih siap menerima pujian. Berhening, bermati raga, dan seluruh waktu hanya tertuju kepada-Nya adalah sebuah idealitas yang dirindukannya. Ia lelah dengan hiruk pikuk dunia. Ia ingin surut dari keramaian dan padatnya aktivitas, meskipun segala aktivitas itu atas nama Gereja.

Bagaimana pun, mimpi itu diawetkannya dalam benak. Serupa menjaga kenangan, meski tidak nyata, Andari menghidup-hidupi kesyahduan dan kerinduan itu.

“Mama sore ini pergi?” tanya Yona.

Andari terdiam. Pikirannya mengeja agenda. Ada rapat DPP dan malamnya berjumpa dengan beberapa OMK yang memintanya menjadi juri drama Natal bulan depan tetapi hatinya merasa kosong. Akankah dalam rapat nanti ia bisa fokus mengikuti jika hatinya sepi? Akankah ia bisa benar-benar membantu anak-anak OMK yang berharap padanya? Jangan-jangan ia hanya serupa kapak yang diayunkan ribuan kali tetapi tidak menghasilkan takik-takik pada batang pohon. Ia hanya kapak yang ketajamannya disirnakan oleh kayu-kayu yang dikenainya. Ia kapak yang lelah bekerja, kapak tumpul yang tak sanggup lagi bekerja. Andari bergelut dengan perasaannya sendiri. Berbagai aktivitas yang sudah dijalaninya selama ini terundang kembali dalam pikirannya. Mereka berseliweran, sibuk dan gaduh serupa lalu lintas metropolitan, kota yang dipenuhi kaum urban beragam tingkah. Mengapa makin banyak aktivitas seputar Gereja, hatinya justru merasa kosong? Terasa ada ruang tanpa jendela dan sangat pengap dalam hatinya. Makin penuh makin kosong serupa gelas tanpa dasar yang terus dituangi air, terisi terus tetapi tidak penuh bahkan airnya tidak tampak mengisi gelas. Ditanyainya hatinya. Benarkah aku sedang mengalami desolasi, tanya batinnya. Sesungguhnya ia memang sedang tersiksa dengan rasanya sendiri.

Suasana jadi hening dan pucat. Udara dingin dan tak bergerak.

“Mama mau ke bilik pengakuan dulu,” jawabnya lambat.

Mungkin memang sudah saatnya ia ber-agere contra. Biarlah bilik pengakuan saja yang mendengar kisahnya yang penuh tetapi kosong itu, yang padat namun ringan seperti semayup angin di punggung gunung. Sekeluarnya dari sana, Andari akan merasa lebih siap memasuki Adven, masa menanti-nantikan kelahiran Sang Penebus. Andari tertatih kembali belajar “duduk dekat kaki Tuhan” seperti Maria dalam kisah Marta dan Maria.

Oleh Lidwina Ika

HIDUP, Edisi No. 49, Tahun ke-76, Minggu, 4 Desember 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini