Aku ‘Tertampar‘ oleh Pria Bersepatu Robek dalam Gereja dan Pemuda dengan Praktik “Black Magic”

485
Erlöserkirche (Gereja Sang Penebus) di Wina Austria. (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)

HIDUPKATOLIK.COM – Terkadang kita tidak dapat melihat kesalahan pada diri sendiri, tetapi begitu kita melihat orang lain di situ pula ada cerminan diri kita.

Pria dengan Sepatu Robek-robek

Suatu pagi di musim dingin, dalam sebuah perjalanan saya bermaksud menghangatkan diri di dalam Katedral Stephan di Wina Austria. Ketika saya masuk, ternyata Misa baru saja dimulai. Maka saya memutuskan diri untuk mengikuti Misa.

Saya berdiri di bagian belakang gereja. Tidak jauh dari saya, ada seorang laki-laki yang tampak khusuk mengikuti Misa. Yang menarik adalah bahwa penampilannya sangat lusuh, kotor dan pakaian serta sepatunya robek-robek. Rambut dan janggutnya lebat seperti tidak terurus. Saya menduga mungkin ia seorang tunawisma. Namun ia begitu khusuk mengikuti setiap proses liturgi dalam misa.

Ketika liturgi persembahan berlangsung dan kantung kolekte diedarkan, ia mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya. Sebuah kantung plastik mungkin bekas permen atau makanan lain. Saya memperhatikannya. Ia mengeluarkan uang receh dari kantung tersebut dan memasukkannya ke dalam kantung kolekte.

Seketika itu juga hati saya terenyuh, tersentak merasa tertampar akan peristiwa tersebut. Saya merasa malu, malu padanya. Saya tidak selalu memasukkan uang persembahan ke kantung kolekte dengan alasan sebagai seorang biarawati saya tidak memiliki penghasilan pribadi. Tetapi laki-laki itu, dari keterbatasannya ia tetap memberikan sesuatu. Saya teringat kisah dalam Alkitab tentang seorang janda miskin yang memberikan dari ketidakpunyaannya (Lih. Markus 12:41-44 dan Lukas 21:1-4).

Menyaksikan laki-laki itu memberikan sesuatu untuk persembahan, saya merasa tertampar dan disadarkan. Bukan dia yang dengan pakaian lusuh yang miskin, tapi sayalah yang dengan pakaian layak yang sebenarnya miskin. Hati saya masih miskin akan cinta hingga saya tidak memberikannya pada orang lain, padahal Tuhan sendiri telah begitu besar mencintai saya.

Praktik Black Magic

Saya sedang berada di kantor sekretariat paroki Erlöserkirche, tempat saya bekerja dan sedang mengikuti kursus teologi secara online dari STF Driyarkara, Jakarta Indonesia.

Saat itu bukanlah jam operasional kantor paroki. Tiba-tiba datang seorang pemuda dan mengatakan bahwa ia memiliki sebuah pertanyaan dan membutuhkan jawaban dari pertanyaannya tersebut.

Saya katakan bahwa sedang ada kegiatan kursus teologi online. Saya memintanya menunggu sekitar 30 menit hingga kursus selesai. Tapi entah kenapa, hati saya terasa begitu tergerak untuk melayani pemuda tersebut. Pada akhirnya saya yakin bahwa Roh Kuduslah yang menggerakkan saya.

Saya tanya apa pertanyaan yang sedang mengganggu hatinya. Ia ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan dosa melawan Roh Kudus.

Saya langsung berpikir pasti ada sesuatu yang penting yang sedang terjadi pada pemuda ini. Saya pun mematikan kamera dan mikrofon laptop.

Kami duduk berhadapan. Saya tanya apa masalah yang sedang dihadapinya. Dengan wajah sangat sedih, ia menjelaskan bahwa ia sangat takut bahwa Yesus tidak akan mengampuninya sebab ia telah bertahun-tahun melakukan praktik black magic.

Ia telah berjanji bahwa ia akan menghentikannya, namun tetap saja ia terus mengulanginya dan ia merasa bahwa yang ia lakukan adalah sebuah dosa melawan Roh Kudus yang tidak akan diampuni Tuhan.

Dengan keterbatasan bahasa Jerman, saya berusaha pelan-pelan menjelaskan padanya. Tuhan pasti mau mengampuni kita asal kita sungguh mau bertobat dan kembali pada-Nya.

Tiba-tiba datang pastor paroki dan bertanya, mengapa ada pertemuan di kantor paroki padahal ini bukan jam operasional sekretariat paroki. Kemudian kami berbicara bertiga. Singkat cerita, kami bertiga bersama berdoa di depan altar memohon rahmat pengampunan dan hidup baru bagi pemuda tersebut.

Dalam kejadian tersebut, ada jiwa yang perlu diselamatkan yang jauh lebih penting daripada kursus teologi yang sedang saya ikuti saat itu. Inilah praktek teologi dan pastoral sesungguhnya, yang hidup, bukan sekedar teori.

Lagi-lagi saya merasa tertampar dan malu pada pemuda tersebut. Mungkin saya lebih banyak melakukan dosa daripada dia. Tapi mungkin saya tidak selalu sepenuhnya jujur mengakui dosa dan kelemahan saya. Sedangkan pemuda itu berani datang ke gereja yang jauh dari tempat tinggalnya untuk sekedar mencari jawaban dan berharap pengampunan.

Saya pun teringat salah satu tema tentang pertobatan yang saya ikuti dalam kursus teologi STF Driyarkara. Paus Pius XII pernah mengatakan bahwa dosa terbesar orang zaman sekarang adalah merasa tidak berdosa. Itulah salah satu dosa yang juga saya telah lakukan.

Dari dua peristiwa tersebut saya sungguh belajar tentang pemberian dan pertobatan. Tuhan menyapa kita lewat peristiwa sehari-hari yang tidak terduga. Lewat perjumpaan dengan orang-orang yang kita temui dalam perjalanan hidup sehari-hari, baik yang kita kenal maupun yang baru pertama kali kita temui. Terkadang kita tidak dapat melihat kesalahan pada diri sendiri, tetapi begitu kita melihat orang lain disitu pula ada cerminan diri kita.

Roh Kudus bekerja menyapa kita dan mengingatkan kita untuk perubahan hidup yang lebih baik karena setiap dari kita dipanggil untuk menuju pada kekudusan. Tuhan telah memilih kita masing-masing untuk menjadi kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya dalam kasih (Efesus 1:4). Sejatinya panggilan kekudusan adalah sebuah jalan menuju kesempurnaan dengan selalu memperbaharui sikap hidup sesuai ajaran Kristus. Eksistensi seorang Kristiani adalah untuk menjadi kudus dan sempurna. Kekudusan dan kesempurnaan ini kita bangun dalam komunitas orang-orang yang mengimani Kristus. St. Fransiskus Sales (1567 – 1622) mengatakan bahwa panggilan kekudusan bukan hanya milik mereka yang menekuni hidup religius, melainkan milik kita semua.

Selalu ada jalan untuk memperoleh pengampunan Tuhan, asalkan kita sendiri mau meninggalkan kebiasaan lama yang tidak baik dan memperbaiki diri. Itulah pertobatan. Jalan pertobatan juga merupakan sebuah jalan untuk mencapai kekudusan.

Semoga kita semua selalu dikaruniakan rahmat pertobatan, semangat untuk senantiasa memperbaharui diri dan semakin menjadi kudus dalam segala kerapuhan kita sebagai manusia.

Salam dari Wina Austria yang dingin, Sr. Bene Xavier, MSsR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini