Pesan Terakhir dalam Brevir

355

HIDUPKAOTOLIK.COM – LUCKMAN, itulah namaku. Nama itu mempunyai arti yaitu laki-laki yang beruntung. Keluargaku memilih untuk pindah rumah demi misi ayahku untuk bertani. Ayahku memutuskan untuk menjual rumah kami yang ada di pusat kota demi membeli rumah di salah satu pedesaan ini. Aku sangat suka dengan suasana pedesaan ini. Udaranya lebih sejuk dan terhindar dari polusi udara pabrik dan kendaraan. Aku dan adikku harus pindah sekolah di sini.

Di hari pertama tinggal di sini, tidur pagiku tidak sebaik di rumah lama. Pukul 05.00 pagi para petani sudah pergi ke ladangnya. Kupejamkan kembali mata ini, namun aku tidak dapat tidur lagi. Kuberanjak dari tempat tidurku dan melihat suasana pagi yang ada di luar. Para petani sudah menuntun kerbau-kerbaunya ke ladang. “Betapa menakjubkan,” batinku. Aku begitu terpana dengan sepeda-sepeda ontel yang berkeliaran di pagi ini.

 

***

“Ya Tuhan sudilah membuka hatiku.” Suara itu tiba-tiba muncul terdengar ketika aku membuka jendela kamarku. Kuterdiam sejenak dari mana suara itu berasal. Suara itu ternyata berasal dari sebuah pondok tetanggaku. Suara itu begitu lembut dinyanyikan. Ingin aku ke sana namun aku harus segera berangkat ke sekolah.

“Ayah, aku ingin sekali punya sepeda ontel. Apakah ayah punya uang untuk membelikannya untuk kami. Kami lebih baik naik sepeda saja daripada harus naik delman. Kalau naik sepeda kita kan lebih irit ayah.” Pintaku sebelum berangkat ke sekolah.

“Tanpa kamu minta, Ayah sudah berpikiran ke situ kok.”

“Lalu kapan ayah bisa membelikannya untuk kami?”

“Sepeda itu sudah ada di belakang. Pemilik rumah ini meninggalkannya untuk kita. Tapi sepeda itu belum dapat digunakan karena kita harus mengganti bannya. Besok Ayah beli ke pasar.”

“Horeee… Abang akan jadi supirku ke sekolah,”cetus adikku dari belakangku.

Siang ini aku mengajak adikku Antonius Son untuk keliling desa dengan berjalan kaki. Sekalipun terik matahari memancarkan rasa panas, namun rasa panas itu sangat berbeda di kota. Di desa ini terdapat sungai gotting. Bentuknya tidak seperti sungai melainkan hanya seperti kolam yang jernih sekali. Sungai itu dinamakan gotting karena bagi penduduk desa, air itu tidak pernah kering atau berkurang sekalipun di musim kemarau yang berkepanjangan.

Setelah ditelusuri, kolam itu tidak mempunyai mata air. Penduduk desa meyakini bahwa leluhur mereka memberi kepada mereka untuk dijaga. Sungai itu sangat bersih, di sekelilingnya terdapat bunga-bunga. Tidak heran karena sebagian dari penduduk suka sekali datang ke tempat itu untuk mengambil air. Air itu sangat berarti bagi mereka ketika musim kemarau tiba. Ada juga di antara mereka ketika pulang dari kerja, mereka menyisihkan waktunya untuk membersihkan sekitar sungai tersebut.

Setibanya di depan rumahku, aku mendengar suara dari pondok itu lagi. Lagu itu tak asing lagi di telingaku “Ave Mariam”. Jam menunjukkan pukul 3 sore. Rasa penasaranku itu membuatku untuk memberanikan ke pondok itu.

“Abang mau ke mana?”

“Mau ke pondok itu, De. Kamu duluan saja masuk, nanti Abang nyusul.”

“Son mau ikut ke sana Bang.”

Aku mengurungkan niatku ke tempat itu perihal takut mengganggu dia dengan kehadiran kami berdua.

“Kalau begitu Abang tidak jadi ke sana. Kalau kamu mau pergi ke sana, pergi saja sendirian.” Cetusku sehingga membuat mukanya sedih cemberut.

***

“Ya Allah bersegeralah menolong aku.”

Suara itu muncul lagi tepat jam 18.05 dari pondok itu. Aku duduk di depan jendela kamar untuk mendengar kata demi kata yang dinyanyikannya. Suara itu perlahan-lahan menghilang. Aku segera berlari ke pondok itu dengan harapan masih ada orang.

Kulihat laki-laki itu lagi berdoa “Bapa Kami” dengan khusyuknya. Kuperhatikan pondok itu dengan saksama, terlihat indah dan rapi. Di pondok itu terdapat lukisan-lukisan devosi jalan salib, patung Yesus, Maria dan Keluarga Kudus Nazaret. Ia melihatku tanpa ada rasa kaget ataupun curiga.

Satu minggu berlalu, aku selalu mendengar nyanyian itu pada jam yang sama. Tak pernah aku merasa terganggu bahkan hatiku terasa tenang mendengar suaranya yang begitu lembut. Rasanya aku ingin bernyanyi bersamanya.

“Ada apa, De?”

“Boleh saya masuk.”

“Tentu saja boleh. Anggap saja rumah sendiri.”

“Perkenalkan nama saya Luckman.”

“Saya Sutrisno. Panggil saja saya Mas Tris.

“Saya ingin bertanya, mengapa Mas bernyanyi pada jam yang sama di pondok ini ya?”

“Saya sedang berdoa, De. Doa itu harus didaraskan dengan penuh penghayatan. Nah, inilah namanya brevir atau sering disebut Buku Ibadat Harian. Semua umat Katolik dapat melakukan itu tanpa terkecuali. Jika De mau, kamu juga dapat melakukannya baik pagi, siang, sore dan doa malam “completorium”.

Ia mengajariku begitu banyak tentang brevir. Tata cara menggunakannya dan sejarahnya dijelaskannya secara perlahan-lahan kepadaku. Ia juga bersedia mengajakku untuk berdoa bersamanya.

Pukul 06.00 pagi ia sudah duduk tenang di pondok itu. Kami mengawalinya dengan Angelus. Hari pertama, kedua, ketiga, aku masih tahap belajar meraba-raba. Setelah ibadat selesai, kami sering bercerita tentang pengalaman. Ia berpesan kepadaku bahwa ada banyak jalan untuk menjadi pribadi yang baik dan kudus. Pesan-pesan yang dititipkannya seakan dia akan pergi jauh.

Mas Tris tidak pernah memuji pribadinya yang menurutku begitu luar biasa dalam segala hal. Keuletannya dalam berdoa seakan sudah menjadi kebiasaan permanen yang tidak bisa hilang darinya. Di saat aktivitasnya yang kosong, ia sering melukis. Hal itu tampak di pondoknya terdapat banyak lukisan Keluarga Kudus Nazaret. Mungkin apabila lukisan ini dipasarkan pasti akan banyak yang berebutan untuk membelinya. Namun pilihannya yaitu memberi dengan cuma-cuma apabila ada orang yang memintanya. Setiap orang yang mau membayar lukisannya, ia selalu menolaknya.

Seperti biasanya pagi ini kami akan melakukan ibadat pagi sebelum beraktivitas. Sudah 20 menit aku menunggunya namun ia tak kunjung datang. “Apakah dia lupa? Apakah dia sakit? Atau dia ketiduran?” pertanyaanku terlalu banyak kemungkinan. Tapi bisa saja dia sakit akibat kelelahan karena dia juga seorang manusia.

“De Luckman ya?” Suara seorang Nenek dari belakangku.

“Ia, Nek. Saya lagi menunggu Mas Tris.”

“Mas Tris pernah sesekali menelepon nenek ketika saya dan suami saya berada di Australia. Kami menitipkan rumah ini kepada Tris. Ia adalah cucu nenek.

“Jadi Mas Tris ada di mana sekarang Nek?”

“Ia menitipkan ini kepadamu dan kembalilah ke rumahmu dan bukalah itu. Nanti kamu akan menemukan jawabannya.”

Mas beri brevir ini untukmu. Maaf saya tidak bisa cerita kepadamu bahwa saya adalah seorang frater. Saya kebetulan liburan di rumah nenek. Saya kembali melanjutkan study. Semoga kamu tertarik mengikuti jejak panggilanku menjadi pewarta Sang Kebenaran. Selalu layanilah Tuhan dengan sukacita. Banyak jalan untuk menjadi pribadi yang baik dan menjadi kudus, yakni senantiasa bersyukur demi kemuliaan Allah. Tris… Australia.

Oleh Fr. Yohanes Siringo-ringo

HIDUP, Edisi No. 40, Tahun ke-76, Minggu, 2 Oktober 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini