KETAMIN

233

HIDUPKATOLIK.COM – DENGAN sorot mata menghunjam, kau tatap nenekmu yang berdiri kaku hanya sekitar tiga jengkal dari batang hidungmu. Perempuan berusia 75 tahun itu terlihat tegang. Tiada binar sukacita tersirat di wajahnya. Sulur-sulur penuaan mulai menjulai di situ. Padahal biasanya Oma –begitu kau menyapanya— senantiasa bersikap ramah dan ceria. Jarang sekali kau lihat mendung menyaput wajahnya yang masih ayu.

Sosok ekstrovert itu cenderung riang dalam berbagai cuaca kehidupan. Kalaupun tengah ditindih beban tak ringan, ia sanggup menyembunyikannya hingga tak kentara. Bahunya begitu kuat menyangga beban persoalan yang datang silih berganti. Energi positif itulah yang kau serap dalam keseharianmu meski sesungguhnya kehidupan nenekmu kerap dipulasi aneka drama, sebagaimana sebuah panggung sandiwara.

“Oma ingin berbicara sesuatu kepadamu,” ujar nenekmu mengawali perbincangan pada suatu senja yang terasa sejuk karena baru saja dibasuh hujan.

“Ada apa, Oma?” balasmu dengan mimik heran.

“Setelah 20 tahun rahasia ini disimpan rapat, sudah saatnya Oma membeberkannya kepadamu supaya semuanya menjadi terang-benderang,” sambung nenekmu dengan paras serius.

“Rahasia apa, Oma?” tanyamu mulai digelitik penasaran.

“Rima, sesungguhnya ayahmu masih hidup,” ungkap nenekmu dengan suara bergetar saat mendongkel kenangan pedih keluarganya. Kau terhenyak mendengar kalimat itu. Meski demikian, sekuat daya kau berupaya menata perasaan supaya tampak tenang.

“Di mana ayahku, Oma?” kejarmu.

Nenekmu terdiam. Diam yang perih. Jeda perbincangan sekian detik terasa sebegitu lama dan menggelisahkan. Terlebih, selama ini yang kau tahu orang tuamu telah tiada sehingga nenek yang mengasuhmu sedari bocah.

“Mengapa begitu lama Oma membohongi aku?” tanyamu dengan suara lirih. Lirih namun bergemuruh laksana kidung duka yang ditabuh dari kedalaman palung hati yang terjal dan tajam. Kepala nenekmu mengangguk lemah diikuti tatapan hampa.

“Ayahmu masih hidup, Rima. Sudah 20 tahun ia mendekam di penjara. Kami sengaja menyimpan aib ini, menunggu usiamu dewasa supaya kau siap mendengarnya,” tandas nenekmu. Ketegangan masih berjejak di wajahnya yang mulai digerogoti sang waktu.

Sesaat kau tepekur, mencoba mencerna pengakuan getir yang terlontar dari mulut nenekmu. “Begitu pandai kalian menyimpan rahasia ini,” gerutumu dikuntit sesal yang lekas merimbun.

“Mengapa sebegitu lama ayah ditahan di penjara, Oma? Bukankah profesinya dokter?”

Kau memberondong nenekmu dengan beragam pertanyaan yang bersusulan, seakan kau ingin mengentaskan dahaga keingintahuanmu tentang orang tuamu. Berulang kali nenekmu mengatur napas perlahan laksana hembusan asap tungku yang hampir padam.

“Ayahmu memang dokter, dokter jahanam!” cerca nenekmu dengan bibir meliuk sinis. Profesinya yang mulia ternoda karena benaknya dijejali oleh siasat laknat. Mendengar kisah durjana keluargamu, berulang kali lututmu bergetar. Telapak kakimu seakan lengket di lantai marmer yang tidak lagi berkilau. Sementara itu, kau kerahkan puing-puing tenaga agar bisa terus melangkah, menyambut esok yang tiada pasti dengan harapan yang terlanjur rebah.

***

Betapa pedih. Kau hadir dari orang tua yang kerap tak seiring. Tidak sulit bagi ayahmu beranjak dari kabut yang menyelimuti rumah tangganya. Kerlingan seorang pasien belia nan jelita di ruang praktik membuat nalar ayahmu tersesat hingga terjerat dalam rengkuhan hangat sang dara.

“Ayahmu selingkuh,” kenang nenekmu melepas geram yang telah terkubur sekian waktu.

“Kasihan ibumu. Ketulusannya tidak pernah cukup untuk menyenangkan hati ayahmu,” tutur nenekmu mengobrak-abrik kenangan sepahit empedu di benaknya.

Namun, ibumu berhati lapang. Ia tidak oleng menyaksikan ulah ayahmu yang kerap menerjang batas. Prahara kehidupan tiada sanggup menyungkurkan semangatnya. “Ibumu berhati pualam,” puji nenekmu dengan tatapan lurus. Sayangnya, ia bersuamikan lelaki jahanam, lanjut nenekmu memuntahkan gelora amarahnya.

Setiap kali ibumu wara-wiri dalam kesibukan rumah tangga, ayahmu memasukkan cairan anestesi ketamin ke dalam minumannya. Alhasil, nyaris setiap hari ibumu meneguk teh yang telah tercampur dengan ketamin. Selayaknya dokter, ayahmu tahu persis perihal ketamin beserta kontraindikasinya. Cairan itu tidak berwarna, tidak berbau, dan mudah larut di dalam air. Overdosis ketamin yang kemudian membuat napas ibumu kerap tersengal.  Belakangan, kondisinya memburuk. Obat dari ayahmu hanya sanggup meringankan deritanya sejenak. “Hingga suatu malam, ayahmu membawa kabar buruk bahwa ibumu mengalami serangan jantung,” ungkap nenekmu.

Semua berlangsung laksana kilat menyambar. Arwah ibumu keburu berpulang. Jasadnya ditemukan tidak wajar; warna kulitnya yang langsat berubah keunguan, pertanda kurangnya pasokan oksigen di dalam aliran darah pada puncak sekaratnya. Kematiannya diiringi selaksa tanya. Kecurigaan serta-merta menelusuk benak nenekmu. Terlebih, selama ini tiada selarik pun pertanda ibumu mengalami gangguan jantung.

Lantas, nenekmu menggelar mufakat keluarga agar jasad ibumu diautopsi. “Satu-satunya yang menentang keputusan itu justru ayahmu! Ia berdalih tidak tega jika tubuh ibumu disayat-sayat dengan pisau bedah,” kenang nenekmu, membuat kau kian geram.

Ayahmu tak kuasa berkelit tatkala hasil autopsi dibeberkan. Didapati kandungan ketamin dosis tinggi di dalam sistem pencernaan dan aliran darah ibumu. Overdosis ketamin yang menjadi penyebab kematian ibumu dan pelakunya adalah ayahmu!

Duniamu nyaris runtuh. Ratapanmu mengalun. Amarah, kebencian, dan dendam seketika berpadu di hatimu. Kau terisak pilu, dadamu naik turun hingga jalan napasmu sesak.

***

Sejak nenekmu membongkar rahasia kelam itu, kau tersungkur dalam duka mendalam. Selama beberapa waktu, kau kerap mengunci diri. Ada sesal tak berkesudahan mencecap realitas segetir empedu!

“Begitulah jalan hidup, Rima. Lakoni saja,” ucapku mencoba membesarkan hatimu.

“Enaklah kalau cuma ngomong. Yang merasakan, yang apes,” gerutumu dengan raut manyun.

“Tidakkah kau ingin belajar ikhlas?” kataku perlahan sembari menahan debar jantung.

Kau terdiam. Diam yang hancur dan berkeping.

Sebulan berselang, tak disangka-sangka kau mengokang tekad untuk menjenguk ayahmu di dalam bui. Aku sungguh mengagumi keputusanmu. Samudera maaf segera terentang di dalam sekepal hatimu. Meski langkahmu berat, kau kuak gerbang ampunan bagi lelaki keji yang tega meracuni ibumu melalui tetes demi tetes ketamin!

Di ruang LP yang muram, kau menunggu ayahmu keluar dari salah satu sel. Sejurus berselang, sesosok lelaki renta menyongsongmu. Lelaki yang pernah terperosok ke dalam kubangan dosa. Parasnya telah berbeda dari foto-foto lawas di album keluargamu yang terserak di atas almari. Ia tampak tua dan penat.

“Rima…,” sapanya sembari melepas senyum.

“Ayah…,” sambutmu perlahan seraya berupaya melumerkan kebekuan yang sempat menjelajahi hatimu.

Keteganganmu belum sirna, ketika ayahmu berujar, “Kau menjenguk aku pada saat yang tepat. Minggu depan, aku bebas…”

Kau terdiam. Diam yang kelu. Sementara batinmu masih berjingkat-jingkat menapaki realitas kelabu.

Oleh Maria Etty

2 KOMENTAR

  1. Cerpen-cerpen Maria Etty sungguh sangat menghibur. Tema-tema yang dipilihnya sangat beragam menggambarkan keluasan wawasan dan pengetahuan terhadaap tema yang digarapnya sangat mumpuni. Sudut pandang orang “kedua” memberikan nuansa baru membuat cerita mengalir lancar begitu apik. Ending yang “sengaja” dibuat “terbuka” atau menggantung justru menjadi kekuatan Maria Etty menggiring pembacanya untuk menyelesaikan cerpen dengan imajinasi masing-masing.
    Akan sangat berharga jika cerpen-cepen itu dikumpulkan dan dibuat antologi dan diterbitkan sebagai buku, sehingga semakin banyak pembaca mendapatkan hikmah dari pmbelajaran terhadap nilai-nilai kehidupan yang ditawarkannya. Semoga!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini