Dari Kunjungan Paus ke Kanada: Gereja Mewartakan Injil

165
Paus menyapa umat yang antusias menyambutnya.

HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus, terutama juga dalam ekshortasinya Evangelii Gaudium, menegaskan secara jelas bahwa identitas dan ciri dasar Gereja adalah misioner. Gereja ada karena diutus. Memang sudah sejak awal dia mengingatkan kita agar Gereja berani keluar, tidak tinggal diam dan tenggelam di dalam, sibuk dengan diri sendiri, berpusat pada diri sendiri (self-referential Church). Namun dia sempat bertanya, mengapa semangat misioner sekarang ini cenderung pudar dan melemah. Hal tersebut juga dikatakan oleh Benediktus XVI, yang menyebut salah satu krisis yang dihadapi Gereja saat ini adalah pudarnya semangar evangelisasi. Tidak heran dia mengundang diadakannya sinode uskup tentang evangelisasi baru (2012)

Perkembangan Pemahaman Misi

Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah kabar gembira, demikian bagian akhir Injil Markus memberitakan. Sebelum kenaikan-Nya ke Surga, perintah atau perutusan itulah yang diberikan Tuhan kepada para murid-Nya. Hal itulah yang kemudian dilaksanakan oleh para rasul. Maka kalau dikatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang apostolis, kenyataan tersebut tidak saja berbicara tentang keberakaran Gereja akan ajaran serta warisan dasar iman para Rasul, namun adalah juga karena Gereja senantiasa mewarisi serta menghidup ciri apostolis para rasul. Karena itu, misi atau perutusan pewartaan iman merupakan perutusan dasar dan fundamental bagi kehidupan Gereja, bagian dari jati diri Gereja.

Paus Fransiskus menyampaikan pidatonya saat bertemu dengan komunitas pribumi, termasuk First Nations, Metis dan Inuit, di Gereja Katolik Our Lady of Seven Sorrows di Maskwacis, dekat Edmonton, Kanada, Senin, 25 Juli 2022.

Karya keselamatan dilaksanakan Allah karena ada yang diutus untuk mewartakannya dan menjadi alat untuk mewujudkan karya itu, dalam bimbingan Roh Kudus. Karya keselamatan dalam diri Kristus itu dipercayakan-Nya kepada Gereja, oleh karena itu, seluruh umat beriman dipanggil untuk ikut terlibat dalam karya keselamatan kasih tersebut. Maka Paulus pun berseru, “Celakalah aku, jika tidak memberitakan Injil” (1 Kor. 9,16). Undangan untuk mewartakan Injil menjadi hakikat dasar keberadaan Gereja.

Tidak bisa disangkal bahwa perhatian Gereja akan ciri misioner dalam dirinya pada awalnya belum terumus dalam suatu paham teologi misi yang utuh. Dokumen-dokumen awal Gereja tentang misi lebih memberi perhatian akan aspek ‘pembaharuan’ yang didapatkan saat orang memeluk iman akan Kristus, karena itu perlu ada pengujian sungguh agar mereka menanggalkan cara hidup yang lama, lengkap dengan mengambil jarak dari kehidupan kultural sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri hal tersebut diwarnai dengan pandangan akan kesesatan atau kekafiran atas segala sesuatu yang di luar tradisi iman kristiani. Hal tersebut bisa dilihat dalam hasil baik dari Konsili Nicea (325) maupun Lateran (1215), dan bahkan Basel (1434).

Gagasan yang mengabaikan nilai-nilai tradisi dan budaya yang lain, terlebih di daerah misi, berkembang pula di saat-saat mulai berkobarnya gairah evangelisasi, yang menyertai semangat kolonialisasi. Paham tersebut dilandaskan Dum Diversas, dari Paus Nicholas V (1452), Romanus Pontifex (1455). Hal tersebut kemudian seakan dikokohkan dengan bulla Paus Alexander VI, Inter Caetera (1493), yang memberikan kewenangan    kepada penguasa Spanyol dan Portugal waktu itu untuk menguasai kawasan-kawasan yang ditemukannya. Dari sini kita kemudian mengenal dalam sejarah istilah “gold, glory, gospel”, penguasaan wilayah baru berjalan untuk mencari kekayaan, kemuliaan dan penyebaran agama.

Bulla Sublimis Deus (1537) dari Paulus III membuat langkah baru dalam karya misi. Di dalamnya Paus menyatakan bahwa warisan tradisi dan sejarah suku-suku Indian, bahkan hak milik mereka,   perlu dihargai, dan jangan sampai dipaksa untuk mengingkarinya, apalagi kemudian menjadikan mereka sebagai budak. Menariknya, bulla ini ditujukan lebih tentang orang-orang Indian, dan Paus mengingatkan untuk menghargai mereka sebagai pribadi manusia, dan pengertian iman pada diri mereka hendaknya disesuaikan dengan kemampuan pemahaman mereka. Perkembangan ini kiranya ikut dipengaruhi oleh pengalan lama sebelumnya dari bagaimana Fransiskus Assisi dan Dominikus membekali secara bijak para anggotanya dalam menjalankan karya misi. Gereja belajar dari pengalaman panjang mereka, di tengah semangat misioner besar setelah masa perang salib.

Tetapi kesadaran untuk menghargai budaya setempat, tidak memaksakan kultur barat, serta upaya untuk mengembangkan imam setempat baru kemudian perlahan muncul di abad 17, antara lain dalam dokumen dari Propaganda Fidei 1659. Dibentuknya dokumen ini akan misi merupakan suatu terobosan, karena sebelumnya karya misi lebih dipercayakan pada tarekat-tarekat religius, dan kebanyakan dari mereka mendapatkan dukungan finansial dari kerajaan-kerajaan.    Setelah itu tidak ada perkembangan gagasan mengenai karya misi, apalagi sejarah karya misi lebih diwarnai oleh kiprah misioner tarekat-tarekat religius, lengkap dengan tegangan dan bahkan perselisihan antar mereka.

Kesadaran Baru

Awal abad 20 kesadaran misi muncul secara baru. Surat apostolik dari Paus Benediktus XV, Maximum Illud (1919)  lahir dari konteks setelah perang dunia I, menggambarkan gairah misioner yang hendaknya ditempatkan dalam kesadaran untuk membangun Gereja setempat, termasuk tenaga pastoral setempat.   Karena itu bahasa setempat perlu dipelajari, dan negara-negara misi perlu mengirim tenaga-tenaga misionaris yang berkualitas. Karya misi, karena merupakan sesuatu yang penting, karenanya tidak bisa dipercayakan kepada mereka yang kurang bisa menghasilkan buah. Maka para misionaris perlu dipersiapkan secara sungguh. Surat tersebut kemudian dilanjutkan Ensiklik Rerum Ecclesiae (1926) dari Pius XI, lalu Ensiklik pertama Pius XII, Summi Pontificatus (1939), yang seakan hendak mengatakan program dasar dari masa kepausannya. Di dalamnya Paus menyatakan karya misi memiliki tugas pula untuk membangun kesatuan, di tengah kenyataan perbedaan yang ada. Betapapun istilah inkulturasi belum dikenal, namun menghargai budaya setempat, dan agar karya misi membawa keuntungan rohani bagi bangsa dan masyarakat setempat disinggung pula.

Kunjungan ke Kanada bertujuan untuk rekonsiliasi dengan masyarakat adat atas peran Gereja Katolik di sekolah-sekolah berasrama.

Paus Yohanes XXIII dalam Ensikliknya Princeps Pastorum (1959) memberi warna baru tentang karya misi. Intensi dasarnya adalah untuk membangun Gereja setempat, dan demi kepentingan itu tidak saja pembinaan imam pribumi yang diperlukan, namun pula pembinaan kaum awam setempat perlu pula diperhatikan. Misionaris awam dimaksudkannya sebagai pribadi-pribadi Kristiani yang hadir di tengah ruang publik masyarakat setempat, yang memberikan kesaksian iman di tengah lingkungan masyarakatnya. Kesaksian hidup iman tersebut bagi Yohanes XXIII adalah pula bagian penting bagi karya misioner Gereja. Karena itu, Gereja perlu mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam kehidupan sosial, dan para imam perlu memberi perhatian serta pendampingan kepada mereka.

Vatikan II berbicara tentang karya misi terutama dalam dekrit Ad Gentes.   Misi Gereja, betapapun dilaksanakan oleh berbagai pihak, tetap adalah satu dan sama, diutus oleh dan dalam Gereja untuk mewartakan kabar gembira keselamatan. Karena itu karya misi pun berciri keberagaman dalam kesatuan. Karya misi tersebut selain merupakan karya yang mewartakan kabar keselamatan juga mewujud dalam pembangunan Gereja setempat. Tentu pengertian tentang Gereja setempat di sini, tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi masyarakat setempat. Tentang ini kita bisa mendasarkan pada kenyataan identitas Gereja Asia yang digambarkan Gereja dalam realitas dialog berdimensi tiga: kemiskinan, keberagaman agama-kepercayaan dan keberagaman budaya. Misi, dengan demikian, memiliki ciri dialogis, sebagaimana juga Paulus VI menyebutkan dalam Ecclesiam Suam (1964): dialog adalah cara dalam menggereja.

Drum Circle beranggotakan enam orang dari Alexis Nakota Sioux Nation tampil untuk menyambut Paus Fransiskus pada Minggu, 24 Juli 2022, di Edmonton, Alberta, Kanada.

Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi (1975) melanjutkan refleksi Vatikan II. Dikatakan di dalamnya bahwa pewartaan Kabar Gembira berfokus pada pembaharuan kemanusiaan dan perubahan budaya. Pewartaan iman dengan demikian haruslah berbuah nyata, dalam realitas kehidupan pribadi maupun sosial. Karya misi tidak saja sekedar sebagai karya kerygma, yang disertai dengan leiturgia dan pembanguan jemaat sebagai wujud koinonia. Karya misi juga adalah suatu diakonia bagi umat dan masyarakat setempat, sehingga dunia kehidupan setempat diperbaharui dan pembaharuan tersebut juga menyentuh perkembangan hidup, dalam aspek kulturalnya. Dengan demikian, ada perubahan hidup akibat perjumpaan dengan Pribadi Kristus dan Injil-Nya. Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio (1990) melanjutkan refleksi tersebut dengan memberi muatan akan istilah yang kemudian kita kenal sekarang evangelisasi baru, mewartakan Injil di tengah konteks yang baru dan berubah. Isinya sama dan tak berubah, namun semangat, cara, metode maupun bahasanya yang baru.

Keluar Mewartakan Injil

Paus Fransiskus melanjutkan refleksi akan dimensi misioner Gereja dalam Evangelii Gaudium (2013). Kita diingatkan akan apa yang disampaikan Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebelum dia terpilih sebagai Paus. Dia mengatakan bahwa Paus yang diinginkannya adalah dia yang berkat kontemplasinya akan Kristus membawa Gereja keluar mewartakan Injil. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam Evangelii Gaudium, dan bahkan dalam dokumen pembaharuan struktur Gereja, Praedicate Evangelium (2022), dia menempatkan kepentingan misioner sebagai kriteria dasar pembaharuan dan penataan struktur Gereja. Baginya Gereja dipanggil untuk keluar dari dirinya sendiri dan pergi ke wilayah ujung-ujung batas, ujung batas geografis maupun eksistensial: pada mereka yang sedang menderita luka, dosa, ketidakadilan, ketidaktahuan, sikap acuh atau tak peduli pada agama, mereka yang bergulat dengan pemikiran maupun kecemasan dan derita. Tentu pernyataan seperti itu tidak datang dari ruang kosong, melainkan dari amatannya akan situasi Gereja dewasa ini. Dari sinilah muncul ajakan untuk membangun Gereja yang semakin berwajah maupun berciri misioner.

Akhirnya, bagi kita semua: tidak bisa tidak, hanya satu kobaran kata panggilan dan perutusan: Misi! Wartakanlah kabar gembira!

Gereja dipanggil untuk keluar dari dirinya sendiri dan pergi ke wilayah ujung-ujung batas ….

Romo Krispurwana T. Cahyadi, SJ, Teolog

(Bagian Ketiga – terakhir —  dari tiga tulisan

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini