Misi: Belaskasih, Bukan Kolonisasi

152
Paus Fransiskus mengenakan penutup kepala pribumi dalam kunjungan pastoral di Kanada.

HIDUPKATOLIK.COM – BERANGAKT dari pengalaman karya misi di Kanada, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa karya pewartaan Injil janganlah dijalankan sebagai ideologi dan diterapkan dalam semangat kolonialisasi. Di dalam sejarahnya, karya misi Gereja memang seringkali berjalan beriring dengan sejarah kolonialisasi. Pernyataan tersebut bukan saja bicara tentang pengalaman masa lalu, namun pula sebagai pesan untuk masa kini dan masa depan.

Tidak sedikit umat Kristiani dalam sejarah mendukung mentalitas kolonialisasi, yang menekan dan menindas masyarakat asli. Hal itu diakui oleh Paus. Cara ini memaksakan nilai-nilai hidup dan budaya mereka kepada yang lain, sehingga merusak budaya dan tradisi asli setempat serta memaksakan penerapan budaya dan nilai asing, yang mereka bawa. Yang terjadi adalah sikap tidak toleran akan perbedaan, dan hanya berpusat pada kepentingan sesaat belaka, sehingga kebutuhan serta hak-hak masing-masing pribadi diabaikan. Kalau hal ini yang terjadi, dikeluhkannya saat berbicara di Quebec, mereka yang lemah dan tak berdaya tidak dipedulikan.

Paus Fransiskus tiba untuk pertemuan dengan komunitas pribumi, termasuk First Nations, Metis dan Inuit, di Gereja Katolik Our Lady of Seven Sorrows di Maskwacis, dekat Edmonton, Kanada, Senin, 25 Juli 2022

Orang tidak bisa mewartakan Injil dengan cara yang bertentangan dengan Injil itu sendiri. Demikian penegasan Paus dalam kunjungan itu. Oleh karena itu merupakan kesalahan yang berat, kalua pewartaan iman dijalankan dengan mengingkari, bahkan menghapuskan identitas masyarakat setempat, sehingga tidak menghargai nilai-nilai. Bahasa dan budaya mereka. Berhadapan dengan kejahatan yang memalukan itu, Gereja berlutut di hadapan Allah, menyatakan permohonan ampun atas dosa-dosa yang dibuat oleh anak-anaknya.  Di setiap tempat yang dikunjunginya, Fransiskus selalu mengucapkan kata-kata maaf, penyesalan. Luka yang telah dibuat Gereja terlalu besar dan berat bagi masyarakat asli Indian menanggungnya.

Oleh karena itu Paus mengharapkan agar semua itu tidak terjadi lagi di dalam Gereja, dalam menjalankan tugas perutusannya.   Yesus diwartakan, sebagaimana Dia inginkan, dalam kebebasan dan kasih. Dalam diri setiap orang yang tersalib, yang kita jumpai, semoga kita tidak sekedar melihat permasalahan, namun memandang pribadi yang layak dikasihi, tubuh Kristus yang harus dicintai. Hanya dengan itu, Gereja, tubuh Kristus, bisa menjadi tubuh pendamaian, menapaki jalan rekonsiliasi. Demikian dikatakannya.

Pribadi Yesus Kristus

Pusat iman Kristiani bukanlah pada teks, norma ataupun struktur, namun pada pribadi. Pribadi tersebut adalah pribadi Yesus Kristus. Karenanya, perjumpaan personal dengan Kristus merupakan dasar serta inti dari Kristianitas. Yesus itu adalah Yesus yang menjelma menjadi manusia: Immanuel, Allah beserta kita. Dia adalah Allah yang mengosongkan diri. Atas landasan ini Paus Fransiskus memberi tekanan akan cara bertindak pengosongan diri, tidak hanya hanya dalam menjalankan misinya namun pula dalam menata kehidupan Gereja. Gereja bukan melayani ide, melainkan pribadi; realitas lebih penting daripada gagasan, demikian dikatakannya dalam Evangelii Gaudium.

Tidak mengherankanlah kalau Paus beberapa kali mengritik kecenderungan sementara pimpinan Gereja yang lebih bersifat ideologis, bahkan dalam perdebatan soal Ekaristi ataupun komuni. Tanpa belaskasihan, hanya dengan aturan dan doktrin belaka, Gereja tidak melayani Kristus, namun hanya melayani dirinya sendiri. Dalam anjurannya tentang kesucian Gaudete et Exsultate, dia menyinggung hal ini ketika menyebut kesesatan zaman ini. Gereja yang cenderung kaku dan ideologis, tidak hanya melayani dirinya sendiri, namun pula Gereja yang berhenti, tidak bergerak, tidak menapaki peziarahan. Sinodalitas yang diajukannya sebagai cara hidup menggereja di milenium III, baginya adalah langkah yang tidak pernah merasa selesai, Gereja yang tidak pernah usai mencari dan melangkah.

Gereja perlu menetapkan langkah-langkah baru, bukan langkah yang telah lengkap dengan jawaban siap pakai, penuh dengan kata-kata manis belaka. Langkah baru tersebut, tegas Paus, adalah jalan salib, kasih yang membiarkan diri terpaku dan terlukai, demi pemulihan dan pendamaian.   Menurutnya langkah tersebut mengajak Gereja untuk pergi menjumpai mereka yang berada di pinggiran dan yang terpinggirkan, serta diperbaharui atau dipertobatkan lewat perjumpaan dengan mereka.  Untuk itu perlu ada keseimbangan yang sehat, harmoni sejati antara modernitas dengan budaya nenek-moyang, antara sekularisasi dengan nilai-nilai rohani. Baginya, dengan jalan ini karya misi  bisa menghadirkan kesaksian iman serta menebarkan benih-benih persaudaraan sejati yang menghargai dan mendukung keberagaman kekayaan.

Misi Gereja adalah mewartakan serta menyatakan kabar keselamatan Yesus Kristus. Gereja yang berkat kontemplasinya akan Yesus Kristus, berjalan keluar mewartakan Injil. Demikian dikatakannya. Oleh karena itu, langkah pertama adalah membangun pengalaman personal dengan Yesus Kristus. Bahkan dalam suatu kesempatan saat katekesenya tentang doa, Paus menyebutkan bahwa tugas pertama dan terutama yang diemban Gereja adalah mengajar berdoa. Sinodalitas ini pun ditempatkan sebagai sebuah proses olah rohani.

Kepekaan

Puncak kunjungan ini ditempatkan di hari peringatan Santa Anna dan Santo Yoakim, yang sangat dihormati oleh masyarakat Indian, dan didahului dengan peringatan Gereja akan hari lansia, memberi tanda pula bahwa Gereja diajak menghargai warisan leluhur, memberi tempat pada apa yang telah mereka hidupi serta ajarkan. Menghargai tradisi yang hidup dari mereka yang telah mendahului kita adalah bagian dari dialog iman. Gereja karenanya tidak diharapkan memiliki sikap tidak peduli, atau abai. Menurutnya, mengutip tokoh Yahudi, Elie Wiesel, lawan dari kasih bukanlah kebencian melainkan ketidakpedulian.

Sikap tidak peduli tampak, menurutnya, dalam kecenderungan untuk mengabaikan nilai-nilai tradisi dan lemahnya penghargaan akan martabat pribadi manusia, terlebih mereka yang miskin dan tersingkir. Saat berkunjung ke Kanada, Paus menyebut ini beberapa kali, terlebih saat merefleksikan cara misioner Gereja: memaksakan suatu bentuk budaya atau cara hitup tertentu. Dia kemudian menegaskan pentingnya inkulturasi. Gereja hendaknya punya keberpihakan akan orang-orang serta budaya setempat. Dialog adalah cara hidup menggereja, demikian sebagaimana dikatakan Paulus VI maupun Yohanes Paulus II.

Paus Fransiskus menyampaikan pidatonya saat bertemu dengan komunitas pribumi, termasuk First Nations, Metis dan Inuit, di Gereja Katolik Our Lady of Seven Sorrows di Maskwacis, dekat Edmonton, Kanada, Senin, 25 Juli 2022.

Yang paling menarik kiranya dari kunjungan ini adalah bahwa simbol bisa lebih berbicara daripada kata-kata; sikap lebih berarti daripada pernyataan.  Keterbatasan fisiknya, sehingga hanya bisa berjalan dengan kursi roda ataupun tongkat, karenannya saat perayaan Ekaristi hanya memimpin liturgi sabda, di hadapan luka menyakitkan yang disebabkan oleh Gereja, menunjukkan hal itu. Sebelumnya Paus membatalkan kunjungan ke Kongo dan Sudan Selatan, dengan alasan kesehatan. Namun dia tidak ingin membatalkan kunjungan ke Kanada ini.  Ada muatan nilai simbolis dan makna rekonsiliasi dalam kunjungan ini, itulah yang diperlihatkannya. Pilihan sikap adalah pesan, demikian pula sikap tubuh dan diam-sendiri di tempat-tempat tertentu yang didatanginya. Gereja yang hendak memeluk kerapuhan dan keterbatasan dirinya, itulah yang diperlihatkannya. Memang salah satu prinsip pelayanan Paus adalah revolusi belaskasihan.

Tampaknya memang benar, simbol lebih berbicara daripada kata-kata dan rumusan. Bahasa tubuh lebih menyapa daripada norma ataupun struktur. Gereja bukan terutama organisasi, melainkan tubuh mistik Kristus dan umat Allah. Oleh karena itu kepekaan akan tanda dan kultur perlu diperhatikan. Tanpa adanya kepekaan itu, yang lebih akan terjadi adalah pemaksaan, bukan belaskasihan. Demikian diungkapkan Paus.

Paus Fransiskus lewat kunjungannya ke Kanada mengajak kita untuk merefleksikan tidak saja bagaimana kita menjalankan tugas perutusan Gereja, namun pula cara bertindak. Semoga Gereja semakin menghadirkan dan menyatakan wajah belaskasihan Allah, sehingga Gereja dapat semakin tumbuh menjadi pelayan kemurahan hati.

Yang paling menarik kiranya dari kunjungan ini adalah bahwa simbol bisa lebih berbicara daripada kata-kata; sikap lebih berarti daripada pernyataan.  

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog tinggal di Girisonta

(Tulisan ini bagian kedua dari tiga tulisan refleksi penulis tentang kunjunga Paus ke Kanada)

HIDUP, Edisi No. 38, Tahun ke-76, Minggu, 18 September 2022

1 KOMENTAR

  1. Apakah para Bapa Paus yg memerintah pada tahun 1500an ke atas berani berbicara begini kepada kerajaan2 Eropa yg sedang mengadakan misi menemukan Dunia Baru?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini