Perginya Seorang Pendekar Gereja

380
Alm. Romo Martinus Hadiwijoyo

HIDUPKATOLIK.COM – HARI itu, 26 Agustus 2022.  Tepat 17 tahun yang lalu, ibuku dipanggil Tuhan.  Aku berdoa dalam Misa harian pagi itu bersama istri dan anak-anak didikku di sebuah sekolah pariwisata kawasan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).  Dalam Misa aku teringat jelas ketika ibuku berpulang, ada sosok yang membuatku tetap tegar kala itu.  Suara di seberang sana yang memberikan penghiburan dengan menegaskan bahwa ibuku sudah disembuhkan Tuhan, ibuku  tidak sakit lagi.  Sosok itu adalah Romo Martinus Hadiwijoyo.  Imam yang sejak remaja telah ada bersama kehidupan kami.

Setelah selesai Misa, aku menerima pesan singkat dari Frater Bernard Rahadian, calon imam diosesan KAJ.  Salah satu calon imam yang berasal dari paroki kami, St. Laurensius, Alam Sutera.  Ia menanyakan apakah aku dan istri sudah sempat menengok Romo Hadi di RS St. Carolus.  Sungguh, hatiku berdesir membaca pesan singkat itu.  Mengapa frater perlu menanyakan hal yang tidak dengan mudah dapat aku lakukan, mengingat jarakku yang jauh untuk tiba di Jakarta.  Aku dihimbau untuk berdiskusi dengan Romo Yustinus Ardianto, pimpinan Puspas Samadi tentang kemungkinan kami bisa menengok Romo Hadiwijoyo.

Senada dengan Frater Bernard, ketika aku berhasil berkomunikasi dengan Romo Yustinus juga menganjurkan agar kami segera mengusahakan dapat menengok.  Hatiku pun semakin gundah.  Mengapa hal ini sedemikian penting perlu di sampaikan kepada kami.  Romo Hadi adalah imam yang dimiliki banyak umat, juga dirawat dengan sedemikian baik oleh para romo dan RS St. Carolus Jakarta.  Saudara-saudara kandungnya pun banyak.

Namun sejenak aku merenung.  Sosok yang saat ini sedang terbaring lemah adalah yang sosok yang selalu menginspirasi di mana pun aku berada dan di mana pun aku berperan.  Sejak aku remaja, baik saat aku belajar maupun kemudian bekerja.  Sepersekian detik seperti ada dorongan air mata yang hendak tumpah dari pelupuk mataku. Aku kemudian sadar, bahwa tidak lain ini adalah panggilan Romo Hadi untuk aku kembali sebentar menemui beliau.

Singkat cerita aku dan istri putuskan untuk menempuh jarak 2.542 km menemui orang yang begitu berarti bagiku.  Imam, orang tua, guru dan sahabatku.  Dalam perjalanan aku hanya tertunduk diam, sambil terus menyimak update berita dari Frater Bernard dan Romo Yustinus.  Ketika transit di Makassar aku membuka ponselku dan muncul berita bahwa Romo Hadi mulai sesak nafas.  Aku ingin menjerit dan menghentakkan kaki seketika agar dapat terbang dengan tanganku sendiri untuk menyentuh tangan Romo Hadi.  Tangan yang selalu memberkatiku dalam setiap langkah hidupku.  Tapi apa daya, aku tidak mendapat kesempatan itu.  Aku hanya manusia lemah yang selalu jatuh dalam cobaan dan dosa.  Aku hanya duduk terdiam menunggu panggilan keberangkatan pesawat menuju Jakarta.

Minggu, 28 Agustus 2022, pukul 21:30, kami bergegas menuju Carolus.  Waktu sudah hampir tengah malam saat Rino, pemuda setia yang merawat Romo Hadi selama ini, menjumpai kami dan mengantar kami menuju kamar tempat Romo Hadi di rawat.  Rino kemudian menyalakan lampu kamar dan di situ aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.  Seorang pendekar tua dengan rambutnya yang putih tergolek lemah tanpa daya.  Nafasnya yang sepotong sepotong tampak mengalir lembut di balik balutan selang pada  hidung dan mulutnya.  Istriku menghampiri Romo Hadi dan membelainya dengan mesra.  Dengan suara lirih aku berucap, “Sugeng ndalu Romo.  Ini Bayu, Mo.  Hadir di sisi Romo.  Bersama Margareth (istri) dan Andika (anak kami).”

Romo Hadi tidak menyahut, tetapi tatapan matanya yang lembut menatap kami satu persatu, sambil menggumam.  Aku lanjutkan sapaanku, “Romo, istirahat ya, supaya cepat sembuh. Kami sampaikan salam rindu putra-putri THS-THM se-Nusa Tenggara Timur.  Mulai dari Manggarai, Bajawa, Ende, Maumere, Larantuka di Flores, Lembata, daratan Sumba, juga Kupang dan Atambua di Timor.  Mereka rindu dapat menari bersama lagi, sajojo, rokatenda, pisang bola-bola.”  Kali ini Romo Hadi tersenyum dan tampak ceria, lalu dengan lafal yang jelas mengucapkan, “Terima kasih ya”.

Luar biasa sejuk hatiku mendengar ucapan Romo Hadi yang sejak dahulu aku kenal tidak pernah berubah.  Lembut dan manis.  Aku tidak pernah bosan mendengar semua ucapannya.  Selalu menyemangati, selalu menyejukkan.  Pun di kala kesehatan fisik yang terus menurun.

Pendekar

Dengan cara apa Romo Hadi ini lebih mudah di kenal orang? Identitasnya melekat erat dengan sosok pendekar Katolik yang memekikkan teriakan, “Pro Patria et Ecclesia”/bergerak demi Bangsa dan Gereja di Istora Senayan Jakarta, pada penutupan Tahun Pemuda Internasional, 21 Oktober 1985.  Dua belas orang Mudika (sekarang OMK) Paroki Tanjung Priok kemudian memeragakan gerak pencak silat sebagai warisan luhur budaya bangsa.  Ide menguak masa depan diperkenalkan di hadapan umat KAJ.  Pencaksilat dijadikan sarana untuk memuliakan nama Tuhan.  Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr. Leo Soekoto, SJ merestui sarana kerasulan baru itu dengan tantangan menyelenggarakan juga bagi para remaja putri.

Seorang pastor sekaligus seorang pendekar.  Ini sangat unik.  Kegiatan spektakuler yang dibinanya segera saja disambut hangat di hampir semua paroki dan Sekolah Katolik di Jakarta.  Dalam 5 tahun pertama sejak berdirinya, anggota perkumpulan yang digagas dan dirintis oleh Romo Hadi ini mencapai jumlah ribuan anggota.

Romo Martinus Hadiwijoyo (tengah) bersama keluarga penulis (paling kanan). (Foto: Ist.)

Itulah THS-THM (Tunggal Hati Seminari – Tunggal Hati Maria).  Ada sosok pribadi yang melekat dalam tubuh THS-THM, yaitu pribadi seorang imam yang sabar dalam menghadapi setiap persoalan dalam tugas pastoralnya, menerima setiap keputusan dari pimpinannya, serta menjalankan tugas panggilannya dengan sungguh hati.  Tabah dan setia sampai akhir.  Rela sengsara dan menderita demi Tuhan yang dikasihinya.  Sosok teladan imam inilah yang tampaknya terbentuk juga di seluruh anggota THS-THM dari masa ke masa.  Dengan kepribadian ini maka THS-THM hingga saat ini masih tetap menjadi andalan gereja untuk membentuk pribadi-pribadi tangguh di masa depan, bagi kejayaan ibu pertiwi.  Sosok pribadi yang pada tanggal 4 Juli 2022 silam mencapai 38 tahun perjalanan imamatnya, sangat kami syukuri, dan telah hadir dalam kehidupan kami hingga hari ini.  Ikut membentuk karakter kami sekeluarga.

Panggilan Tuhan

Di sela-sela latihan, Romo Hadi memberikan banyak nasihat dan bimbingan bagaimana menjadi putra Indonesia 100% sekaligus putra Katolik sejati.  Beberapa kali pula ia memberi motivasi untuk membuat kaum muda tertarik memenuhi jalan panggilan Tuhan, melanjutkan pendidikan ke seminari.  Tercatat lebih dari 15 orang peserta latihan THS dari paroki kami akhirnya mencoba untuk mendaftar ke seminari.  Nyata sekali keberadaan Romo Hadi bersama komunitas THS-THM ini pada mulanya membangkitkan minat kaum muda untuk belajar di seminari, mengikuti jalan panggilan Tuhan.

Jiwaku memuliakan Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.  Kidung Magnificat Bunda Maria ini menjadi semboyan hidupnya, yang terus menerus dikumandangkan bagi semua kaum muda Katolik, dalam upaya untuk selalu menjadi garam dan terang dunia bagi orang lain yang membutuhkannya.

Kami sangat merasakan betapa ia tidak hanya telah mempersatukan kami, tetapi bahkan telah menyiapkan suatu komunitas yang memungkinkan untuk berkembang dengan baik.  Kemudian tidak boleh lupa bahwa di Indonesia ini pernah lahir putra bangsa sejati.  Seorang pria tampan dan bijaksana, rendah hati dalam menunjukkan keunggulannya, serta teramat sayang pada orang tuanya.  Seorang imam berkulit tangan sangat lembut namun mampu memukul mundur sejumlah orang yang berniat jahat dengan gagah berani.  Seorang imam berambut putih yang sering menjadi tempat terakhir tertumpahnya kesedihan-keprihatinan air mata umat dalam menghadapi beratnya kehidupan.  Seorang imam yang selalu memilih jalan untuk berdoa ketika sejumlah besar orang masih berpikir dalam konteks kekuatan manusiawi.  Seorang imam sebagai anak sulung keluarga sederhana yang masih menyatakan “inggih, sendiko” (ya, siap!) di lutut ibunya setiap kali sang ibu memberinya nasIhat.  Seorang imam yang mau menggadaikan mobilnya untuk menolong perekonomian umat yang sedang hancur.  Seorang imam yang bernama Martinus Sukomartoyo Hadiwijoyo, yang biasa kami panggil Romo Hadi.  Seorang imam sederhana yang berpulang dalam damai, 29 Agustus 2021, pukul 14:35 WIB.

Sugeng tindak, Romo!  Salam hangat kami, putra-putrimu!

Bayu SamodroMargareth Indriana,  Anggota THS-THM, Pasutri umat Paroki Alam Sutera, St. Laurensius, Tangerang, Banten

HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-76, Minggu, 11 September 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini