HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 04 September 2022 Hari Minggu Biasa XXIII, Keb.91:13-18b; Mzm. 90:3-4.5-6. 12-13.14-17; Fil. 9-10.12-17; Luk. 14:25-33.
ADA satu kisah misioner dari pedalaman. Suster Maria Eliza sedang mengunjungi seorang nenek yang sudah lama berbaring sakit. Meskipun di akhir pekan bulan Juli itu digaungkan kesempatan untuk mendapatkan indulgensi penuh dengan satu aksi cinta kasih bagi para lansia, sudah biasa Sr. Maria Eliza mampir mengunjungi nenek yang tinggal sendiri di rumah di ujung kampung itu.
Kisah Misioner
Seperti berbagi kasih dan perhatian untuk orang tua sendiri, pikirnya. Namun, kali itu Suster merasa sedih karena mendengar bahwa ketujuh anak nenek itu bertengkar gara-gara sulit menentukan siapa yang harus gantian merawat ibu mereka akibat kesibukan masing-masing.
Seorang dari mereka, yang sulung, akhirnya mengalah dengan mengatakan: “Biarlah ini menjadi salib yang harus kutanggung!” Pedih hati si Suster itu karena ia sendiri pernah bergulat dengan pertanyaan orang: “mengapa harus pergi ke daerah misi meninggalkan ibunya yang sudah tua dan sakit.” Suster sudah mengatasi kegalauan rasa perasaan ini karena menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan adiknya yang rela merawat ibu mereka, sehingga ia bisa tenang berkarya di daerah misi, bahkan bisa membagi kasih kepada banyak kakek nenek layaknya orangtua sendiri.
Memang benar seperti ditanyakan oleh penulis Kitab Kebijaksanaan dalam bacaan pertama hari Minggu ini: “Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?… Sebab jiwa dibebani badan yang fana, dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir” (Keb. 9:12). Walaupun demikian, bagi Sr. Maria Eliza tidak mungkin mengatakan bahwa perhatian untuk merawat orang tua lanjut usia itu merupakan beban “salib.”
Syarat Ikut Yesus
Syarat pertama bagi orang yang mau mengikuti Yesus memang tidak mudah dicerna dengan baik: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26).
Yesus dengan mengatakan hal ini tidak bermaksud mengadakan satu kompetisi afeksi, satu persaingan dalam hubungan sentimental dalam diri para pengikut-Nya. Yesus tahu bahwa tidak mudah menang dalam perlombaan rasa perasaan yang intim semacam ini, jika bukan para kudus, santo dan santa. Banyak orang lebih memilih kepentingan keluarga yang konkret dari pada kebutuhan Gereja yang mendesak sekali pun.
Yesus tidak meminta sesuatu yang kontradiktif dari murid-murid-Nya. Panggilan mengikuti Yesus tidaklah bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab untuk menghormati ayah dan ibu (Bdk. Mat. 19:19) karena Dia tidak datang untuk meniadakan hukum, melainkan menggenapinya (Bdk. Mat. 5:17). Oleh karena itu, ungkapan Yesus dalam bacaan Injil hari ini bukan mengajarkan satu “kebencian” pada orangtua, pasangan hidup, anak-anak, saudara-saudari dan keluarga dekat, melainkan satu prioritas dalam skala hubungan antar-manusia yang baru. Yesus menawarkan satu cara hidup baru yang harganya senilai dengan pengorbanan kasih yang layaknya terjadi dalam relasi familiar, dalam hubungan kekeluargaan.
Mencintai Lebih
Kata kerja “membenci” memang bukan terjemahan yang simpatik dari istilah Yunani yang dipakai oleh penginjil Lukas. Perbandingan sinoptik dengan ayat paralelnya dalam Injil Matius kiranya dapat membantu pemahaman umat yang kebingungan dengan ungkapan sulit dari Yesus itu: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat. 10:37).
Injil Lukas yang memilih mempertahankan pemakaian istilah “membenci” sebenarnya mau menunjukkan kontras dalam konsep ibrani/aram seperti dalam ungkapan: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mat .6:24).
Dalam konteks panggilan mengikuti Yesus, “membenci” berarti “mencintai lebih.” Jadi yang diajarkan bukan satu kebencian atau sikap permusuhan, satu sikap kurang cinta kasih, melainkan satu cara “mengasihi yang berlebih…” Yang dipersoalkan di sini bukan satu “pengurangan,” melainkan satu “kelebihan.”
Yesus tidak mau membatasi, bahkan mengurangi kasih yang ada di antara manusia, melainkan menambahkan sesuatu yang “lebih” lagi. Seorang murid Yesus adalah orang yang kasihnya kepada keluarga meluas dengan begitu indah dan mendalam. Buah kasih murid Yesus bukan satu pengurangan, tetapi satu peningkatan, bukan ekslusi melainkan inklusi yang merangkul semua.
Menerima dan Membagikan
Kita tahu betapa indahnya menerima dan membagi kasih kehangatan yang begitu penting dalam keluarga. Namun, lebih dari pada itu, Yesus mau menawarkan sesuatu yang lebih indah dan lebih hidup, ketika kasih kekeluargaan itu menjangkau bahkan orang-orang yang tidak sesuku, sebahasa dan sewarna kulit. Bukannya konformitas yang harus menjadi karakteristik pengikut Yesus, melainkan universalitas yang transformatif, yang mengubah orang menjadi man for others, keluar dari batas-batas kepentingannya sendiri, entah dirinya, keluarganya, gerejanya, bahkan negaranya sendiri.
Dengan demikian, pantaslah pula jika Sr. Maria Eliza tadi tidak setuju menganggap prioritas kasih semacam itu sebagai satu beban salib. Syarat kedua dalam jalan mengikuti Yesus sebagaimana diungkapkan dalam Injil: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27) tidak bisa diartikan sesederhana kita melihat satu kesulitan yang tak dapat dihindari, persoalan sehari-hari dalam keluarga, penyakit yang harus ditanggung, bahkan kematian sanak keluarga yang dicintai.
Kehidupan dari seorang pengikut Yesus kenyataannya seperti seorang yang terus menerus harus melepas harta miliknya bahkan seluruh dirinya bagi orang lain, sedikit demi sedikit, sampai terlarut sepenuhnya bagai garam yang memberi rasa. Itulah sebabnya, drama kehidupan sesungguhnya bukanlah sekadar kematian, tetapi pengorbanan yang sia-sia karena tidak siapa-siapa yang sungguh dikasihi sebagai alasannya.
“Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?” (Luk.14:34). Pengorbanan tanpa dilandasi kasih yang bebas dan tanpa batas itu bukan salib yang harus dipikul murid Yesus. Dalam Injil, salib adalah sintesis dari kisah kasih Yesus, kasih tanpa batas ukuran, kasih yang berani, tak takut kalah, yang tetap setia dan tak memperdaya. Pada murid-murid-Nya Yesus mau mengatakan: “Ambillah bagimu satu porsi penderitaan yang harus ditanggung kasih yang demikian, jika tidak maka engkau belum sungguh-sungguh mengasihi.” Itulah salib, atau dalam kata-kata Santa Teresa dari Kalkuta yang bulan ini kita peringati 25 tahun wafatnya: “Inilah artinya cinta yang sejati, memberi sampai engkau merasa sakit.”
“Yesus menawarkan satu cara hidup baru yang harganya senilai dengan pengorbanan kasih yang layaknya terjadi dalam relasi familiar, dalam hubungan kekeluargaan. Dalam konteks panggilan mengikuti Yesus, “membenci” berarti “mencintai lebih.”
HIDUP, Edisi No. 36, Tahun ke-76, Minggu, 4 September 2022