Mengapa Harus Hadir dan Aktif dalam Misa

1221

HIDUPKATOLIK.COM – SETELAH Konsili Vatikan II sampai hari ini terdengar seruan kuat akan “partisipasi aktif” (“pasticipatio actuosa”) umat dalam Misa atau Perayaan Ekaristi. Banyak umat terlebih kaum muda mengeluh terhadap Misa yang dinilai kaku, kering, membosankan dan tidak memberi kelonggaran umat beriman untuk lebih berpartisipasi aktif.

Keluhan itu pun sering ditanggapi oleh seksi liturgi dan memberi kesempatan kaum muda mengadakan Misa khusus dengan lagu-lagu dan pelbagai peranan khusus.  Namun demikian ternyata salah kaprah tentang partisipasi aktif yang cenderung lebih pada perbuatan eksternal bahkan cenderung sekadar sandiwara miskin makna. Dengan alasan yang katanya demi pastoral, terjadilah subyek perayaan bukan Allah, bukan juga Kristus tetapi subyek perayaan adalah kaum muda demi kepuasan mereka sendiri. Maka tersingkirlah kedalaman misteri ilahi.

Partisipasi Aktif

Lalu kita bertanya, itukah partisipasi aktif yang dimaksudkan Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium? Perlu dipahami perayaan liturgi bukan “show”, bukan pentas, apalagi dalam liturgi tidak dibutuhkan aktor, penulis skenario, dan sutradara.  Karena bagaimana pun juga, Misa tak boleh dilaksanakan sebagai perayaan pribadi tanpa mengabaikan hal utama yaitu pemahaman akan hidup dan misteri Gereja.

Kata “aktif” perlu dipahami secara benar. Dalam komunikasi yang sehat, subyek dan partner, keduanya bersifat aktif. Apa yang diungkapkan oleh subyek diterima secara aktif teman bicara, mengolah dan mengembangkannya. Subyek dan partner saling berkomunikasi dan berpartisipasi dengan sadar, aktif dan saling menerima.

Dalam Misa, imam menyampaikan homili dan umat mendengarkannya secara aktif. Demikian juga umat mendengar secara aktif bacaan pertama dan kedua oleh lektor. Umat beriman secara aktif menghayati kedalaman misteri ilahi ketika memandang Tabernakel, mimbar, meja perjamuan, salib Yesus, patung Maria dan Yesus. Umat beriman tidak hanya mendengarkan dan melihat secara fisik tetapi dengan seluruh pribadinya dengan hati beriman.

Yang diminta dari kita oleh Tuhan hanyalah agar kita melihat, menghayati segala sesuatu yang biasa atau luar biasa dengan kepercayaan iman, harapan, dan dengan kasih. Jelaslah janganlah kita gegabah melawankan keaktifan dan kepasifan sehingga yang aktif itu bukan pasif dan sebaliknya. Karena  keaktifan yang diharapkan dalam batas-batas yang sudah ditentukan dengan fungsi, tugas dan perannya masing-masing.

Partisipasi perlu dipahami secara tepat bukan hanya sekadar mengambil bagian begitu saja. Konstitusi tentang Liturgi Suci menegaskan agar dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi hukum dan peraturan untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan agar umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif, dan penuh makna (SC, 11).

Menuntut Kebersamaan

Umat yang datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi hari Minggu, itu saja sudah memperlihatkan makna kehadiran. Perayaan Ekaristi sebagai sakramen menuntut kebersamaan dan kehadiran umat beriman. Karena Gereja menjadi sungguh nyata jika umat merayakan Ekaristi. Dengan sadar dan ikut serta dalam kurban Ekaristi sumber dan segala puncak seluruh hidup Kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah. Demikianlah semua peraya Liturgi menjalankan perannya sendiri dalam perayaan Liturgis baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur melainkan masing-masing dengan caranya sendiri (LG, 11).

Partisipasi itu melibatkan perbuatan eksternal seperti membaca dan bernyanyi. Tetapi perbuatan eksternal hanyalah urutan kedua setelah perbuatan doa internal yang menyediakan ruang bagi Tuhan. Dengan kata lain patut diberi apresiasi kalau sejumlah orang melibatkan diri dalam tugas-tugas seperti Prodiakon, Lektor/Lektris ikut dalam paduan suara. Tetapi itu hanyalah urutan kedua, dan urutan pertama adalah kehadiran umat. Pada perayaan-perayaan liturgi “setiap anggota, entah pelayan (pemimpin) entah umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut hakikat perayaan serta kaidah-kaidah Liturgi.” (SC, 28).

Memang sungguh tepat bahwa, “Hari Minggu menurut tradisi apostolik adalah hari dirayakannya misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib primordial di seluruh Gereja.” (Kan. 1246 paragraf 1). Tentu saja kehadiran umat beriman harus sungguh dimaknai sebagai ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.

Dalam perayaan Ekaristi, umat beriman menyatakan hormat dan bakti kepada Tuhan yang hadir dalam dan di tengah-tengah umat. Yesus bersabda: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20). Umat beriman berpartisipasi dan berdialog dengan Allah yang telah terlebih dahulu menyatakan diri-Nya. Hanya dalam kebersamaan, doa-doa menjadi doa Kristus, karena Gereja adalah tubuh Kristus sendiri.

Hadir dan Sadar

Dalam pemahaman tentang kehadiran seluruh umat, maka janganlah secara dangkal memaknai partisipasi secara kegiatan konkrit tertentu, seakan-akan setiap orang wajib melakukan suatu tugas tertentu. Karena bagaimana pun juga “Bunda Gereja sangat menginginkan supaya semua orang beriman dibimbing kearah keikutsertaan sepenuhnya, sadar, dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi.

Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh hakikat Liturgi sendiri dan berdasarkan Baptis, merupakan hak dan kewajiban umat beriman Kristiani sebagai bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri.” (SC, 14). Jelaslah setiap dan semua umat hadir secara aktif dan sadar.

Kesadaran ini menjadi penting sekali di tengah budaya digital yang menjadikan manusia sebagai robot. Teknologi digital dapat mendegradasikan kesadaran kita sampai ke taraf mesin. Berpikir menjadi sekadar proses teknis. Komunikasi menjadi bodyless (tanpa kehadiran fisik). Anda berada di sana sekaligus di sini. Tetapi tubuh Anda entah di mana (F. Budi Hardiman).

Maka dapat dikatakan umat melaksanakan misa secara aktif bagaikan robot tanpa kesadaran. Liturgi “seakan suatu permainan, bagai anak-anak yang bermain-main di dalamnya membawa suatu permainan sesungguhnya dari dunia di luar sana, yang kemudian dengan memainkannya ditemukan suatu oase kebebasan, keluar sejenak dari kepenatan dunia nyata, meneguk air segar sejenak di tengah terpaan hidup dalam padang gurun kering dan gersang…. Akibatnya Kristus bukan menjadi pusat, bukan misteri keselamatan yang dirayakan” (Paus Benediktus XVI).

Mengapa umat beriman terutama kaum muda merasa perayaan membosankan, kaku, kering, dan seolah-olah tidak berpartisipasi? Padahal sejujurnya dalam Misa dari Ritus Pembuka sampai Ritus Penutup, imam dan umat berpartisipasi aktif dalam doa-doa, nyanyian, tata gerak, dan sentuhan fisik lainnya. Partisipasi aktif paling sederhana adalah aklamasi, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur, antifon, dan kidung.

Mendengar dan Menghayati

Lalu partisipasi dalam waktu yang cukup panjang: Kyrie, Sanctus (Kudus), Agnus Dei. Pada bagian ini, imam dan umat dapat berdoa dan bernyanyi bersama. Kyrie biasanya dilakukan oleh seluruh umat sebagai seruan kepada Tuhan dan mohon belas kasihan-Nya. Seruan ini sejak abad keempat dalam Gereja-gereja timur merupakan jawaban umat. Gloria adalah madah pujian tua (sebagian berasal dari permulaan abad kedua) yang berpangkal pada nyanyian para malaikat di Bethlehem (Luk 2:14). Kemuliaan diawali oleh imam atau solis, kemudian dilanjutkan oleh umat bersama-sama, diperindah oleh paduan suara.

Kemuliaan boleh didaraskan oleh umat atau dua kelompok umat bersahut-sahutan. Credo adalah rumus singkat yang tua (sebagian besar dari abad kedua) yang menyebut pokok-pokok iman Kristen. Syahadat didoakan atau dinyanyikan dalam Ekaristi hari Minggu dan hari raya hari raya lainnya. Dengan “melafalkan kebenaran-kebenaran iman dalam rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis, umat mengingat Kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam Liturgi Ekaristi” (PUMR, 67).

Sanctus (Kudus) adalah seruan pujian kepada Allah (Yes 6:13), yang dari ibadat Yahudi melalui ritus Timur sudah sebelum abad keenam disisipkan ke dalam Doa Syukur Agung sebagai aklamasi umat sesudah prefasi. Sebagai bagian utuh dari Doa Syukur Agung, aklamasi ini dilambungkan oleh seluruh jemaat bersama Imam. Pater Noster (Bapa Kami) adalah doa yang diajarkan oleh Kristus kepada murid-murid-Nya (Mat 6:9-15), sejak sebelum abad keempat Bapa Kami didoakan sebagai persiapan untuk penyambutan komuni.

Imam mengajak umat untuk berdoa dan seluruh umat membawakan Bapa Kami bersama-sama dengan imam. Agnus Dei adalah lambang Kristus menurut ucapan Yohanes Pembaptis (Yoh 1:29), didoakan (dinyanyikan) sebagai panggilan kepada Kristus sebelum Komuni kudus. Kalau tidak dilagukan, Anak domba didaraskan oleh umat dengan suara lantang.

Pusat dan puncak seluruh perayaan adalah Doa Syukur Agung. Inilah doa syukur dan pengudusan. Imam mengajak umat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dengan berdoa dan bersyukur. Dalam keheningan, umat berpartisipasi aktif mendengar, menghayati Doa yang hanya diucapkan oleh imam. Ini memang kaum muda jaman digital sulit paham “aktif dalam keheningan”.

Perlu dicatat, doa-doa Liturgis harus sungguh sesuai dengan teks asli, tidak seenaknya mengubah susunan kalimat dan menggantikan kata-kata “Lex Orandi, Lex Credendi, Lex Vivendi”. Hidup peribadatan kita tidak dapat dipisahkan dari hidup iman kita. Dan hidup iman kita tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari kita.

Singkat kata, sebagai penutup, renungkanlah kutipan berikut ini: “Keterlibatan dalam perayaan harus berkembang menjadi keterlibatan dalam tradisi Kristiani. Itu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Untuk itu perlu usaha dan Latihan. Orang harus belajar memakai Bahasa Kristiani yang telah terbentuk dalam peredaran jaman. Semula tradisi barangkali akan dialami sebagai sesuatu yang asing dan dari jaman dahulu. Lambat laun orang mulai merasa cocok dengan bahasa Injil dan Liturgi dan merasa diri kerasan dalam tradisi. Ia mulai merasakan akar-akar imannya dan mulai menjadi anggota jemaat para rasul” (Tom Jacobs SJ:2004:Teologi Doa).

Kesadaran ini menjadi penting sekali di tengah budaya digital yang menjadikan manusia sebagai robot. Teknologi digital dapat mendegradasikan kesadaran kita sampai ke taraf mesin.

 

Romo Jacobus Tarigan
Dosen STF Driyarkara, Jakarta

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini