SIPIR

189

HIDUPKATOLIK.COM – DENGAN lahap, kau nikmati sebungkus nasi gudeg di hadapanmu. Telur bacem, sepotong ayam opor lengkap dengan sayur nangka yang legit, serta sewadah nasi pulen, lekas memenuhi lumbung pencernaanmu.

“Enak tenan, Mas. Matur nuwun ya,” ucapmu dengan wajah sumringah.

Hanya sekitar sepuluh menit, seporsi gudeg komplit yang khusus dipesan dari salah satu restoran tersohor di Kota Gudeg, lenyap dari penglihatan. Entah perasaan apa yang terbit di hatimu, sementara batinku teriris menatapmu. Itulah kali terakhir kau menyantap makanan kegemaranmu sedari bocah.

Sebentar lagi timah panas aparat bakal menghabisimu. Nyawamu akan tercerabut dari raga. Ajaib, tak tersirat kecemasan pada perilakumu. Keceriaan tetap berpendar di wajahmu seakan semua bergulir baik-baik saja. Padahal pemberitahuan resmi pelaksanaan hukuman mati sudah kau terima sepekan lalu. Sesungguhnya, kau berada di pengujung hayatmu.

Sesaat sebelum kuberlalu dari selmu, kau sodorkan telapak tanganmu. Segera kusambut jabat eratmu yang menyisakan perih di hatiku hingga bertahun-tahun berselang.

“Aku pamit ya, Mas,” katamu sembari memandang tajam ke arahku. “Mohon maaf atas segala kekeliruanku selama berada di sini,” lanjutmu separuh berbisik.

“Dik Nugo adalah penghuni terbaik di LP ini. Sampeyan  tidak pernah merepotkan,” beberku terus terang.

“Akhirnya, saat itu tiba, Mas,” ujarmu persis di celah-celah jeruji besi.

“Ikhlas ya, Dik,” pintaku seperti kehabisan pasokan kata.

“Ini waktunya aku menebus kesalahan, Mas. Sudah lama kunantikan saat ini…,” lanjutmu dengan suara mengalun.

Sementara para terpidana mati lain mengharapkan waktu kematian mereka bisa ditarik-ulur selama mungkin, kau justru menantikannya dengan sungguh. Kau tidak pernah mengajukan Peninjauan Kembali atas hukuman mati yang ditimpakan kepadamu. Hasrat hidupmu telah tiarap.

Malam itu, kudapati kau begitu khusyuk bertelut dalam sebukit sesal di hadapan Sang Pencipta. Selepas berdoa, hening masih berlanjut. Sejurus berselang, sekawanan petugas bersepatu lars menjemputmu. Hanya sejengkal waktu lagi, Saudara Maut menyongsongmu. Aku enggan membayangkan apa yang terjadi kemudian….

***

 

18 Juni 2017

Aku tengah menyiapkan makan siang bagi para tahanan. Menu kali itu berupa sayur asem, tempe dan selar goreng, serta sambal terasi. Ini menu kesukaan kebanyakan warga LP Kelas 1 Batu, Nusakambangan. Sewaktu aku bersiap-siap hendak membagikannya ke masing-masing sel, tiga terpidana mati datang dari Jakarta. Sebelumnya, aku sudah mendengar rencana kepindahan mereka. Namun, tak kusangka mereka tiba selekas itu.

Batang leherku menjulur ke dalam panci besar yang berisi sayur asem. Masih tersisa kuah dan sedikit potongan-potongan labu siam serta daun melinjo. Cukuplah untuk dituang ke dalam tiga mangkok kecil. Selain itu, masih ada dua potong tempe dan seekor selar goreng. “Bisalah untuk makan siang mereka,” kataku memastikan.

Rekan sesama sipir, Anto, buru-buru menyiapkan sel untuk mereka. Dalam sekejap, ketiga terpidana mati itu sudah berada di dalam sel. Sejenak raut wajah mereka menegang. Mana ada manusia yang mau melintasi keseharian yang jenuh di penjara? Terlebih, tiada lagi udara bebas yang bakal mereka hirup, tiada lagi esok bagi mereka! Tak guna menghimpun puing-puing harapan yang terserak. Jalan hidup terlanjur menggiring mereka ke tempat ini. Tak guna menepis realitas getir. Tapak-tapak kelam telah tergurat dalam perjalanan hidup mereka. Inilah balasan atas kesalahan berat yang pernah dilakukan.

Di antara tiga tahanan mati itu, ada dirimu. Kau tampak paling tenang. Sikapmu bersahaja. Sejak semula, seakan ada magnet di antara kau dan aku. Perbincangan dan canda senantiasa terkait. Namun, batinku berkebit tatkala kudengar kisah yang menyeretmu hingga meringkuk di bui. Di balik tutur katamu yang halus, ternyata kau keji!  Padahal jika selintas melihat penampilanmu, sepertinya tak layak menyandangkan predikat pembunuh pada dirimu.

“Aku membunuh majikanku sekeluarga,” ungkapmu dengan suara bergetar.

Alkisah, kau masih terlalu belia untuk bersulang janji dengan seorang dara ayu dari dusun sebelah. Lantas, mudigah segera bersemayam di ceruk peranakan istrimu. “Saya bahagia sekali waktu itu karena akan punya keturunan,” kenangmu seraya memejamkan mata sejenak. Namun, kebahagiaan itu lekas beranjak, berganti menjadi kegalauan tatkala bidan puskesmas memberitahu posisi bayimu sungsang. Di samping itu, pinggul istrimu sempit sehingga jalan lahir sang jabang bayi tidak memadai.

“Istri saya harus menjalani operasi Caesar, Mas. Bidan tidak bisa menanganinya,” sambungmu.

Dari mana dana untuk mengongkosi biaya persalinan yang menjulang? Entah mengapa pikiranmu mendadak keruh, kau tak sanggup menakar nalar. Mata hatimu buram tak kuasa menatap esok. Kau terpaksa membetot niat laknat. Lantas, seiring ketukan palu hakim di atas sebuah meja hijau persidangan, kau menerima ganjaran setimpal atas ulah jahanammu yang sempat membuat geger seantero kota.

***

Ternyata, ada yang lenyap dari batinku setelah kau tiada. Kendati jumlah penghuni Lapas Nusakambangan tiada kunjung susut, batinku kerap senyap. Sesungguhnya, tiada yang sanggup menggantikan keberadaanmu di hatiku. Belakangan, stres mendera jiwaku. Terlebih, ketika para penghuni lapas satu per satu kehilangan nyawa di tengah malam buta. Setidaknya, saat ini masih ada 59 narapidana yang menanti giliran mati.

Waktu terus menghantuiku. Sudah 15 tahun aku mengabdi di lapas ini. Perolehan tak seberapa, terpisah dari keluarga. Namun, demi tiang nafkah rumah tanggaku, kupertaruhkan jiwa ragaku di sini. Tugasku bersinggungan langsung dengan para terpidana mati yang seakan dipermainkan oleh waktu untuk menanti saat terakhir itu tiba.

Aku pun terlibat pada hari-hari penghabisan mereka. Rupanya rangkaian pengalaman itu menggoreskan luka di hatiku. Air mataku jatuh saban kali warga lapas menyongsong ajalnya. Belum lagi, pertanyaan demi pertanyaan yang memberondongku; mengapa pintu maaf tidak terkuak bagi para narapidana mati? Bukankah hukuman mati menerabas hak asasi manusia?

Sesungguhnya, hatiku tak pernah rela…

Mati memang keniscayaan. “Biarlah Sang Khalik yang menentukan waktunya…,” gugatku.

Hingga pada suatu hari, aku membulatkan tekad mempercepat masa purna tugas. Batinku teramat penat. Hukuman mati terhadap Nugo memuncaki kelelahan itu. “Saya sudah sakit-sakitan, Pak,” ungkapku kepada atasan.

Selanjutnya, hari demi hari berkejaran tak terkira. Entah mengapa, bayangan masa lalu sebagai sipir tak pernah sepenuhnya hengkang dari ingatanku. Hingga pada suatu saat menjelang petang bertandang, entah dari mana Nugo menyambangiku. Sambil melepas sesabit senyum, ia mengalungkan kedua tangannya di bahuku.

“Sudah lama kita tidak bertemu, Go,” sambutku tanpa menyembunyikan rasa girang.

Lalu, kupergoki tubuhku terpasak di atas bale-bale, dikitari oleh istri dan sepasang anakku. Sementara mereka mengguncang-guncangkan tubuhku, isak pilu terdengar bersahutan…

Oleh Maria Etty    

HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini