Lahir di Negeri Kincir Angin, Kongregasi JMJ Bertumbuh Subur di Indonesia

703
Enam Suster Societas Jesus Maria Joseph dari Belanda yang pertama kali tiba di Indonesia.

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN 1819, tiga gadis muda dari Culemborg, Provinsi Gelderland, Belanda bertemu Pastor Mathias Wolff, SJ. Tiga gadis itu adalah Maria Stichters, Sophia Miltner dan Maria Josepha van Elk. Kesederhanaan dan pembawaan diri yang baik membuat Pastor Wolff begitu senang. Apalagi kehadiran mereka tak lain ingin menjadi biarawati.

Dengan penuh sukacita, Pastor Wolff langsung mengirimkan ketiganya sebagai calon suster kepada para Suster Noter Dame di Gent, Belgia. Ketiga suster itu dibina di Gent, sambil Pastor Wolff mempersiapkan pendirian sebuah lembaga religius yang baru.

Dua Kongregasi

Tahun 1822, hati Pastor Wolff kembali berbunga-bunga dengan kehadiran sejumlah gadis dari Ultrecht, Belanda yang juga ingin menjadi biarawati. Demi sebuah pembinaan yang baik, tahun 1823 Pastor Wolff menyetujui semacam konstitusi yang dibuat oleh Imam Kepala wilayah Belanda. Tindak lanjut dari konstitusi itu, pada Juli 1823, sebuah rumah di Murrhuizen, Amersfoort, Belanda di sewa sebagai komunitas pertama. Dua suster yang dibina di Belgia dan tiga gadis dari Ultrecht mendapatkan bimbingan rohani dari pastor paroki setempat. Komunitas itu diberi nama Pédagogie Chrétienne (Pendidikan Kristiani).

Dari Amersfoort, lembaga ini kemudian melebarkan sayap ke wilayah Selatan Belanda dan mendirikan tiga komunitas di Engelen, Nijmegen, dan Zevenbergen. Sebagai pembimbing rohani, kehadiran Pastor Wolff sungguh memberi motivasi bagi susternya. Kendati begitu, dari pihak Pastor Wolff hal ini tidak mudah karena latar belakang para suster yang berbeda-beda, termasuk perbedaan kelas sosial yang waktu itu sangat menentukan.

Generalat pertama JMJ di Engelend, Belanda.

Tantangan lain terjadi tahun 1832. Provinsial Yesuit Belanda meminta Pastor Wolff untuk tidak mencampuri urusan kongregasi. Yesuit menganggap tugas Pastor Wolff sudah selesai dan menyerahkannya kepada pemimpin umumnya. Hal ini membuat Pastor Wolff tidak terlibat dalam kehidupan kongregasi yang didirikannya sehingga sempat terjadi ketegangan di dalam komunitas di Amersfoort. Akibatnya ada perpisahan antara komunitas Amersfoort dan komunitas di Engelen. Ada beberapa kali usaha untuk menyatukan komunitas-komunitas itu, tetapi tidak berhasil.

Akhirnya tahun 1840, perpisahan sungguh terjadi dan terbentuklan dua lembaga religius independen yaitu Suster-suster St. Perawan Maria (SPM) di Amersfoort dan Societas Suster-suster Jesus Maria Joseph (SJMJ) di Engelen dengan Pemimpin Umum Sr. Clara Lantman. Pastor Wolff tidak mempersoalkan perpecahan itu, sebaliknya hatinya bersukacita karena 15 tahun setelahnya dua kongregasi itu mendapat pengesahan Takhta Suci.

Provinsi Indonesia

Para Suster JMJ sejak 1964 sampai 2018 menggunakan nama Societas Jesus Maria Joseph (SJMJ), tetapi lazimnya disebut JMJ. Tahun 1898, SJMJ tiba di Indonesia atas undangan Mgr. Walterus Jacobus Staal, SJ selaku Vikariat Apostolik Batavia untuk mengembangkan pendidikan Katolik di Indonesia. Misi pertama mereka di Tomohon, Sulawesi Utara dengan enam orang Suster SJMJ Belanda. Mereka adalah Sr. Mère Wenceslas te Poel; Sr. Boniface Meyer; Sr. Josephie van den Berg;  Sr. Laetitia Loenen; Sr. Dosithea Schambergen; dan Sr. Basilissa Heisjter.

Sejak 1920, kongregasi menjejaki kemungkinan untuk menerima calon-calon suster dari Sulawesi. Tanggal 15 Juni 1924, enam aspiran pertama Indonesia masuk biara. Sejak itu anggota Suster SJMJ makin hari makin bertambah. Tahun 1826, Suster Mathia Stichters diangkat sebagai Superior oleh Pater Wolff dan Sr. Cunera Stoppershoef sebagai asisten.

Sebelumnya, kongregasi SJMJ dibagi menjadi tiga provinsi yaitu Belanda, Indonesia, dan India dengan generalat tetap di Vaught, s-Hertogenbosch, Belanda. Tanggal 16 Desember 1962, terjadilah momentum sejarah Kongregasi SJMJ Indonesia ditetapkan menjadi provinsi yang berdikari dengan provinsial pertama orang Indonesia yaitu Sr. Josephita Senduk, SJMJ.

Provinsi Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dengan bertambahnya jumlah anggota dan komunitas kerasulan. Demi efektivitas pembinaan, pada 31 Juli 2007 kepemimpinan Provinsi Indonesia dimekarkan menjadi tiga wilayah yaitu Provinsi Jakarta, Makassar, dan Manado dengan pengelolaan hidup dan karya secara mandiri.

Sebaliknya, Provinsi Belanda karena pengaruh pertumbuhan sekularisasi di Eropa Barat jumlah suster terus mengalami penurunan. Kondisi ini menjadi pembahasan serius dalam Kapitel Umum tahun 2005 dan dibahas lagi dalam Kapitel Provinsi tahun 2010 serta ditindaklanjuti dalam Kapitel Umum 2011. Dalam kapitel tersebut disepakati untuk menentukan struktur masa kongregasi yakni sebuah lembaga independen dengan akar yang sama, kemandirian Kongregasi Indonesia-Belanda dan India-Ghana.

Usaha kemandirian itu akhirnya mencapai puncaknya dengan keluarnya dekrit dari Tahta Suci tanggal 10 September 2016 mengesahkan Pemisahan SJMJ menjadi dua lembaga religius berstatus kepausan yang terpisah, pertama terdiri dari Provinsi Belanda dan Indonesia, dan kedua terdiri dari Provinsi India dan Regio Ghana.

Tahun 2018 diadakan Kapitel Umum I dari Kongregasi SJMJ serta mengesahkan Konstitusi dan Dewan Pimpinan Umum (DPU). Kapitel dilaksanakan di Panti Samadi Tomohon, 11-27 April. Pengukuhan DPU dilaksanakan dalam Ekaristi meriah yang dipimpin Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo dengan co-selebran sejumlah uskup.

Pada tanggal 2 Februari 2019, pada Pesta Tuhan dipersembahkan dalam Bait Allah kongregasi ini menerima dekrit Tahta Suci yang menyatakan Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph (SJMJ) sebagai Lembaga Religius Berstatus Kepausan, dengan rumah induk di Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang (Indonesia), mengukuhkan pemilihan Sr. Theresia Supriyati, SJMJ sebagai Pemimpin Kongregasi pertama dan Sr. Monika Kalangi, SJMJ; Sr. Jeannette Runtu, SJMJ; dan Sr. Francinetti Manua, SJMJ sebagai Anggota-anggota Dewan.

Tahun yang sama juga Generalat Kongregasi SJMJ resmi dimulai di Yogyakarta. Tahun 2020, Provinsi Belanda ditetapkan menjadi Regio. Tahun 2021, peletakan batu pertama gedung utama Generalat SJMJ di Sukoreno Kulonprogo. Kemudian tahun 2020, kongregasi merayakan 200 Tahun berdirinya di dunia.

Spiritualitas Kongregasi JMJ

Spiritualitas JMJ berasal dari gerakan Roh Kudus (Spirit Mission Spirituality) yaitu spiritualitas yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi perantara belas kasih dimana orang-orang membutuhkan di berbagai belahan dunia, memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah sebagai nilai tertinggi dan mengambil bagian dalam panggilan Gereja” (Konst. Art. 2, 3, 36)

 Ciri Khas Spiritualitas JMJ

“Seorang suster JMJ mampu merasakan ketegangan yang sehat antara hidup berdasarkan Roh dan kehidupan sehari-hari. Spiritualitas JMJ meminta para suster untuk terus menerus mengusahakan yang terbaik.”

 Kharisma Kongregasi JMJ

“Kesiapsiagaan Apostolik yang senantiasa dapat menyesuaikan diri. Kesiapsediaan Apostolik yang selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya yang ditandai oleh sikap lepas bebas sebagai tanda penyerahan diri, melaksanakan kehendak Bapa” (Konst. No. 3)

Pastor Mathias Wolff, SJ

Lahir di Diekirch, 9 Maret 1779 dari orangtua Mathias Wolff dan Anna Maria Zenner. Sejak kecil ia terbiasa dengan kesalehan hidup. Tahun 1790-1791, ia belajar di Kolese Theresianum di Luxemburg. Tahun berikutnya pindah ke Biara Benediktin di Stavelot, Belgia. Tahun 1799, ia bergabung dengan tentara Perancis, tetapi kemudian pindah ke perbatasan Jerman dan sampai di Kota Köln. Di sanalah ia berkesempatan belajar filsafat dan teologi di Universitas Köln yang diampuh para Yesuit. Tanggal 9 April 1801, ia ditahbiskan diakon lalu 25 April 1802, ditahbiskan sebagai imam diosesan oleh Mgr. De Maria, Uskup Auxiler Köln di usia 22 tahun usai mendapat dispensasi dari Paus Pius VII.

Pastor Mathias Wolf, SJ

Tugas perdananya sebagai pastor rekan di Useldingen, selanjutnya berturut-turut di Diekirch, desa kelahirannya; di Seminari Menengah Metz; dan Kepala Paroki Dudelingen. Tanggal 7 Agustus 1814, Paus Pius VII menyatakan Serikat Jesus dihidupkan lagi, hal ini membuat Pastor Wolff mengubah arah hidupnya. Tanggal 13 Februari 1815, P. Wolff tiba di Novisiat Yesuit di Rumbeke. Ia menjadi imam Yesuit. Ia seorang yang berani mengambil keputusan, mendapat charisma khusus untuk dibimbing Roh Kudus. Tugasnya sebagai imam selesai

pada 31 Oktober 1857. Tiga hal yang ditekankan oleh Pastor Mathias Wolff, SJ dalam pesan-pesannya yaitu seorang religius harus penuh dedikasi, taat, dan hidup dalam komunitas.

Lexi Kalesaran (Manado)/Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini