Kongregasi JMJ dan Pendidikan yang Membebaskan

211

HIDUPKATOLIK.COM – DUA ratus tahun yang lalu, situasi politik dan Gereja di Belanda kurang kondusif. ‘Sebagaimana diketahui, pada akhir abad 18, agama Katolik sempat mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain, pengaruh jansenisme. Jansenisme adalah suatu kesabaran yang berlebihan dari umat Katolik. Ketika itu, umat Katolik terlalu pasrah pada keadaan, tidak ada pemimpin yang tegas, umat lesu, dan bersikap acuh tak acuh dalam hal keagamaan,’ (Lihat Sejarah Hidup Bakti, CLC, 2007).

Dikatakan, tahun 1878, Pastor Mathias Wolff, SJ dan Pastor De Hasque, SJ dibimbing oleh imam dari Letrecht, yaitu P.G van Nooy, akhirnya mendirikan sebuah seminari di Culemburg. Tujuannya untuk membangkitkan semangat Gereja Katolik di Belanda. Dari perjuangan dan kerja keras inilah akhirnya Pastor Mathias Wolff tergerak hatinya untuk menekuni bidang pendidkan di Belanda. Perjuangan iman ini menjadi cikal bakal lahirnya Kongregasi Jesus Maria Joseph (JMJ). Perjuangan tersebut berujung pada pendirian sebuah tarekt karena prihatin terhadap keadaan pendidikan di Belanda yang sama sekali tidak memperhitungkan hak Gereja Katolik. Pendidikan bernafas Protestan, sedangkan anak-anak Katolik tidak mendapat izin untuk masuk sekolah.

Spirit awal Pater Wolff inilah yang kini terus diperjuangkan, dirawat, ditumbuhkan Suster-suster JMJ yang sejak kehadiranya untuk berkarya di sejumlah keuskupan di Indonesia. Pendidikan yang memberikan kesadaran, tak hanya bagi anak-anak perempuan, tetapi anak-anak pada umumnya, bahwasanya mereka berada dalam keterbelengkuan, keterkungkungan. Kendati kemudian, karya mereka merambah ke bidan kesehatan dan sosial atau pastoral.

Tentu saja, tantangan 200 tahun lalu sudah jauh berbeda dengan tantangan sekarang ini. Namun persoalan pendidikan tak pernah berkesudahan. Bahkan dalam dua hari terakhir ini (tanggal 28 dan 29 Juli 2022), koran nasional, Kompas menurunkan masalah pendidikan terkait dengan makin sulitnya para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi). Faktor penyebabnya tak lain adalah masalah pembiayaan. Kenaikan biaya pendidikan yang terus bergerak tinggi alias mahal sementara penghasilan para orang tua bukannya semakin bertambah. Justru sebaliknya.

Maka, tantangan pendidikan ke depan, di mana Kongregasi JMJ juga turut ambil bagian, tampaknya akan menghadapi terjal dan karang. Dampak dari pandemi selama dua tahun lebih ini dan perang di Ukraina turut memperburuk situasi global. Harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak akan mencekik ‘leher’ ekonomi rumah tangga, terutama kaum kecil, miskin, terpinggirkan dan rentan untuk disingkirkan karena palbagai persoalan.

Jika pada masanya, Pater Wolff berhasil membebaskan kaum terbelakang dari ketertindasan melalui tarekat yang didirikannya ini, saatnya, kiprah Suster-suster JMJ juga diharapkan pada bidang-bidang pelayanan mereka di Tanah Air. Kaum anak-anak perempuan kerapkali menjadi korban. Pendidikan bagi anak-anak laki-laki lebih dinomorsatukan. Padahal, sudah saatnya baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperolah kesempatan pendidikan yang sama dari jenjang yang paling awal (Pra-TK) hingga Perguruan Tinggi.

HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini