Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo: Merayakan Harapan Kristiani

478
Kardinal Ignatius Suharyo

HIDUPKATOLIK.COMMinggu, 14 Agustus 2022, Hari Raya SP Maria Diangkat Ke Surga. Why.11:9a; 12:1-6a, 10ab; Mzm.45:10bc, 11, 12ab; 1Kor.15:20-26; Luk.1:39-56.

 PADA tanggal 1 November 1950, Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik Magnificentissimus Deus (Allah Yang Mahapemurah), menyatakan bahwa “setelah menyelesaikan perjalanan hidup duniawinya, (Maria) diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan sorga.” Meskipun baru dinyatakan pada tahun 1950, namun kepercayaan dan kebaktian kepada Maria Yang Diangkat Ke Surga, sudah berlangsung sangat lama, ada yang mengatakan sudah sejak abad keempat. Mengapa pernyataan itu mesti menunggu waktu yang sangat lama?

Sekitar awal abad kedua puluh, berkembang suatu aliran berpikir menolak hal-hal yang tidak dapat diterangkan ilmu pengetahuan atau akal budi manusia. Cara berpikir semacam ini berdampak juga dalam kehidupan iman Gereja. Salah satu akibatnya keyakinan iman yang tradisinya sudah berlangsung lama, bahwa Maria Diangkat Ke Surga, diragukan karena dianggap tidak masuk akal.

Namun sejarah mengajarkan, khususnya peristiwa Perang Dunia, bahwa ternyata manusia tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap kemanusiaannya sendiri. Kesadaran bahwa tidak semua hal dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan akal budi manusia, mulai tumbuh kembali. Dalam konteks sejarah seperti itu, penegasan bahwa Maria Diangkat Ke Surga dengan tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surga, adalah sekaligus juga penegasan keyakinan bahwa Allah campur tangan dalam sejarah umat manusia–dan campur tangan Allah itu tidak selalu bisa dijelaskan oleh ilmu pengatahuan atau akal budi manusia saja.

Ada dua teks dari Kitab Suci yang biasa dikaitkan dengan Maria, meskipun nama Maria tidak disebut secara eksplisit. Pertama, Kitab Wahyu 11 yang berisi gambaran seorang wanita yang melahirkan seorang anak. Anak itu berada dalam ancaman seekor naga yang siap memangsanya. Namun begitu lahir, anak itu langsung dibawa ke hadapan Allah, sementara wanita lari ke tempat yang sudah disiapkan Allah. Secara spiritual penggambaran ini dimengerti sebagai penegasan bahwa Maria sudah berada di tempat yang disediakan oleh Allah, yaitu dalam kemuliaan surga.

Kedua, Kitab Kejadian 3:15. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa – dengan tidak menaati firman Allah (Kej. 3:1-13) – manusia diusir dari taman Eden (Kej. 3:23-24). Manusia yang semula mengalami damai sejahtera bahagia hidup dekat dengan Allah di taman Eden, menjadi manusia yang takut dan karena itu bersembunyi dari Allah (Kej. 3:8-10), dan kehilangan relasi yang harmonis (Kej. 3:11-13). Manusia kehilangan martabanya yang mulia dan menjalani hidup dalam keadaan yang tidak bermartabat.

Dalam keadaan seperti itu Allah menegaskan rencana penyelamatan-Nya dengan menyatakan: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15). Dalam tradisi Gereja Katolik, pernyataann ini langsung dikaitkan dengan Maria yang melahirkan Yesus, yang mengembalikan martabat manusia yang hilang: “menciptakan kembali” atau memulihkan martabat manusia yang hilang oleh dosa, supaya ia hidup sesuai dengan martabatnya yang mulia. Kemuliaan martabat manusia inilah yang terkandung dalam kata-kata Rasul Paulus  dalam 2 Korintus 3:18.

Kalau manusia pertama kehilangan martabanya yang mulia karena tidak taat kepada Tuhan, Maria adalah pribadi yang sepanjang hidupnya taat kepada kehendak Tuhan. Itulah yang terucap dalam kata-kata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk. 1:38). Itulah yang ditegaskan dalam pernyataan Gereja oleh Paus Pius XII: “Setelah menyelesaikan perjalanan hidup duniawinya…” Bukan hidup duniawi yang tanpa kualifikasi, tetapi hidup duniawi yang sepenuhnya taat kepada kehendak Allah dan bertransformasi “dalam kemuliaan yang semakin besar”.

Harapan bahwa kita pun akan mengalami kemuliaan abadi seperti Bunda Maria, terungkap antara lain dalam Kidung Maria, khususnya dalam perubahan kata ganti yang dipakai di dalamnya: pada awal, Maria menyatakan bahwa dirinya (= aku, Maria sendiri) gembira, berbahagia (Luk. 1:46-49); selanjutnya  dinyatakan bahwa “rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan dia (bukan lagi Maria saja, tetapi atas semua orang).

Dengan demikian merayakan Pesta Bunda Maria Diangkat Ke Sorga, berarti merayakan karya agung Allah, mensyukuri martabat kemanusiaan kita yang baru dan merayakan harapan kita.

“Kalau manusia pertama kehilangan martabanya yang mulia karena tidak taat kepada Tuhan, Maria adalah pribadi yang sepanjang hidupnya taat kepada kehendak Tuhan.”

HIDUP, Edisi No. 33, Tahun ke-76, Minggu, 14 Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini