HIDUPKATOLIK.COM – Ia disiksa, dicela, dan difitnah orang kepercayaanya karena uang. Ia berhasil menanamkan benih imam di Tiongkok. Ia adalah martir pertama di Tiongkok.
PASAR makanan laut Huanan, Wuhan, Tiongkok sering disebut Cáozá dì dìfāng, “tempat paling berisik”. Pasar ini tak pernah sepih, bahkan pada malam hari. Pasar ini membentang di dua sisi jalan utama sebuah distrik komersial Hankou. Dahulu tempat ini menjadi salah satu tempat yang sering digunakan orang untuk berkumpul. Ada aneka kegiatan tradisional seperti peragaan tarian tradisional Barongsai, Yangge, dan Dunhuang diadakan di sini.
Sayang sekali, kini pasar Huanan tak lagi sesibuk dulu. Aktivitasnya lumpuh sejak penyebaran virus corona (covid-19), pertengahan Desember 2019. Sejak pandemik ini mewabah, pasar Huanan sepih pelanggan. Wuhan juga dalam waktu dua bulan menjadi menjadi sorotan seluruh dunia. Tempat ini dianggap menjadi tempat pertama kalinya virus ini berasal.
Bagi Gereja Katolik Tiongkok, pasar Huanan memiliki nilai historis. Konferensi Waligereja China (BCCCC) seperti dikutip Guardian.com, memasukan wilayah Huanan sebagai tempat awal misi Gereja Katolik di Negeri Tirai Bambu. Nilai historis ini berkaitan dengan karya pewartaan orang kudus pertama dari Tiongkok Pastor Yohanes Gabriel Perboyre CM.
Imam Kongregasi Misi dari Prancis ini disebutkan pernah singgah di Huanan. Ia memanfaatkan kebisingan pasar untuk mencari domba-domba yang tersesat. Di tempat penuh bauh ini, Pastor Gabriel menyeruhkan pertobatan. Seperti Yohanes Pembaptis, ia meluruskan dan meratakan jalan bagi kedatangan Tuhan.
Kehendak Tuhan
Sebelum memutuskan bergabung menjadi anggota Kongregasi Misi, Gabriel adalah seorang petualangan. Ia dibesarkan dalam keluarga sederhana di pedesaan Le Puech (sekarang di sekitar Kota Montgesty, Lot, Prancis). Situasi alam Le Puech sangat mendukung petuangalan seorang Gabriel. Ia suka menikmati alam, kadang-kadang menggembalakan ternak. Kegemarannya adalah memeras susu sapi dan meminumnya.
Soal hidup rohani, pribadinya tak diragukan. Kelahiran 6 Januari 1802 ini menjalankan hidup rohani dengan sungguh-sungguh. Sebagai sulung dari delapan bersaudara, Gabriel terbiasa menjaga adik-adik termasuk mengajarkan mereka untuk berdoa. Setiap hari Minggu bersama adik-adiknya yang pertama mengisi bangku gereja.
Kesalehan dan tanggungjawab yang melekat pada dirinya membuat Kepala Paroki Pastor Damien pernah membujuknya masuk seminari. Alih-alih setuju, sebaliknya Gabriel menolak undangan ini karena dirinya merasa sangat dibutuhkan dalam keluarga. Ia lalu mengusulkan seorang adiknya, Louis.
Dengan dukungan kedua orangtua Pierre Perboyre dan Marie Rigal, Louis masuk seminari. Ketika tiba waktunyai, Gabriel mengantar sang adik menemui Rektor seminari kala itu, paman dari pihak ayahnya, Pastor Yakobus Perboyre CM. Sang paman lalu meminta Gabriel menemani sang adik yang masih kecil beberapa hari di seminari. Gabriel mengiyakan permintaan itu lalu tinggal di seminari kecil.
Di tempat persemaian ini, Gabriel menemukan jalan hidupnya. Tuhan memanggil sekaligus memilihnya menjadi seorang imam. Harapan sang ayah agar si sulung bisa membantunya di ladang kandas. Si sulung tahu kegundahan hati Pierre, maka dari Seminari Montauban, Gabriel menulis surat.
“… Aku tidak berharap di tempat ini karena aku tahu situasi di rumah sangat sulit. Tetapi aku tidak berdaya ketika Dia memanggilku. Berat rasanya meninggalkan rumah, tetapi lebih celaka lagi bila meninggalkan pintu rumah Tuhan. Aku tahu rencana ayah, tetapi bila Tuhan menghendaki aku menjadi imam-Nya, aku tidak bisa menolak panggilan-Nya.”
Begitu cara Tuhan memanggil dan memilih Gabriel hingga ditahbiskan sebagai imam CM pada 23 September 1825. Ia ditahbiskan di Kapel Suster Puteri Kasih oleh Uskup Agung New Orleans Mgr. Louis Guillaume Valentin Dubourg PSS (1815-1826).
Ia memilih kongregasi ini sebagai tanggapan atas perintah Tuhan kepadanya untuk mewartakan pembebasan kepada orang miskin, tersingkir, dan yang menderita. Sesuai misi yang diwujudkan dalam pribadi St. Vincentius de Paulo, begitu Pastor Gabriel terpanggil untuk hadir di tengah orang-orang miskin di seluruh dunia.
Usai ditahbiskan, ia dikirim ke Seminari Saint Flour untuk menjadi pengajar teologi Dogma di sana. Dua tahun berselang, ia diangkat sebagai rektor seminari. Kecerdasan dan kedewasaan imannya membuat ia dipercayakan sebagai wakil pemimpin novisiat di Paris tahun 1832, lalu menjadi direktur novisiat.
Tiba di Nusantara
Sebagai imam CM, adalah tanggungjawab dan panggilan setiap anggota untuk bermisi ke seluruh dunia. Sebenarnya Gabriel bukan bibit unggul dalam misi ke China (Tiongkok). Hal ini berhubungan dengan kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan. Hanya saja Gabriel tak ingin melewatkan begitu saja panggilannya dengan hal-hal yang biasa. Semangatnya bermisi ke Tiongkok seperti kobaran api yang membakar habis rumput kering di musim kemarau.
Kobaran api Injil dalam hatinya sebenarnya juga atas rasa penasaran semua yang diceritakan oleh adiknya Pastor Louis Perboyre CM. Dalam buku Luigi Mezzadri CM, “Introduzione”, dalam San Giovanni Gabriele Perboyre: Lettere Scelte, Roma: 1996 disebutkan Pastor Louis adalah imam CM yang mendahuluinya pergi bermisi di Tiongkok, tetapi meninggal dalam perjalanan kapal di sekitar Laut Jawa.
Keinginan untuk menuntaskan misi Kristus yang pernah diawali sang adik membawanya ke Tiongkok tahun 1835. Perjalanan Pastor Gabriel ke Tiongkok dijalaninya dengan kapal yang menghabiskan kurang lebih enam bulan. Dalam catatan sejarah, calon martir ini menumpangi kapal Royal Georges, pernah singgah di Batavia kemudian ke Surabaya selama sebulan. Cerita Pastor Gabriel tentang Batavia dan Surabaya dapat disimak dari suratnya kepada Pastor Yakobus tanggal 23 Juni 1835.
“Memasuki selat Sunda, apa yang kami rasakan sukar dilukiskan. Di sana kami melihat pulau-pulau dengan pepohonan yang buahnya harum dan manis, serta dapat diraih dengan tangan begitu saja”. Ia meneruskan, “Sejak 14 Juli kami berada di Surabaya dan tidak akan berangkat sebelum 10 Agustus. Kami berusaha sabar dan menikmati waktu. Di seluruh Jawa hanya ada empat pastor yang semuanya berkebangsaan Belanda. Di kepulauan yang lain tidak ada sama sekali. Tiga minggu kami mampir di Surabaya merupakan anugerah liburan bagi kami yang kelelahan karena perjalanan lama.”
Yudas Iskariot
Tanggal 7 Agustus, Pastor Gabriel berangkat dari Surabaya menuju Macau untuk ke Tiongkok, yang menjadi tujuan misinya. Lima bulan pertama di pedalaman Tiongkok, ia mengunjungi komunitas-komunitas Kristiani. Umat Kristiani belum begitu banyak. Menurut laporan jumlahnya kira-kira hanya 1500-an umat yang tersebar di mana-mana. Untuk mengunjungi umat, Pastor Gabriel harus melakukan perjalanan lebih dari 1200 kilometer, jarak yang hampir sama jauhnya dengan keliling Prancis, asal negaranya. Ketika pindah ke Hubei, di mana Kota Wuhan berada, daerah pegunungan ini tergolong cukup berat medannya. Dalam suratnya, Pastor Gabriel bercerita, banyak gerejanya sangat kotor, beratap jerami dengan kursi-kursi yang jelek dan kotor.
Kisah Pastor Gabriel berakhir ketika terjadi penganiayaan dan penangkapan yang dilakukan oleh raja setempat. Umat Kristiani terpaksa harus bersembunyi. Namun, salah seorang murid Pastor Gabriel berkhianat. Murid yang tidak setia itu “menjual” sang imam dengan 30 ons perak.
Pagi itu, murid yang bagaikan Yudas Iskariot itu, mengantar para serdadu mengepung Pastor Gabriel dan menangkapnya. Ia diikat, diseret, ditelanjangi, dan dijemur di terika matahari. Kemudian dua kakinya dirantai. Tubuhnya ditusuk dengan besi panas hingga memerah. Lalu lehernya dicekik dengan tali hingga pada akhirnya disalib dengan tubuh yang terkulai karena leher dijerat dengan tali, ia wafat tercekik pada 11 September 1840.
Semua penderitaan dia jalani dengan iman dan ketekunan seperti Yesus Kristus. Tahun 1889, Paus Leo XIII menyatakannya sebagai beato. Dan tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II menganonisasikannya sebagai Santo Martir pertama dari Tiongkok.
Yustinus Hendro Wuarmanuk