“Fiat Voluntas Tua” yang Mendorong dan Menguatkan Mgr. Harjo

347
Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF

HIDUPKATOLIK.COMPenggalan terakhir jawaban Bunda Maria kepada malaikat dalam Lukas 1: 38 bagaikan bintang penuntun bagi Mgr. Harjo manakala ia dihadapkan pada perutusan yang tak pernah terlintas dalam benaknya dalam menapaki perjalanan 40 tahun imamat dan 20 espikopalnya.

SETELAH ditahbiskan menjadi imam – besama empat orang rekannya pada 6 Januari 1982, Romo Yustinus Harjosusanto, MSF mendapat perutusan pertama di Paroki St. Petrus Purwosari, Solo. Tugas pertama menjalankan tugas sebagai imam amat menyenangkan baginya meskipun tidak berarti tanpa masalah. Sebagai imam baru yang masa diakonatnya tidak di paroki, menjalankan aneka tugas seperti berangkat dari awal dan merasa canggung.

Ia mengatakan, rasa takut keliru juga menjadi beban tersendiri karena biasanya umat memandang imam paling tahu, khususnya dalam liturgi dan pelayanan sakramen. “Masih ada dalam ingatan, ketika melayani pasangan yang saling menerimakan Sakramen Perkawinan, saya bertanya kepada seorang koster tentang apa yang persis mesti saya lakukan sesuai kebiasaan di paroki itu. Demikian pun ketika membaptis mesti mempersiapkan diri secara baik dan cermat agar bisa lancar dan tidak salah. Ketika menerimakan Sakramen Pengurapan Orang Sakit pun mesti mempelajari rubrik dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Ibarat balita, Romo Harjo baru belajar merangkak menjadi imam muda nan energik. Dengan semangat tinggi ia menikmati perutusan perdana ini walaupun masih tersimpan beban dan ganjalan karena masih harus menyelesaikan skripsi. Beban itu tidak lama lepas sehingga tugas pelayanan bisa ia laksanakan secara penuh.

Tetapi menjelang genap setahun melayani umat paroki, Romo Harjo harus angkat koper menuju Seminari Berthinianum. Oleh Pimpinan Provinsi MSF Jawa, Romo Notoseputra, MSF ia diminta mendapingi calon frater dan bruder MSF. Hal yang tidak ia duga sama sekali. Betugas sebagai pendamping calon imam tak pernah ia bayangkan. Bahkan jika mungkin ia ingin menghindarinya. “Alasan bahwa baru setahun bertugas dan masih ingin meneruskan, masih terlalu muda dan belum punya pengalaman apa pun, ternyata tidak menggoyahkan rencana dan keputusan Pimpinan Provinsi. Ia bahkan menegaskan bahwa saya mesti sudah berada di tempat tgas baru pada 1 Maret 1983, berhubung direktur seminari akan segera berangkat ke tempat tugas baru,” kenangnya.

Bayangan yang menghantui ternyata benar, kata Romo Harjo. Baginya, sepanjan tiga bulan pertama, menjalankan tugas itu serasa memikul beban berat dan melelahkan. Selain tugas mengajar beberapa mata pelajaran yang kurang ia kuasai, ketidaktahuan tentang apay ag mesti ia lakukan terhadap para seminari menjadi beban menta tersendiri.

Namun, ujar Romo Harjo, dalam situasi seperti itu, Tuhan tidak pernah terlambat memberi bantuan dan telah mengatur segala sesuatunya sedemikian rupa dan tepat pada waktunya.

Setelah ia mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan pekerjaan, mulai muncul ketertarikannya untuk mendampingi calon imam yang amat diperlukan sementara hanya sedikit yang tetarik dan bersedia. “Seiring berjalannya waktu, apalagi menyaksikan perkembangan para calon, kecintaan untuk tugas itu mulai berkembang,” ujarnya.

Menjelang tiga tahun Romo Harjo bertugas di Seminari, ia pun mendapat penugasan baru, mengikuti kursus kepemimpinan rohani di Institute for Spiritual Leadership (ISL) di Chicago, Amerika Serikat. Ia mengaku, setelah ia menerima tugas itu, perasaan lama menjelang masuk Seminari Mertoyudan muncul kembali. Apa itu? Meragukan kemampuan diri, apalagi tugas itu terlihat sulit. “Rasanya lebih memilih batal jika ditawarkan, berhubung sampai kursus mulai, visa tidak kunjung keluar. Persiapan, meskipun minim sudah dilakukan dengan mengikuti kursus bahasa Inggris namun rasa waswas dan khawatir tetap menggelayut dan semakin kuat dengan dekatnya waktu berangkat. Ternyata keinginan batal tidak terpenuhi, meski visa baru keluar setelah dua minggu program dimlau, ISL masih bisa menerima,” paparnya.

Romo Harjo harus pergi seorang diri ke luar negeri dan ke luar Pulau Jawa dengan naik pesawat merupakan pengalaman pertama. Karena itu, paparnya, sepanjang perjalanan terjadi hal-hal yang sedikit membuatnya merasa malu.

Sesudah menyelesaikan studi di ISL dan kembali ke Tanah Air, Romo Harjo ditempatkan sebagai socius magister dan magister novis di Novisiat MS di Salatiga. Baginya tugas itu bukan baru sama sekali namun menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Baginya, mendampingi calon religius tidak hanya soal memberi dan mengarahkan, tetapi juga menuntut pengolahan diri agar bisa menemani para novis dan mengolah dirinya.

Dan, setelah hampir lima tahun, ia bertugas di novisiat, Provinsial MSF yang baru menugaskannya sebagai sekretaris Keuskupan Agung Semarang (KAS) mulai 1 Maret 1992. “Tugas yang tidak pernah terbayangkan dan sebenarnya tidak saya minati itu, saya terima demi ketaatan. Sebelum berangkat telah terbayang bahwa tugas itu sebagian besar berhubungan dengan kesekretaritan. Berkarya dalam bidang itu pada awalnya terasa asing dan berat. Selain karena lebih banyak tugas daripada sebelumnya, juga harus belajar dari awal. Tugas ini menjadi permulaan hidup dan berkarya di luar komunitas MSF,” tuturnya.

Namun di kemudian hari, Romo Harjo mengatakan, kepercayaan MSF mengutusnya berkarya di lingkup KAS dan kepercayaan Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ untuk mengerjakan tugas-tugas kesekretariatan dan lainnya menjadi cara Tuhan mengembangkan kepercayaan dalam diri dan keterampilan dalam urusan administrasi.

Tangan dan cara Tuhan belum berhenti di situ. Romo Harjo mengisahkan, di luar dugaanya, Kapitel Provinsi MSF tahun 1995 mendapuknynya menjadi provinsial. “Ketika terpilih, masih sempat muncul keraguan tentang kemampuan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab itu. Namun, perasaan itu tidak lagi mengecilkan hati ketika menengok pengalaman-pengalaman sebelumnya yang meyakinkan bahwa pasti bisa melaksanakannya,” katanya mengenang.

Dalam masa penugasan ini, kata Romo Harjo, langkah beratnya sangat terasa ketika ia mengunjungi konfrater yang lebih senior, khususnya untuk menyampaikan catatan atau meminta pindah. Namun ada kekhawatiran kalau-kalau yang bersangkutan tidak bersedia.

Badan Lemas

Setelah tak lagi menjabat sebagai pimpinan, Romo Harjo ditepatkan di Novisiat MSF. Perutusan di noviasiat ini sudah pernah dialaminya. Lagi-lagi, ia dikagetkan dengan sebuah perutusan yang diakuinya membuat badannya lemas dan dalam beberapa waktu ia tidak bisa berkata-kata ketika pada 2 Januari Duta Besar Vatikan, Mgr. Renzo Fratini dalam pertemuan di Kedutaan menyampaikan bahwa Bapa Suci Yohanes Palus II mengangkatnya menjadi uskup keuskupan baru, Tanjung Selor.

Saat itu, kata Romo Harjo, beberapa alasan langsung muncul, antara lain, tanggung jawab itu terlalu berat, belum pernah datang ke wilayah itu, tidak kenal seorang pun, belum ada pengalaman apa pun berkenaan dengan tugas itu apalagi sebagai uskup pertama di keuskupan baru.

“Sepanjang perjalanan kembali ke Pastoran Rawamangun di Jakarta Timur, perasaan saya bercampur aduk. Sulit dilukiskan. Ang jelas bukan rasa syukur, gembira atau bangga, melainkan rasa khawatir dan merasa kurang mampu mengemban tugas yang saya bayangkan amat berat. Rupanya perasaan kurang mampu itu tetap ada meskipun tidak lagi menguasai dan rupanya telah menjadi bagian dari diri saya sekaligus menjadi salah satu salib yang mesti saya panggul setiap kali menghadapi tugas baru,” paparnya.

Romo Harjo melanjutkan ceritanya, saat itu, bersama dengan teman seangkatan, ia telah merencanakan untuk menadakan triduum 3-5 Januari 1995 menyambut hari ulang tahun ke-20 tahbis imamat di Lembah Karmel. “Suasana hati yang campur aduk membuat konsentrasi selama triduum buyar. Sulit memusatkan perhatian pada pokok permenungan. Salah satu yang menjadi pokok pergumulan adalah menemukan motto tahbisan yang sesuai dengan diri dan harapan ke depan. Aneka ide dan pikiran bermunculan namun perhatian selalu kembali ke “Jadilah kehendak-Mu (Mat. 6: 10b) yang merupakan salah satu frasa doa Bapa Kami,” katanya menceritakan.

Romo Harjo melanjutkan, bahwa Misa syukur 20 tahun imamat dirayakan di Gereja Keluarga Kudus Rawamangun tepat pada hari tahbisan. Dan, ketika waktu pengumuman tiba (pengangkatan sebagai Uskup Tanjung Selor), Mgr. Harjo mengemukakan, pertama kali ia menyampaikannya kepada ibu, ia memanggilnya dengan sebutan sayang, Simbok (Prisca Ngatmi), dan Bapak (Joanes Djasmin), kemudian kepada Provinsial MSF saat itu.

Saat menerima berita itu, kata Mgr. Harjo, Simbok tidak tahu lagi akan mengatakan apa kecuali, “Tugase kok adoh temen. Nek ngono terus arang-arang bali ya. Aku mung isso membayangke, muga-muga isa ngayahi tugas kanthi apik.”

Perayaan Ekaristi tahbisan Mgr. Harjo digelar pada 14 April 2002 di Tarakan. Penahbis Utama, Kardinal Julius; penabis pendamping pertama, Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap (Uskup Agung Pontianak), penahbis pendamping II, Mgr. Sului Florentinus (Uskup Samarinda), homili Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka, MSF (Uskup Palangkaraya).

“Saat menyampaikan pengantar di awal Ekaristi, muncul rasa kecil di hadapan Allah dan kurang pantas mengemban tugas yang luhur itu. Bagian pengantar yang mengungkapkan siapa aku ini sehingga boleh menerima rahmat yang begitu besar untuk mengemban tugas sebagai Uskup Tanjung Selor amat menggema dalam hati. Rahmat Tuhan sungguh luar biasa karena Ia memilih orang yang kuran pantas tetapi sekaligus memberi karunia yang cukup untuk melaksanakannya,” tutur Mgr. Harjo.

“Bagian yang amat mengesankan dari liturgi tahbisan,” kata Mgr. Harjo,” adalah janji kesediaan dengan menjawab sejumlah pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang sangat menghentak adalah permintaan bersedia mengemban tugas sampai mati. Pertanyaan itu menembus dalam sampai ke hati dan terasa berat ketika menjawabnya karena tugas pelayanan sebagai uskup tidak ad periodisasi dan batas waktunya adalah kematian. Sebenarnya, pertanyaan lain membawa konsekuensi yang tidak ringan sekaligus menuntut komitmen tinggi, namun waktu itu rasanya kurang bergema.”

Ke Samarinda

Halaman-halaman majalah ini tak cukup untuk menceritakan dan melukiskan masa awal Mgr. Harjo memimpin keuskupa baru, Keuskupan Tanjung Selor, keuskuan yang dulunya merupakan bagian dari Keuskupan Samarinda. Rumah atau wisma Keuskupan belum ada, apalagi gereja katedral. Dua tahun pertama masih berkantor di Tarakan. Barulah pada 22 Desember 2004 pindah dari Tarakan ke Tanjung Selor meskipun pembangunan gedung sebarguna belum selesai. Dalam tempo yang relatif singkat, Mgr. Harjo berhasil meletakkan pondasi awal reksa pastoral Keuskupan Tanjung Selor, selain gedung keuskupan, Gereja Katedral Tanjung Selor pun dapat diresmikan pada 5 Febuari 2012. Jumlah imam terus bertambah, begitupun tarekat religus yang mau membuka lahan misi di Keuskupan ini.

Rupanya Tuhan masih punya rencana lain bagi Mgr. Harjo. Tentu saja, sejak diangkat menjadi uskup, ia telah menjadi bagian dari Konferensi Waligereja. Ia dipercaya untuk memegang komisi dan presidium KWI. Dan, pada 11 Februari 205, Duta Besar Vatikan Antonio Guido Filipazzi memberi kabar baru baginya. Tak lain, menjadi Uskup Agung Samarinda yang lowong sekagigus Administrator Tanjung Selor.

“Sebenarnya terselip rasa berat untuk melepaskan pelayanan di Tanjung Selor karena sudah 13 tahun melayani di sana dan merasa kerasan. Namun atas dasar ketaatan yang telah tertanam kuat dan kepercayaan bahwa tugas itu adalah kehendak Allah, sehingga Ia akan senantiasa menyertai, tugas baru itu saya terima dengan sepenuh hati. Kedua tugas itu saya yakini bukan dari Bapa Suci semata, melainkan datang dari Atas, saya menerimanya karena saya dantang memang untuk melakukan kehedak-Ny,” ucap Mgr. Harjo.

FHS Sumber: Terjadilah KehendakMu (Obor, Mei 2022)

HIDUP, Edisi No.30, Tahun ke-76, Minggu, 24 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini