Menyambangi Setiap Domba

125

HIDUPKATOLIK.COM – BLUSUKAN. Kata ini melekat dengan sosok Presiden Joko Widodo. Kata yang menggambarkan aktivitasnya bermula sebagai wali kota, gubernur, hingga menjadi presiden. Masuk-keluar gang sempit, meninjau saluran air hingga turun ke gorong-gorong jalan protokol, menyalurkan bantuan bagi korban bencana alam saat hujan deras, dan lain-lain. Kendati tidak bisa dibandingkan, kepemimpinan penggembalaan Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF kurang lebih mengambil ‘gaya’ blusukan itu sejak ia dipercaya oleh Vatikan menjadi Uskup pertama Keuskupan Tanjung Selor, Kalimantan Utara (2002), kemudian dipercaya menjadi Uskup Agung Samarinda, Kalimnatan Timur sejak tahun 2015 hingga sekarang. Medan pastoral yang luas dan tidak mudah di dua keuskupan tersebut membuat sang uskup harus turun ke tengah-tengah umatnya, terutama umat yang tinggal di pelosok pedalaman. Tak jarang ia harus merjibaku dengan jalan berlumpur, arus jeram sungai-sungai dengan menggunakan perahu motor agar ia sampai paroki atau stasi, berjumpa dengan umatnya.

Ya, Mgr. Harjo, sapaan akrabnya, beberapa waktu lalu merayakan Hari Ulang Tahun ke-20 Tahbisan Uskup (episkopal) dan ke-40 Tahbisan Imam (presbiterat). Sebagai uskup pertama Keuskupan Tanjung Selor tentu saja, ia harus meletakkan pondasi yang kuat bagi keuskupan baru ini. Tak hanya membangun atau mendirikan bangunan fisik seperti gedung Keuskupan dan Katedral baru. Lebih dari itu. Bagaimana membangun fondasi iman umat di wilayah yang sarat dengan problematika sosial ini. Begitu juga tatkala, ia diangkat menjadi Uskup Agung Samarinda. Medan pastoral di kedua wilayah keuskupan ini tak jauh berbeda mengingat sarana dan prasarana serta infrastuktur yang masih jauh dari harapan banyak pihak.

Sebagai peletak dasar untuk sebuah keuskupan, tentu saja ia tak bisa mengandalkan kekuatan sendiri. Ia perlu menggandengan umat (tim pastoral) dari seluruh lapisan agar biji sesawi iman umat Katolik dapat berakar, bertumbuh, dan berbuah seraya terus menjalin ralasi yang baik dengan umat beragama lain. Ia tak hanya memikirkan umatnya, tetapi juga umat beragama lain melalui Forum Komunikasi Antar Umat Beragama pun cara-cara lain.

Jejak kepemimpinan yang ia ‘tinggalkan’ di Tanjung Selor dan yang ia teruskan di Samarinda telah menjadi ingatan umat. Bagaimana seorang gembala yang turun, tinggal, dan merasakan suka serta duka domba-domba yang digembakannya? Bagaimana menjadi gembala yang sungguh-sungguh berbau domba? Kesaksian yang dilontarkan sejumlah kalangan (umat) tak terbantahkan mengenai sosoknya yang sederhana, bersahaja, siap sedia mendengarkan, memiliki ketenangan dalam menghadapi setiap perkara atau persoalan umatnya menjadi daya kekuatan utama dalam memimpin. Bagaimana menjadi seorang pemimpin yang membumi, yang tidak muluk-muluk tentu saja bukan perkara yang mudah. Bagaimana mensinkronkan antara kata/ucapan dan tindakan/perbuatan, punya tantangan tersendiri. Bagaimana menjadi seorang pemimpin yang terbuka, rendah hati, jujur, siap sedia mendengarkan saran, keluhan dan harapan domba-domba yang digembalakan, perlu integritas.

HIDUP, Edisi No. 30, Tahun ke-76, Minggu, 24 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini