Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota: Kaya di hadapan Allah

299
Mgr. Vincensius Sensi Potokota

HIDUPKATOLIK.COM Minggu, 31 Juli Minggu Biasa XVIII, Pkh.1:2; 2:21-23; Mzm.90:3-4, 5-6, 12-13, 14, 17; Kol.3:1-5, 9-11; Luk.12:13-21

SADAR atau tidak, sesungguhnya dalam keseharian hidup, kita manusia bergumul mencari jawaban terhadap suatu pertanyaan yang mendasar: “Apa yang menentukan hidup yang bermakna dan bagaimana mewujudkannya?” Jawabannya bisa amat beragam dan banyak, juga bisa berbeda dari orang ke orang, tergantung dari siapa orangnya dan sudut pandang apa yang dianut.

Apapun jawaban seseorang, saya sendiri cenderung untuk mengamini dan menganut kebenaran adagium orang bijak, bahwa “hidup yang bermakna ialah hidup yang terarah kepada nilai-nilai yang bersifat abadi.” Dan sebagai orang beriman yang dibaptis menjadi milik Kristus, jawaban saya tidak bisa jauh dari keyakinan rasul Paulus dalam nasihatnya kepada umatnya di Kolose: “Pikirkanlah perkara yang diatas, bukan yang di bumi. Carilah perkara yang diatas dimana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol. 3, 1-2).

Petuah yang amat bertuah dari Paulus ini, bermaksud untuk mengarahkan kesadaran umat Kolose dan juga kita semua, kepada harta termahal yang tak akan bisa ternilaikan dengan alat bayar duniawi apapun, yaitu “Hidup yang Tersembunyi Bersama Kristus di dalam Allah” (Kol. 3: 3). Maka ketika saya mengimani identitas kekristenanku sebagai milik Kristus melalui Sakramen Baptis, saya pun mengimani bahwa hidupku telah diperbaharui dalam kematian dan kebangkitan bersama Kristus untuk kemuliaan abadi di Sorga (Bdk. Kol. 3: 4). Ke terminal abadi itulah arah pemaknaan hidupku.

Perumpamaan Yesus tentang “Orang Kaya yang Bodoh” mempertegas pemaknaan hidup yang benar bagi kita murid-muridnya (Bdk. Luk. 12, 13-2). Ternyata menurut Yesus, makna hidup yang benar bukanlah soal berkekurangan atau berkelimpahan harta kekayaan yang bisa diperoleh di dunia ini. Bukan pula hikmat, pengetahuan, kecakapan dan segala prestasi perolehan jerih payah manusiawi.

Tetapi “Kaya di hadapan Allah” (Luk. 12: 21), itulah tolok ukur hidup yang bermakna. Sehingga dalam gaya bahasa yang terkesan “hitam-putih” pada kitab Pengkhotbah (Bdk. Pkh. 1, 2: 21-23), terkonfirmasi dan diklarifikasi oleh Yesus sendiri, bahwa rambu-rambu pengingat tentang segala kesia-siaan dan kefanaan dari harta dan prestasi duniawi tetap merupakan kearifan yang menuntun manusia untuk bisa berkemampuan “tembus pandang”, menjangkau sampai ke ruang harta karun nilai-nilai abadi yang dijanjikan dan disiapkan Allah sendiri melalui Kristus.

Kalau demikianlah semestinya kesadaran, pemahaman dan pemaknaan tentang hidup  “kaya di hadapan Allah” yang dimaksudkan Yesus, maka saya dan anda harus jujur mengakui, betapa sering kita menyepelekan petuah kearifan yang diwariskan Pengkhotbah, Paulus dan Yesus yang nama-Nya sering diserukan sekedar pemanis bibir.

Sadar atau tidak, perilaku hidup yang mendewa-dewakan dan berpuas diri dengan prestasi-prestasi perolehan duniawi dan manusiawi semata, lebih menguasai keseharian kita. Segenap energi pemberian Tuhan, sering dikerahkan habis-habisan untuk membangun berhala-berhala hidup yang sia-sia. Keserakahan hasrat demi kepuasan yang langsung bisa menggeser agenda-agenda untuk mencari perkara-perkara yang melimpah dalam Kerajaan Allah. Padahal Kerajaan Allah sudah ada sejak di dunia ini, tetapi kita tidak mau menyadari dan menjadikannya bagian dari agenda hidup kita yang nyata, sekaligus mengarahkan kita sejauh  merengkuh perkara di atas sana.

Maka, marilah kita membaharui komitmen iman kita dengan menginspirasi diri kita lagi dan lagi, untuk belajar meyakini jaminan dari Allah sendiri: bahwa hanya “Allahku yang akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam kristus Yesus” (Fil. 4, 19). Bahwa “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala hal dan malah berkelebihan” (2 Kor. 9, 8).

Dan bahwa “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau, dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13, 5-6). Jaminan inilah yang sepantas-pantasnya kita pegang untuk mempedomani diri kita dalam pencarian menemukan jalan yang benar menuju “Hidup yang Bermakna, yaitu Kaya di Hadapan Allah.”

“Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala hal dan malah berkelebihan” (2 Kor. 9, 8). 

HIDUP, Edisi No. 31, Tahun ke-76, Minggu, 31 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini