Relasi Keluarga: Lahan Subur Iman Katolik

475

HIDUPKATOLIK.COM – PULAU-pulau Kei (Kai), letaknya di Maluku Tenggara. Kedua pulau terkenal di acrhipelago ini adalah Kei Kecil (Nuhu Roa) dan Kei Besar (Nuhu Yuut). Dalam catatan Pastor Henricus Geurthens, MSC yang tiba di Pulai Kei tahun 1903, manusia Kei sudah tiba di pulau itu sekitar 2000-an tahun lalu. Sekitar tahun 1500-1620, terjadi migrasi terakhir di Pulau Kei. Konon orang Kasdew (kasta Dewa/kasta tertinggi dari Bali) bersama bawahannya pernah tiba di pulau itu dengan kapal.

Dalam catatan Prof. Yong Ohoitimur, MSC “Hukum Adat dan Sikap Hidup Orang Kei” (1996), disebutkan sebelum masuknya agama Kristen, agama asli di Kei mengandung unsur animisme, magi, dan totemisme.

Animisme diartikan sebagai roh. Kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda, seperti pohon, batu, air, dan sebagainya. Dalam konteks orang Kei, roh itu disebut duan yang menetap dalam segala benda. Masuknya agama Kristen, duan mengalami perubahan dalam penyebutannya menjadi duad, yaitu Tuhan. Wujud animisme itu seperti pemberian persembahan daun sirih, buah pinang, tembakau, uang logam diisi di piring dan diletakan di bawah pohon atau tempat keramat.

Seorang Suster Fransiskanes dari Heythuizen bersama beberapa wanita dan anak-anak Suku Kei tahun 1905.

Sedangkan magi, menjurus pada cara hidup seorang yang memiliki kekuatan khusus secara gaib. Orang Kei percaya bahwa manusia memiliki keahlian. Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam hidup manusia. Misal di budaya Kei, seorang menggunakan batu yang mempengaruhi orang lain supaya sakit.

Totemisme sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang. Contoh masyarakat Desa Ohoifau, Kei Kecil meyakini ikan Puring sebagai totemnya. Di Desa Ohoidertutu, Kei Kecil menerima Penyu sebagai totemnya. Ada hubungan khusus antara objek tertentu seperti ikan, burung, rumput, pohon, yang dianggap suci dan dihormati. Tiga unsur kepercayaan ini hidup dan berkembang saat Gereja Katolik menyentuh masyarakat Kei

Buah Bungaran

Awal karya misi di Kei bermula pada 1 Juli 1888. Dari Tual tiba dua Yesuit asal Belanda yaitu Pastor Johannes D. Kusters, SJ dan Pastor Johannes H. Booms, SJ. Mereka ditugaskan bermisi di Kei oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Adamus Carolus Claessens atas pertimbangan usulan bangsawan Protestan di Tual dari Jerman yaitu Adolf Langen.

Dua imam itu bertugas saat Kei dipenuhi sekitar 30 ribu orang dengan status kepercayaan animisme, magi, dan totemisme. Cukup banyak juga masyarakat yang menaruh simpati pada ajaran agama baru itu karena dirasa sejalan dengan kepercayaan mereka. Perhatian Pastor Kusters dan Booms pada Tual yang dianggap masih kafir. Tidak mudah mendapatkan domba di masa itu karena banyak juga umat yang tidak berminat meninggalkan kepercayaan nenek-moyang mereka. Maka dalam sebuah surat ke Batavia, Pastor Kusters menulis, “Barangkali kami perlu pindah ke Nuhu Yuut dan Nuhu Roa. Di situ ada banyak kampung besar yang masih Kafir…”

Selama sepuluh bulan di Tual, tetapi tidak ada hasil sehingga Mgr. Claessens memindahkan Pastor Booms ke Larantuka, Pastor Kusters tetap bertahan di Kei. Pada 24 Juni 1889, Pastor Kusters mengunjungi pertama kali wilayah bergunung-gunung dengan ketinggian 900 meter, panjang pulaunya 100 kilometer, yaitu Kei Besar. Dengan Kapal Rosenberg, ia tiba di Kei Besar, tepatnya di Mathoat pesisir barat pulau Kei Besar. Dari Mathoat ia berkunjung ke beberapa desa seperti Ohoiwat, Lerohoilim, Weer, Uwat, dan Mun serta Desa Ad. Lalu Kembali ke Tual pada 30 Juni 1889.

Dalam perjalanan, Pastor Kusters melihat bahwa ada kemungkinan lain melayani di Kei Kecil. Atas berkat Tuhan, terlaksanalah pembaptisan pertama di Desa Langgur kepada seorang gadis bernama Maria Sakbau pada 13 Juli 1889. Tanggal ini selanjutnya tercatat sebagai kebangkitan kembali misi Katolik di Pulau Kei. Pada 23 April 1893, diresmikan gedung gereja Langgur (kini Gereja Hati Maria TakBernoda).

Umat Katolik di Kepulauan Kei di depan sebuah gereja sekitar tahun 1902.

Tanpa meninggalkan Kei Besar, Pastor Kusters ditemani Pastor C. van der Heyden, SJ mengunjungi kedua kalinya pada 25-29 Oktober 1893. Bersama Residen Ambon Van Hoevell dengan menumpangi kapal De Arend, mereka dari Tual ke Banda Elat. Kemudian kunjungan ketiga ke Kei Besar pada 5 November 1896 oleh Pastor Heyden. Selama 10 hari di Kei Besar. Di sini, para penduduk bersikap ramah dan mulai condong menjadi orang Kristen. Di beberapa desa sudah ada keinginan untuk menerima Kristus.

Misi MSC

Misi di Kei Kecil dan Kei Besar berjalan cukup baik, maka oleh Gereja wilayah ini dijadikan Prefektur Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea. Ini adalah pemekaran kedua vikariat setelah Vikariat Apostolik Batavia. Pemekaran yang berlangsung 22 Desember 1902 dipercayakan kepada Tarekat MSC dengan Prefekturnya, Pastor Mathias Neyens, MSC dengan surat keputusan pada 13 Februari 1903. Pada saat itu, umat Katolik di Kei Kecil sekitar 1170 jiwa yang tersebar di 17 kampung dengan sudah ada gereja, pastoran, dan sekolah yang didirikan oleh para Yesuit.

Selanjutnya misi terus berkembang dengan hadirnya para misionaris dari Rabaul (Papua Timur) yaitu Pastor Henricus Nollen, MSC; Pastor Joseph Viegen, MSC; Br. Johannes Henricus Kop, MSC dan Br. Adrianus Dionysius van Roessel, MSC. Pastor Neyens juga mendatangkan tarekat Suster-suster Fransiskanes dari Heythuizen. Selanjutnya pada 1905 datang pula serombongan misionaris MSC dari Belanda. Dengan adanya penambahan misionaris, maka terbukalah peluang untuk memulai misi di daratan Kei, Papua, dan Tanimbar.

Memperhatikan perkembangan agama di wilayah ini, maka Kongregasi Propaganda Fide di Roma pada 1920 memandang pantaslah status wilayah Kei-Tanimbar-Papua menjadi Vikariat Apostolik Nederlandsch Nieuw Guina. Sebagai vikaris pertama ditunjuklah Mgr. Johannes Aerts, MSC yang saat itu menjadi misionaris di Filipina. Pada 14 Juli 1921, Mgr. Aerts tiba di Langgur dengan menumpangi kapal Maetsuycker. Di Langgur, ia disambut dengan sukacita.

Para misionaris di Kei makin sadar bahwa di setiap kebudayaan, bahkan di setiap zaman pun, agama dihayati pada cara yang berbeda, sesuai dengan disposisi aktual umat. Hal ini menjadi salah satu pokok bahasan pada konferensi para pastor di Langgur tahun 1924. Dalam pembahasan itu diusulkan banyak hal berkaitan dengan kristenisasi orang Kei termasuk kemungkinan dalam liturgi dimasukkan unsur-unsur kebudayaan Kei. Tak ketinggalan dalam hal ini, Gereja sangat memperhatikan penyatuan budaya-budaya yang berbeda yang kerapkali mendatangkan konflik.

Dalam pertemuan itu, dibahas khusus tentang bagaimana peran hukum Larvul Ngabal di tengah ajaran Gereja. Hukum Larvul Ngabal sebuah aturan yang mengatur tentang banyak hal termasuk memelihara dan menghargai harkat dan martabat manusia yang berbeda. Aturan ini juga menjadi penanda bagaimana relasi sesama manusia, khususnya penghargaan terhadap umat beragama lain.

Memanusiakan Manusia

Kebudayaan lokal, hukum Larvul Ngabal disadari ternyata sejalan dengan ajaran Gereja. Hukum ini mengatur semua aspek kehidupan manusia maupun komunitas ohoi (desa). Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, sikap rela menolong yang diwujudkan dalam sikap orang Kei yaitu maren atau hamaren (saling menolong). Menolong sesama di Kei terjadi secara spontan misal membuka kebun baru, mendirikan rumah termasuk gereja atau masjid, pesta perkawinan atau kematian. Kedua, sikap saling percaya bahwa orang lain akan membantu. Ketiga, sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan adalah hal yang dihargai karena atasan dalam pandangan orang Kei memiliki unsur transenden, mengatasi kolektivitas. Keempat, sikap tahu berterima kasih. Dalam Bahasa Kei artinya tetya, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat di hatiku.”

Prinsip-prinsip ini menjadi kekuatan Gereja bahkan saat Gereja Kei menghadapi Perang Dunia II yang berkecamuk. Pada tanggal 30 Juli 1942, kapal tentara Jepang tiba di Tual dan langsung menduduki tempat-tempat strategis. Tak lama para misionaris di Langgur di tahan di antaranya Mgr. Aerts dan tujuh imam MSC ditembak mati di tepi pantai tanpa pembuktian dan pengadilan. Mereka dibunuh atas tuduhan berkolaborasi dengan tentara Australia.

Kematian para martir Kei ini tidak menyulutkan semangat iman bertumbuh di Kei. Sistem kekebaratan pada masyarakat Kei juga membantu bertumbuh pesatnya misi ini.  Gagasan-gagasan dasar kekeluargaan yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan mengutamakan kekeluargaan di atas segalanya. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan menerima sebagai keluarga. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama.

Wajarlah dari negeri ini, jarang terdengar perselisihan atas dasar agama. Teen fo teen, yanyanat fo yunanat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo mangohoi. Artinya, keluarga Kei memiliki kesadaran bahwa orang tua adalah atasan, anak sebagai bawahan. Contohnya selalu ada satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaan dalam pergaulan. Kesimpulan yang diambil adalah “kamu adalah keluarga saya”.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini