Orang Maluku Tenggara Percaya Mereka Berasal dari Satu Rahim yang Sama: Tidak Ada Alasan Berkonflik

737

HIDUPKATOLIK.COM – TANGGAL 19 Januari 1999, kerusuhan berdarah di Kota Ambon Meletus antara orang Muslim dan Kristen. Dalam waktu singkat konflik horizontal ini meluas ke hampir semua kabupaten, termasuk di Pulau Kei. Pada 30 Maret 1999, secara mendadak sejumlah kampung Islam di pesisir barat Kei Kecil menjadi sasaran serangan orang Protestan. Sejumlah penduduk meninggal dan banyak rumah serta fasilitas kampung hancur. Mereka yang selamat melarikan diri ke Tual dan beberapa kampung Muslim lainnya.

Kaum Muslim membalas dengan menghancurkan Desa Ohoiseb, ujung selatan Pulau Kei Kecil. Kampung Protestan di Ellar, di pesisir timur, pun dihancurkan total dengan banyak korban jiwa. Umat Katolik kurang terlibat dalam seluruh konflik ini karena dilarang uskup dan para pastor. Namun pada beberapa kesempatan masyarakat Katolik Kei Kecil khususnya Desa Letfuan dan Ohoidertutu secara aktif membantu Protestan dalam aksi balas dendam.

Warga Muslim dan Kristen bekerja sama menutup Gereja Stasi St. Antonius, Ohoilus, Paroki Rumaat.

 

Tanggal 3 April konflik meluas ke Kei Besar. Kerusuhan berawal dengan serangan terhadap Desa Larat, yang mayoritas Muslim. Para penduduk, sejauh tidak dibantai, melarikan diri ke Elat atau menyeberang ke Desa Danar dan Tual. Desa Weer dan beberapa desa Islam lainnya mencoba menyerang kampung Protestan Ngaat, Utara Elraan. Hal ini memancing amarah penduduk Desa Bombai dan Ohoiwatsin yang beragama Katolik dan memiliki hubungan kekeluargaan, hingga membakar habis Desa Islam Weer.

Tanggal 1 Mei gerombolan orang Muslim dari Pulau Dullah datang membantu saudara-saudara Muslim dan menghancurkan desa Protestan di Dangarat serta Desa Weduar Far di Selatan Kei Kecil. Selama pekan pertama bulan Mei, para tokoh agama, adat, pemerintah berusaha mengakhiri konflik berdarah ini. Dalam rangka itu, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC dua kali mengunjungi Pulau Kei. Baru pada 3 Mei konflik ini berakhir. Namun banyak orang berbulan-bulan lamanya masih bertahan di tempat pengungsian. Mereka belum yakin akan kembalinya situasi yang aman.

Bulan Februari 2001, Ketua Klasis Kei Besar waktu itu Pendeta Agus Wenno menjelaskan bahwa tidak ada lagi kampung di Kei Besar yang diserang. Ia mengakui bahwa rasa aman itu terjadi karena kekeluargaan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Pastor Andi Rahawarin, MSC juga melaporkan konflik di Kei Kecil berangsur pulih. Masyarakat mulai saling memaafkan. Orang banyak bertanya apa alasan konflik di Malra cepat surut dibandingkan dengan wilayah lain yang memakan waktu tahunan.

Ain Ni Ain

Mantan Bupati Malra, Herman Koedubun dalam sebuah kesempatan mengatakan peran para raja dan pemimpin adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan di tengah situasi konflik itu. Waktu itu masyarakat saling membenci tetapi tokoh agama dan tokoh masyarakat terus membangun komunikasi. Nilai persaudaraan sebagai masyarakat yang lahir dari “rahim” yang sama menguat di tengah konflik itu.

Wajarlah pascakegiatan Dialog Nasional atas prakarsa The Go-East Institute di Jakarta yang diadakan di Langgur pada 15-18 Mei 2001, banyak masyarakat kembali sadar akan rahmat persaudaraan yang kuat di Kei. “Jumlah peserta waktu itu kurang dari 1.500 orang berasal dari berbagai agama dan suku. Rekonsiliasi itu berjalan damai dan semua orang saling memaafkan. Meski waktu itu di daerah lain masih terjadi saling membunuh,” kata Koedubun.

Ia melanjutkan masyarakat patrilineal di Kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang erat. “Vu’ut ain mehengifun, manutainmehetilur,” artinya “telur dari satu ikan dan satu burung”. Maksudnya, masyarakat percaya bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Sejak leluhur hingga sekarang ini, pepata“ain ni ain” artinya “kita semua adalah satu” masih di pegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei. Maka walaupun terjadi konflik, akan cepat selesai.

Umat dari Kristen, Islam, dan Katolik mengantar yelim (bantuan) untuk peresmian gedung gereja St. Yoseph, Paroki Ohoijang, Maluku Tenggara

 

Dalam buku “Sejarah Kehadiran dan Karya Tarekat MSC di Maluku (1903-2020), Pastor Cornelis Böhm, MSC menulis bahwa falsafah hidup dan kebersamaan dengan alam maupun keharmonisan dengan sesama sangat kental di masyarakat Kei. Petua leluhur ain ni ain terus diwasiatkan dalam bentuk nyanyian dan peribahasa secara turun-temurun. “Pada intinya hidup dalam satu desa, tempat untuk mencari makan bersama, maka wajib menjaga adat dan leluhur, serta taat hukum,” tulisnya.

Tulisnya lagi, hal ini terbukti pada konflik agama tahun 1999, tidak kurang dari 100 jiwa yang meninggal, ratusan lainnya menderita berat dan ringan dan puluhan desa nyaris rata. Tetapi dengan pola rekonsiliasi yang mengedepankan hukum adat, konflik itu segera berakhir. Saat ini suasana sangat kondusif, berbeda dengan daerah-daerah lainnya.

Kaki dan Tangan

Dalam masyarakat Kei, kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan juga mempengaruhi cara pandang dan perilaku terhadap tradisi mereka. Berbagai peristiwa seputar kelahiran, perkawinan, dan kematian serta upacara lainnya turut berubah sesuai norma dan aturan agama. Salah satu yang kuat adalah kegiatan tolong-menolong yang melampaui batas-batas agama. Kepatuhan semacam ini bersifat spontan, yang menggerakan masyarakat Kei untuk mengatasi segala perbedaan di antara mereka.

Kerukunan dalam lingkungan hidup masyarakat Kei telah terpola dan terbentuk sejak lama. Pola kerukunan yang diikat berdasarkan kekerabatan ini memiliki kekuatan yang diajarkan dalam nilai-nilai adat. Dari adat, penyelesaian konflik horizontal cepat diselesaikan. Salah satu contoh kegiatan yang menggambarkan pola kerukunan dalam kehidupan masyarakat Kei adalah pemberian yelim, atau singkatan dari kata yeyad (kaki) dan limad (tangan) yaitu pemberian sukarela baik berupa uang atau barang dan juga jasa. Sikap ini berdasarkan pada sikap saling tolong-menolong yang menjadi karakater hidup masyarakat.

Karakteristik masyarakat dengan banyaknya marga, di satu sisi menandakan bahwa masyarakat Kei merupakan kelompok masyarakat majemuk, namun secara historis setiap marga memiliki hubungan darah yang sangat erat. Perbedaan agama yang ada memang telah terbentuk sesuai pilihan keyakinan dari masing-masing marga. Ada beberapa marga yang sama di Desa Kristen, juga ada di Desa Muslim. Meski begitu, perbedaan agama tidak menjadi alasan orang saling membenci.

Sekretaris Kecamatan Kei Besar Titus Betaubun mengatakan hubungan pertalian darah yang diketaui oleh setiap tetua marga menjadi landasan lahirnya sebuah kebiasaan bagi masyarakat Kei yang dikenal dengan tradisi tang tom; semacam tradisi atau kebiasaan orang tua menjelaskan kepada anak-anak mereka tentang silsilah keluarga. Hubungan pertalian darah dan tradisi tam tom menjadi modal sosial yang sangat kuat bagi masyarakat Kei dalam membangun kerukunan dan semangat persaudaraan.

“Jadi ada sifat keterbukaan untuk menghilangkan kecurigaan antar sesama membuat setiap orang hidup dengan bebas dan tetap mengutamakan kerukunan. Selain itu, ada beberapa faktor pendukung terjalinnya kerukunan karena bentuk sosialisasi masyarakat, rendahnya kesenjangan ekonomi masyarakat, dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup damai,” ujar Titus.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi 28, Tahun ke-75, Minggu, 10 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini