Jejak Langkah Pluralism Journey Mgr. Seno Ngutra: Senyum Melintasi Sekat Perbedaan!

339
Mgr. Seno Inno Ngutra bersama anak-anak lintas agama/Dok. Mgr. Seno

HIDUPKATOLIK.COM– Tidak ada alasan untuk mencintai orang lain dengan senyum. Perbuatan sekecil apapun, bila dilakukan dengan senyum, akan berarti bagi orang lain. Manisnya senyum hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang mencintai dengan tulus.

Hal ini telah dibuktikan Mgr. Seno Inno Ngutra, Uskup Amboina. Sejak ditahbiskan menjadi Uskup Amboina, Mgr. Seno yang melayani dengan semangat, “Satu cinta Seribu Senyum” ini semakin antusias menuntaskan kerinduan masyarakat Indonesia untuk saling mencintai dalam keberagaman.

Mgr. Seno Inno Ngutra bersama anak-anak lintas agama/Dok. Mgr. Seno

Konsep moderasi beragama yang diusung Pemerintah Indonesia khususnya Menteri Agama RI Yoqut Cholil, tak cuma sebatas konsep di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Nyatanya, konsep itu diwujudkan dalam ragam aksi menarik. Lagi-lagi, semua berkat Mgr. Seno Ngutra.

Memecah sekat-sekat

“Pluralism journey” telah dimulai langkahnya oleh Mgr. Inno sejak terpilih menjadi Uskup Keuskupan Amboina ini. Kunjungan dari desa ke desa telah dilakukan untuk memecah sekat-sekat yang ada dalam masyarakat yang pluralistis ini.

Ia memulai perjalanannya d sejak  9 juli 2022 lalu. Mgr. Seno melakukan “pluralism journey” nya lagi ke Wambasalahin.

Wambasalahin, sebua desa indah di pegunungan Pulau Buru. Penduduk desa ini terdiri dari kelompok komunitas beberapa agama seperti; GPM (Gereja Protestan Maluku), Katolik, Gereja Sidang Jemaat Allah, Islam dan Kelompok Animisme (belum beragama).

Mgr. Seno mengisahkan, sejak rombongan harus menempuh jarak tempuh ke desa ini dari Trans Namlea (Buru Utara) – Namrole (Buru Selatan) kira-kira 2 jam perjalanan karena jalan berbecek dan naik turun bukit.

Satu video yang sempat  diambil menggambarkan fenomena unik. Bapak uskup yang masih sangat muda ini berjoget bersama anak-anak kampong tanpa dibatasi sekat-sekat agama. Semua menari kegirangan dan bersatu dalam kebersamaan.

Memang sebuah keluhuran masyarakat desa di sana bahwa siapa pun tamu pimpinan agama atau pemerintahan yang berkunjung maka mereka diperlakukan sebagai tamu (agung) seluruh kampung.

Mgr. dengan moto episcopalnya “Duc In Altum” ini benar-benar ingin seluruh umat apapun agamanya mari bersama-sama membagi senyum. Ini sebuah cita-cita luhurnya, agar semua orang bertolak ke tempat dalam, menebarkan jala kebaikan, jala senyum kepada semua orang. Ia cuma ingin setiap orang bisa berbagi senyum hari ini, jika tidak, belum terlambat untuk hari esok.

Salah satu program unggulan Mgr. Seno adalah setiap kali kunjungan selalu ada kegiatan anak lintas iman. Ia berharap agar kegiatan anak remaja lintas agama ini menjadi titik awal di masa membina dan mempererat tali persahabatan anak-anak Indonesia di bawah panji Merah Putih dalam bingkai Negara Republik Indonesia.

Pendekatan Persaudaraan

Dalam setiap kunjungan dan kehadirannya di tengah masyarakat lintas agama, Mgr. Seno tak lupa membagikan momen kebersamaan itu di media sosialnya. Ia berharap kunjungan yang sering juga didamping para tokoh agama lintas iman ini menjadi pola baru dalam pendekatan para pemimpin agama di Maluku secara khusus dan Indonesia secara umum.

Pluralism Journey ini dijalankan dengan senyum, tanpa kata lelah. Energi terkuras karena perjalanan panjang memakan waktu. Meski pikiran terbagi-bagi antara pelayanan Gereja Katolik Keuskupan Amboina dan umat beragama lainnya, tetapi hatinya gembira penuh sukacita. Ia selalu tersenyum menyapa anak-anak, dekat dengan semua orang tua, memeluk tokoh agama tanpa sekat. Tidak ada yang sakit hati karena kedekatan dengan orang-orang tertentu. Semua orang bisa dekat dengannya, bercerita, dan bersenda gurau dengannya.

Ia menjadikan anak-anak sahabat, orang tua panutan, dan para tokoh agama sebagai mitra dalam membangun pluralisme. Meski sekadar hadir dan makan bersama, duduk bersila di atas tanah merah atau rumput hijau, menari bersama, berdendang bersama,  mencicipi kelapa muda atau ikan bakar olahan masyarakat kecil, tetapi itu memberi kesan mendalam bagaimana cintanya kepada umat.

Nyatanya, sukacita dan kebahagiaan itu tidak butuh biaya mahal. Masyarakat dan umat kecil dan sederhana hanya membutuhkan senyum, perhatian, dan kehadiran. Pastoral kehadiran di tengah umat beragama yang kecil adalah hadiah terindah Mgr. Seno untuk membangun pluralisme di Maluku khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Lihatlah dan ikutilah media sosial Mgr. Seno Ngutra, kita akan menemukan bagaimana dirinya tidak jaim, tidak pemalu. Dia cepat berdiri ketika ada umat yang mengajaknya joget, menari. Anak-anak, orang tua, remaja, miskin-kaya, beragama-maupun tida beragama semuanya menyatu dalam sukacita.

Ibu-ibu berjilbab, bapak-bapak bersongkoh, atau tetua adat, tuan tanah, para raja, atau mereka yang belum beragama sekalipun membuka tangan menerimanya. Ia tidak menunjukkan keegoisannya atau kesombongan rohaninya, tetapi selalu merunduk dan meminta nasehat mereka. Meski yang paling membutuhkan nasehat adalah mereka sendiri. Mereka “angkat topi” kepadanya, karena seperti baru kali ini melihat langsung sosok uskup di Mgr. Seno. Ia diterima bak Yesus masuk Yerusalem, sayang Mgr. Seno tidak butuh itu semua. Asalkan ada kebahagiaan, sukacita, dan damai sejahtera di hati mereka – itulah lebih dari cukup.

Ragam Panggilan

Orang sempat bertanya-tanya, apakah ini profil seorang gembala yang ideal? Selama ini Gereja Katolik seakan terkesan “malu-malu” terlibat dalam kehidupan konkrit umat kecil. Berapa sih pastor yang memimpin Misa di pedalaman mau bertahan dan mendengarkan keluhan umat? cukup jarang menemukan sosok gembala di zaman ini. Apalagi seorang gembala mau bersusah-susah di tengah tempat tugas yang kecil. Mgr. Seno mengajarkan para gembala akan pastoral kehadiran.

Banyak kesaksian membuktikan, Mgr. Seno seorang gembala sederhana, seorang uskup yang bersahaja, uskupnya orang miskin, uskup pedalaman, gembala tanpa alas kaki, bapak anak-anak lintas agama, teman para tokoh agama, gembala anak yatim-piatu. Tapi satu sebutan khas di tengah masyarakat Maluku adalah “uskup yang sulit dibenci” sebab tidak ada alasan untuk membencinya.

Anak-anak biasanya ketika bertemu orang baru akan segan mendekati. Apalagi seorang gembala dengan mitra, jubah kebesaran, singulun (sabuk), rochet (superpli), salib pectoral, solideonya yang penuh kekudusan, orang memegang ujung jubahnya saja segan-merasa tidak layak. Sebaliknya di tengah anak-anak, Mgr. Seno bisa memeluk, menggandeng, tertawa, mengusap kepala anak-anak bak anak sendiri. “Mereka mendekatinya bukan kemegahan busana liturginya, tetapi ketulusan hatinya.

Mgr. Seno benar-benar gembala yang sederhana, muda bergaul, tetapi kuat dalam doa dan keutamaan hidup. Seorang uskup yang dialogis, gaul, sekaligus berkomitmen tegas dibalut sifatnya yang humoris. Senyum khasnya itu, terkadang membuat merasa damai dan merasa disegarkan. Tanpa beban menjalani hidup.

Pluralism Journey Mgr. Seno berpuncak pada usaha memuliahkan manusia. Menurutnya, manusia sesungguhnya adalah pribadi yang mau mewariskan toleransi dan persaudaraan kepada anak cucunya. Perbedaan itu adalah keadaan yang diciptakan, tetapi menghargai manusia adalah pilihan yang harus dipilih. Tidak ada jalan lain memuliahkan manusia selain merasakan mereka adalah saudara.

Dan bila sinyal kerukunan mulai redup, bangsa ini butuh tokoh-tokoh pluralisme seperti Mgr. Seno.

Refleksi: Yustinus H. Wuarmanuk

Mantan Murid Mgr. Seno Inno Ngutra di Seminari St. Yudas Thadeus Langgur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini