HOARDER

231

HIDUPKATOLIK.COM – SEPARUH berlari aku menuju toilet di sebuah pompa bensin sembari membendung urine yang sebentar lagi bakal menghambur dari kandung kemihku. Hampir saja kakiku tersandung anak tangga karena sebegitu terburu-buru. Sebongkah kesal menggumpal di dada karena cystitis  (radang saluran kemih) bakal kumat saban kali aku menahan air seni dalam waktu cukup lama.

Penyebabnya, kau tak mengizinkan aku buang air kecil di kediamanmu.

“Pipis saja di WC pompa bensin,” saranmu.

“Tega banget nih orang,” batinku mencoba menutupi gusar.

Sikapmu memang janggal. Padahal aku mampir ke rumahmu untuk membawakan kudapan berbahan ubi kayu yang kuolah sendiri untukmu. Kuingat itu makanan kegemaranmu. Sementara kau menerima kedatanganku hanya di teras yang tak seberapa longgar. Tumpukan barang-barang rombeng yang berbaris di situ mengusik mataku.

“Aku mesti segera balik, Rin. Daripada aku ngompol di sini,” lanjutku diiringi seringai kesal.

Aku tak habis pikir dengan sikapmu. Laksana dikejar hantu, lekas kukebut sedanku nyaris tak terkendali demi menghampiri pompa bensin terdekat. Kali ini, bukan untuk mengisi tangki mobil dengan bensin namun semata untuk membuang urine.

Di sepanjang perjalanan pulang, benakku masih mencerna alasan mengapa kau tak memperbolehkan aku memasuki toiletmu. Toh, aku bukan berasal dari antah-berantah. Bukankah tali pertemanan kita telah teruntai melintasi tiga dasawarsa?

“Pasti karena rumahmu berantakan. WC-mu kotor karena jarang dibersihkan,” umpatku semena-mena akibat dongkol yang mengganjal di hati. Sejenak bayangan teras dan pekarangan rumahmu yang tak teratur berkelebat di benakku. Meski berupaya memahami, nyatanya aku tidak pernah paham. Kediaman yang selayaknya merupakan tempat beristirahat nan nyaman, malah serupa gudang atau bahkan tempat pembuangan sampah!

Apakah kau tak risih? Apakah rasa enggan merapikan barang-barang yang berserakan sedemikian bertakhta di hatimu hingga isi rumahmu amburadul tak keruan? Apakah menimbun menjadi gairahmu yang bergelora? Sepertinya tak sekadar karena enggan, kau telah menjelma menjadi sosok penimbun kompulsif. Hoarder.

***

Selagi masih mendulang ilmu di bangku perguruan tinggi, kreativitasmu kuacungi ibu jari. Ketika sebagian mahasiswa memboroskan waktu demi mengepakkan sayap pergaulan, kau malah mengerjakan aneka kerajinan tangan.

“Rin, yuk kita gabung dengan rombongan Victor, makan-makan di Puncak,” ajakku dengan pijar semangat.

Serta-merta kau patahkan niatku itu dengan penolakan telak.

“Aku mau cepat pulang, Mar. Aku sedang bikin rajutan,” dalihmu enteng.

Di lain kesempatan, kau menyodorkan alasan senada tatkala teman-teman mengajak nonton bareng. “Aku sedang membuat tas dari bungkus kopi sachet.”

Alhasil, kau gemar mengumpulkan aneka barang bekas. Bahkan kau rela mendatangi warung-warung di emper jalan demi memperoleh bungkus kopi bekas. Selanjutnya, kau kian terbenam dalam aktivitas yang tak lumrah bagi orang-orang seusiamu.

“Rina makin senang nyampah sekarang,” keluh Bimo, pacarmu pada waktu itu. “Rumahnya penuh dengan barang rongsokan,” sambungnya memuntahkan sebal.

Hingga suatu waktu, hatimu bak tersayat sembilu karena Bimo beranjak dari sisimu. “Alasannya tidak masuk akal karena aku suka nyampah. ‘Bagaimana rumah kita nanti?’,” ujarmu menyitir ucapan Bimo seraya mengendapkan tangis. Alasan itu tiada sanggup kau takar dengan nalar. Sejak peristiwa luka itu, kau memilih hidup melajang.

***

Waktu telah menyeret kau dan aku ke dalam kubangan kesibukan masing-masing. Kita jarang berkabar, apalagi berjumpa. Perkawanan lawas kerap hanya berjejak kenangan di selasar kehidupan. Demikianlah, relasiku dan dirimu sempat terentang jauh meski sesekali terkait lagi.

Belakangan, kupergoki kelakuanmu bertambah ganjil. Tatkala kita melintasi senja bersama di sebuah kafe ternama di Ibu Kota, kau mengutil cup plastik cappucino beserta wadah red velvet cake dari meja sebelah. Sambil celingak-celinguk, barang-barang itu berpindah ke dalam tasmu yang segera membuncit. Sementara itu, berbagai kisah yang masih tersangkut di dinding kepala seakan mengundang kembali masa belia kita. Tawa dan canda pun menyemarakkan perbincangan kita.

“Buat apa, Rin?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Koleksi,” balasmu terus terang. “Bentuknya lucu,” sambungmu lagi dengan helaan napas panjang.

“Sudah banyak dong koleksimu sekarang?” kataku menyelidik.

“Numpuk di rumah,” balasmu terus terang dengan paras tersipu.

Tiba-tiba, pikiranku melayang ke kediamanmu. Betapa rumahmu penuh dengan benda-benda yang tak jelas gunanya. Banyak barang yang layaknya bermuara di pembuangan sampah malah tak tersentuh seirama waktu di kediamanmu. Gangguan psikologis ini sama sekali tak kau sadari. Lama-kelamaan fungsi rumahmu bergeser, tak ubahnya gudang atau malah tempat pembuangan.

“Rumah Rina penuh dengan barang-barang. Mau duduk saja susah,” lapor istri kakakmu, Dine. “Ada gangguan mental sepertinya,” keluh Dine lagi dengan senyum melengkung.

Aku prihatin mendengarnya. Tampaknya akalmu telah tersesat dalam labirin pikiranmu yang rumit sementara kau tak menyadarinya. Kau tak kuasa menyingkirkan atau menyeleksi koleksimu, apa pun itu. Semua terasa penting. “Hari ini mungkin tak terpakai tapi esok atau lusa, siapa tahu dibutuhkan,” dalihmu. Selarik keprihatinan menelusuk perasaanku, menyadari realitas menyimpang ini. Namun, aku tak kuasa berbuat apa-apa. Terlebih, jika menimbun barang justru mengusung kesukaan di hatimu.

Sesungguhnya, perilaku ini senantiasa diawali dengan kegemaran menyimpan, lalu menimbun. Seiring waktu bergulir, kau kian terjerumus dalam jurang hoarding yang curam hingga sulit diatasi. Siapa yang mengingatkanmu sementara orang lain tak peduli? Sungguh, aku ingin menegurmu. Namun, aku tak ingin kalimat-kalimatku malah menggores batinmu hingga mengoyak jalinan perkawanan kita.

Pada akhirnya aku tak pernah sanggup menyampaikannya. Kata-kata belaka seakan tiada guna karena sejatinya perilaku hoarding membutuhkan serangkaian terapi psikologis…

***

Mentari baru saja tergelincir di kaki langit, tatkala Dine mengajakku ke rumahmu. Entah angin dari arah mana yang berhembus hingga hatinya tergerak ingin menengokmu.

“Besok, aku mau bawakan bubur ayam,” ungkap Dine lewat telepon selularnya.

“Kadang aku kasihan jika ingat dia,” imbuhnya lagi.

Lantas, terluncur kata sepakat.

Keesokannya, aku dan Dine tiba di muka rumahmu. Sejurus berselang, aku mengetuk daun pintu yang warna catnya telah pudar dilumat waktu. Hingga berkali-kali ketukan, pintu itu tak kunjung terkuak. Cemas mulai merangsek hati. Dengan terpaksa, Dine mencongkel daun jendela rumahmu. Kusennya telah rapuh akibat disantap pasukan rayap.

Begitu jendela berhasil dibuka, kami sontak terhenyak. Ya ampun… ruang tamumu penuh dengan barang-barang. Ada bertumpuk-tumpuk karung yang letaknya tak beraturan. Entah apa isinya. Belum lagi berbagai kardus menggunung serta tak terbilang banyaknya tas kresek berserakan nyaris memenuhi lantai. Perabotan-perabotan usang entah dari mana asalnya memadati ruangan. Aroma tak sedap menguar tajam, menusuk indera penciuman.

Sembari mempercepat langkah, Dine terus memanggilmu dengan suara melengking.

“Rina… Rina… di mana kamu?”

Aku tak habis pikir bagaimana selama ini kau sanggup hidup dalam kondisi seporak-poranda itu. Bulir-bulir air mataku berjatuhan karena iba menyaksikan keadaaan yang sebenarnya; betapa kau adalah penimbun parah.

Tiba-tiba, lengkingan suara Dine menghunjam gendang telingaku.

“Rina…, mengapa sampai begini?” ratapnya.

Pemandangan memilukan menghampar di depan kami… tubuhmu lunglai. Kesadaranmu sirna akibat tertiban tumpukan koleksimu yang menjulang. Rasa pedih dan prihatin membiak di dadaku.

Oleh Maria Etty

HIDUP, Edisi No. 26, Tahun ke-76, Minggu, 26 Juni 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini