Rayakan HUT Ke-75, Mgr. Timang Dorong Umatnya Wujudkan Kebaikan Bersama

450
Uskup Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang,/Dok. Keuskupan Banjarmasin

HIDUPKATOIK.COM – “Si Palui sendirian ke Kantor Camat. Mengurus KTP punya bapaknya. Hidup dan panggilan adalah rahmat. Asalnya dari Allah secara cuma-cuma,” demikian sebait pantun di antara 3 bait pantun yang dibacakan oleh Uskup Banjarmasin, Mgr Petrus Boddeng Timang, sesaat sebelum prosesi tiup lilin dan pemotongan kue pada HUT ke-75, Kamis, 7 Juli 2022 lalu. Sebelumnya digelar Perayaan Ekaristi Syukur di Gereja Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin.

Mgr. Petrus Boddeng Timang rayakan HUT ke-75 (Foto: Dionisius Puguh Santosa)

Alunan lagu “Yesus Besertaku” yang dibawakan secara live performance mengiringi pembukaan acara ramah tamah dan syukuran Pesta Intan Uskup Keuskupan Banjarmasin malam itu yang digelar di aula Sasana Sehati.

Vikjen Keuskupan Banjarmasin Pastor Albert Jamlean, MSC dalam sambutan di awal acara mengungkapkan bahwa hidup adalah anugerah yang pantas kita syukuri setiap hari. “Perayaan ulang tahun merupakan kesempatan yang tepat untuk berefleksi sekaligus mensyukuri rahmat yang sudah kita terima dari Tuhan. Malam ini bersama Bapa Uskup kita mensyukuri anugerah kehidupan dan merayakan HUT beliau yang ke-75”.

Mgr Petrus Timang yang malam itu mengenakan passapu (sejenis ikat kepala khas Toraja) berwarna kuning keemasan tampak begitu sumringah di hari jadinya.

Mgr. Petrus Boddeng Timang (tengah)

Dengan penuh rasa syukur, ia mengucapkan terima kasih tak terhingga atas rahmat penyertaan Tuhan yang sudah dialaminya hingga saat ini. “Terima kasih juga saya sampaikan kepada pian sabarataan (anda semua, Red.) dan seluruh undangan yang hadir.” ucapnya menambahkan.

Menurutnya, kehadiran kita di sini (Provinsi Kalimantan Selatan, Red.) bukanlah sebagai kaum minoritas, karena menurut konsep Nusantara, tanah ini tanah bersama, dan hal itu juga berlaku di bumi Kalsel ini. “Semua orang memunyai tugas perutusan masing-masing dari Allah untuk mempersembahkan yang terbaik agar terwujud ‘bonum communae’ demi keselamatan bersama.”

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa keberadaan kita sebagai umat Katolik bukanlah sebagai kaum pendatang atau penumpang sementara, melainkan kita tetap mempunyai kontribusi untuk membangun Tanah Banua (Julukan Kalsel, Red.) yang kita sayangi.

“Untuk itulah saya mendorong umat agar semakin banyak membentuk kelompok kategorial. Sebagai umat Katolik yang berpegang teguh pada prinsip 100% Katolik 100% Indonesia dan sebaliknya, maka hendaknya semua kita lakukan sesuai dengan kemampuan dan talenta yang kita miliki. Dengan semua itu kita berziarah dan berjalan bersama di atas bumi ini sampai masa bakti kita berakhir,” ujarnya.

Seperti kisah yang pernah dituturkan dalam biografi berjudul “Mgr Piet Timang & Falsafah Burung Tattiu’” setebal 401 halaman, ia pernah berkisah bahwa semasa bocah dalam benaknya tak pernah terbersit bayangan akan menjalani panggilan hidup seperti saat ini.

“Saya hanya seorang anak yatim, dilahirkan dan hidup di desa Malakiri, Kec. Sa’dan- Balusu, Kabupaten Tana Toraja (sekarang: Toraja Utara) Provinsi Sulawesi Selatan. Desa itu terletak di dataran rendah di bawah naungan Gunung Sesean, yang diapit oleh dua sungai yaitu sungai Sa’dan dan sungai Balusu, jauh di pegunungan Sulawesi Selatan bagian tengah. Terletak nun jauh di sana sekitar 300 kilometer dari Makassar Ibu Kota Sulawesi Selatan.”

Menurut Mgr Petrus Timang, mereka yang berjasa dalam membentuk diri dan memurnikan motivasinya hingga kemudian berani mengambil keputusan untuk menjadi seorang imam adalah para pastor misionaris CICM dari negeri Belanda dan Belgia dan juga Mamanya.

Ada salah satu kisah dari serangkaian dongeng dari Mamanya yang begitu melekat di hati Piet Timang kecil, “Kisah Tedong dan Burung Tattiu’”.

“Burung tattiu’ ini biasanya menumpang gratis di punggung kerbau yang sedang merumput atau berendam di sawah. Kerbau tidak merasa terbebani dengan ulah si burung tattiu’. Justru si kerbau merasa beruntung karena dengan kehadiran burung tattiu’ karena segala parasit dan kutu dimangsa dan demikian hilang lenyap tak berbekas,” bebernya.

Fabel itu mengandung pesan moral bahwa kita hendaknya dapat saling tolong-menolong dan melakukan kerjasama yang saling menguntungkan di kedua belah pihak.

Di hadapan sekitar 6 ribu umat yang menghadiri prosesi Tahbisan Uskup di gedung Sultan Suryansyah Banjarmasin pada Minggu, 26 Oktober 2008 silam, Mgr Petrus Boddeng Timang pernah berujar demikian, “Tak gampang menjadi uskup di tempat yang dilayani oleh dua raksasa misionaris gembala pendahulu saya di keuskupan ini, yakni Mgr W.J. Demarteau, MSF dan Mgr. F.X. Prajasuta, MSF. Tiga bulan sesudah merayakan hari jadi yang ke-61 tahun, saya diutus untuk menjadi misionaris di Keuskupan yang sudah diasuh dan dibesarkan oleh kedua raksasa misionaris tadi.”

Selama masa penggembalaannya, berhasil diselenggarakan Sinode Keuskupan Banjarmasin perdana pada 16-19 Juli 2013 silam saat keuskupan ini merayakan pesta intannya. Melalui perhelatan akbar tersebut dihasilkan rumusan Arah Dasar (Ardas) Keuskupan Banjarmasin 2015-2024.

Saat Bapa Suci Paus Benediktus XVI menunjuknya sebagai Uskup pada 14 Juni 2008, Mgr Petrus Timang tidak mau muluk-muluk. “Ibarat orang yang berenang di sungai, saya memutuskan untuk mengikuti aliran waktu bagaikan mengikuti aliran Sungai Barito dan Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin.”

Prinsip yang dipegangnya dengan teguh tersebut tergambar pada lambang penggembalaannya, sebuah perahu berlayar di antara dua sungai menuju ke samudera kasih Allah yang tanpa batas demi mewartakan kasih Allah di Bumi Kalimantan ini yang memuat sesanti “Deus Caritas Est (Allah adalah kasih,)” (1 Yoh 4 : 16).

Dionisius Agus Puguh Santosa (Kontributor, Banjarmasin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini