PENDIDIKAN: MENJAGA NYALA API

94

HIDUPKATOLIK.COM – PANDEMI Covid-19 menunjukkan bahwa digitalisasi industri 4.0 Indonesia masih bersifat eksklusif pada sektor industri dan ekonomi, sementara sektor pendidikan masih jauh tertinggal. Dalam praktiknya, digitalisasi pendidikan justru diinisiasi oleh sektor swasta berbentuk startup seperti Zenius dan Ruang Guru yang pada dasarnya dibentuk untuk masyarakat urban di kota-kota besar. Penerima manfaat proses digitalisasi pendidikan di Indonesia masih terus berputar dalam sebuah kebijakan pendidikan yang bersifat Jawa-sentris dan hal tersebut memperlebar ketimpangan pendidikan yang sudah begitu besar di Indonesia (santosa ari budi, CSIS Indonesia 2020).

Dari Keagamaan ke Keturunan

Ketimpangan pendidikan, pada akhirnya akan memunculkan pertanyaan besar, “konsep pendidikan seperti apa, sehingga pendidikan dapat menjawab tantangan zaman ?” Pendidikan di Indonesia memilki sejarah yang panjang terutama pendidikan kejuruan/vokasi, dimulai pada abad ke-16 tahun 1636 dari “sekolah calon imam” seminari di Maluku. Konsep sekolah di Indonesia berawal dari pendidikan yang berbasis pada keagamaan, kemudian bergeser menjadi sekolah berbasis keturunan, bangsa dan status sosial pada periode abad ke-18. Dua abad berlalu, Belanda kemudian mendirikan sekolah kejuruan sebagai cikal bakal pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/SMK, ditandai munculnya sekolah pertukangan di Surabaya pada tahun 1743.

1962 menjadi tahun dimana SMK Katolik St. Mikael menunjukkan eksistensi dalam dunia pendidik Indonesia, tepatnya di Kota Surakarta. SMK St. Mikael Surakarta pada awalnya bernama STM Kanisius, didirikan pada tahun 1962 oleh Romo Wakkers, SJ (seorang Belanda) dengan dua jurusan yaitu: Mesin Umum dan Bangunan Gedung. Hingga tahun 2022, genap 60 tahun setelah “api vokasi dikobarkan” SMK St. Mikael Surakarta ber transformasi menjadi salah satu sekolah pusat keunggulan dengan jurusan Teknik mesin.

Ciri khas pendidikan Jesuit 4C (Competence, Conscience, Compassion, dan Commitment), melekat erat dan menjadi motor penggerak sekaligus core value dalam setiap proses Pendidikan di SMK St. Mikael Surakarta. Sebuah pengalaman menarik yang kembali mengantar pendidik untuk tidak sekedar menjadi “pendidik” bagi peserta didik, namun juga harus menjadi “nyala api” bagi mereka. Hal ini sungguh selaras dengan “universal apostolate preferences – UAPs”. Mendampingi kaum muda dalam menciptakan masa depan yang penuh harapan. 4C terus diimplementasikan dalam setiap proses pendidikan di SMK St.Mikael, melalui siklus Konteks, Pengalaman, Refleksi, Tindakan, Evaluasi.

Pedagogi Ignatian

Sebuah kerangka kerja yang selalu dipakai dalam pedagogi ignatian SMK St. Mikael. Keunggulan akademis atau keterampilan (competence), kemampuan membedakan benar dan salah (conscience), kepedulian kepada mereka yang tersingkir (compassion), dan kehendak kuat terutama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama serta melayani kaum lemah (commitment). Education is not a job but an attitude. It is a way of being. (Paus Fransiskus, 7 Juni 2013). Sehebat apapun seseorang untuk berpikir, merasa dan beraktivitas ‘berbeda’ dengan habitsnya/kebiasaan, dia tidak akan bisa ‘menipu’ habitsnya (Atomic Habit, James Clear).

Maka SMK St. Mikael tidak hanya mencetak pribadi yang pintar dan cakap dalam bidang intelektual. SMK St. Mikael mendidik “manusia” menjadi pribadi utuh. Pribadi yang memiliki cara hidup yang baik, pribadi tanpa topeng. Pertanyaan reflektif untuk kita bersama. Apa pelajaran terbaik yang pernah kita terima? Jawabannya tidak akan pernah lari dari “cara belajar, adalah sebuah cara hidup”. Membangun repetisi untuk memunculkan cara belajar sehingga mampu diimplementasikan sebagai cara hidup.

Dilain sisi, menjadi pendidik bukanlah sekadar untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Lebih dari itu, mentransfer nilai agar dapat menemukan jati diri sebagai tenaga didik, yang dituntut untuk bekerja multicerdas dalam mengembangkan potensi kreativitasnya, agar tetap memiliki moral, mental, dan daya juang yang tinggi (lanud LSM 2021). Pintu besar harus terbuka, untuk mencapai pendidik dan peserta didik yang “terhubung” sehingga proses pendidikan dapat mencapai tujuanya.

Konteks Peserta Didik

Dalam proses pendidikan di SMK St. Mikael Surakarta, pendidik dituntut untuk dapat mengerti “konteks peserta didik”. Pendidik perlu mengerti situasi peserta didik yang diajar, lingkungan sekolah, jurusan, dan lain-lain. Konteks ini akan mempengaruhi pilihan pengalaman dan juga model pembelajaran yang akan digunakan. Semakin pembelajaran sesuai dengan konteksnya, maka peserta didik akan semakin mudah menangkap dan mengerti. Beberapa konteks yang perlu diperhatikan: (1) Konsep awal peserta didik (Semua nilai, pengertian, ketrampilan, konsep yang dibawa sebelum proses pembelajaran); (2) Konteks peserta didik (keluarga, teman, agama, lingkup budaya, media, harapan kedepan). Hal Ini, mempengaruhi tingkah laku, persepsi, cara ambil keputusan peserta didik; (3) Konteks sosial, politik, budaya (kemiskinan, kebebasan – paksaan, otoriter, korupsi, tertutup); (4) Lingkungan sekolah (suasana belajar, persaudaraan, nilai moral, kualitas, etos kerja, organisasi, nilai yang diperjuangkan, kurikulum, aturan-aturan main).

Contoh konteks peserta didik dalam pembelajaran: pengetahuan dan ketrampilan awal peserta didik, gaya belajar peserta didik, hidup peserta didik. “Konteks” tentu menjadi persoalan tersendiri untuk pendidik dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Tuntutan capaian pembelajaran dan administrasi kadang malah membuat “pendampingan” menjadi terabaikan. Pendidik “lupa” akan tugas dan perananya. Untuk itu, perlu ada pendekatan yang harus diterapkan pendidik.

Cura Personalis

Salah satu ke khasan lain pendekatan pendidikan di SMK St. Mikael yang adalah sekolah Jesuit, adalah cura personalis atau perhatian pada pribadi siswa. Cura personalis menyangkut perhatian pendidik kepada peserta didik secara mendalam sebagai seorang pribadi dengan segala situasinya yang berlainan. Perhatian itu dilandaskan pada kesadaran bahwa setiap pribadi itu unik dalam perkembangannya dan membutuhkan bantuan yang khusus pula. Maka, pendidik perlu mengenal secara pribadi peserta didiknya.

Bentuk cura personalis dapat beraneka ragam tergantung pribadi peserta didik yang dibimbing. Misalnya, mendampingi, mendengarkan, menanyai, berdialog, melihat kesulitannya dan menolongnya dan lain-lain. Meski bentuknya beraneka ragam, tetapi intinya sama yaitu penghargaan, penerimaan siswa sebagai pribadi manusia yang berharga; dan keinginan untuk membantu mereka sesuai dengan keadaan mereka. Cura personalis sebenarnya salah satu wujud dari semangat kasih sendiri. Kasih kepada peserta didik jelas menuntut perhatian secara pribadi terhadap mereka. Peserta Didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau angka, tetapi sebagai pribadi dengan kekhasan masing-masing.

Lalu, konsep pendidikan yang seperti apa sehingga pendidikan dapat menjawab tantangan zaman ? “Kesulitan terbesar kita adalah bukan membedakan baik vs tidak baik namun baik Vs baik” (J. L. Badaracco, Jr). Pada akhirnya pendidik harus memahami bahwa kita semua adalah kolaborator karya Allah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa – UAPs.

Julius Denny, Guru Bimbingan dan Konseling SMK Katolik St. Mikael Surakarta

HIDUP, Edisi No. 25, Tahun ke-76, Minggu, 19 Juni 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini