HATI-HAT DI JALAN

278

HIDUPKATOIK.COM – KUTATAP foto perempuan cantik satu ini.

Foto itu kuambil saat ia menjadi lektor perayaan nama pelindung gereja kami. Suaranya yang empuk dan lantang membuat semua umat pasti akan langsung menyimak bacaan Kitab Suci yang dibacakan.

Tak jarang pula, karena ketenarannya itu, dia paling sering diminta menjadi lektor pada kegiatan-kegiatan besar paroki atau bahkan keuskupan.

Orang banyak memanggilnya, Becky meski nama lengkapnya adalah Benedicta Laksmini. Kadang orang juga menyebutnya dengan tambahan “Becky Lektris” sebab dia memang dikenal karena tugas pelayanannya itu.

Aku mengenalnya sejak diminta bantu di divisi liturgi gereja ini. Meski divisi ini tidaklah asing bagiku, sempat kagok juga bersama tingkatan orang yang berbeda, dari yang masih remaja sampai yang sudah relatif sepuh. Lingkup pelayanan mereka pun dari yang masih misdinar hingga sebagai pro daikon. Tentu saja bukan semua aku yang pegang. Ada tim terdiri dari beberapa orang.

Becky adalah salah satu anggota tim lektor yang sangat kuandalkan dan banggakan. Becky sendiri menyadari betul posisinya. Maka ia nyaris tidak menolak tiap kali diberi tugas. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal itu benar-benar mampu mengatur waktu sekaligus bertanggungjawab atas semua hal dalam hidupnya.

Secara perawakan, kulit serta tubuhnya yang langsing itu sebenarnya menarik layaknya perempuan Indonesia pada umumnya. Rambutnya hitam ikal memanjang menyentuh pundak. Seringnya saat tugas dia ikat satu. Tampilannya ini yang rupanya banyak disuka juga oleh kaum adam, teman-teman di gerejanya. Apalagi Becky murah senyum dan pendengar yang baik.

Aku pribadi mengaguminya lebih pada komitmen dan cara dia bertanggungjawab atas tugas dan hal-hal dalam kehidupannya. Kalau secara fisik, kurasa mataku saja yang mengagumi, tidak lebih.

 

 

“Mas enggak mudik?” tanya Becky ketika tahu selama masa Pra-Paskah hingga Paskah ini aku tidak pulang ke rumah.

“Ya karena rumahku jauh dan persiapan Paskah ini kan enggak memungkinkanku untuk mudik,” jawabku yang dapat dipahami Becky.

“Kalau gitu, main ke rumahku saja, Mas… Kenalan sama bapak ibu,” ajaknya tiba-tiba.

“Boleh. Nanti kita cari waktu yang pas ya,” jawabku,menanggapi positif ajakannya.

Oleh karena kuliahnya di kota, maka Becky memang harus terpisah dengan keluarganya. Selama di kota Becky kos di dekat kampusnya. Biasanya dua minggu sekali dia pulang ke rumahnya yang butuh waktu sekitar 2-3 jam perjalanan.

Tak lama setelah tawaran itu, aku pun mampir ke rumah orang tua Becky. Rumah yang tidak terlalu besar, tapi asri. Penghuninya pun hangat, akrab satu sama lain. Aku merasa seperti pulang ke rumah sendiri.

“Mas Pandu, kalau enggak bisa mudik ke rumah orang tuanya, jangan sungkan untuk mudik ke sini saja ya,” ujar Ibunya Becky. Wajah penuh kasih itu sungguh mirip dengan wajah ibuku di kampung halaman. Maka, tak heran kalau untuk mengisi waktu libur pendek, aku beberapa kali “pulang” ke rumah Becky. Sekadar melepas kerinduan pada kehangatan sebuah keluarga.

 

Banyak kaumku akhir-akhir ini sering sekali membicarakan Becky. Apalagi mahasiswa atau orang muda seumuran Becky. Riuh sekali kalau sudah bercerita gadis muda satu itu.

Sejak rambutnya dipotong sedikit, entah mengapa mempengaruhi wajahnya sehingga semakin manis dilihat. Padahal potongannya juga tidak banyak. Paling 1-2 senti. Tapi, tetap menglingi. Ada sesuatu yang membuatnya menjadi lebih fresh dan semakin enak dilihat.

“Kamu juga ikut makin mengagumi Becky, Ndu?” Richard tiba-tiba bertanya mengejutkanku yang sedang memandangi Becky yang sedang berlatih membaca Kitab Suci bersama teman-teman lektor lainnya.

Kulepas senyumku dahulu sembari mencoba merapikan kalimat jawab yang sudah ada di kepala. “Ya, biar gimana kan aku lelaki normal juga. Melihat keindahan seperti seorang Becky itu enggak akan bisa membuatku berbohonglah…”

Richard tertawa kecil.

“Kamu tahu enggak, dulu itu dia pernah diperebutkan tiga teman cowoknya. Dua teman kuliah, satu anak gereja sini juga. Dia milih yang anak gereja, ya meski sekarang mereka enggak jelas sih… Si cowoknya dapat kerja di tempat jauh yang kudengar.” Richard mengalihkan pembicaraan.

“O ya?” aku kaget.

Kepala Richard mengangguk. “Aku memang tidak terlalu tahu proses mereka. Tapi, yang kutahu dari anak-anak lain. Becky memang senang dengan cowok yang aktif di gereja, dekat dengan keluarga dan sehobi dengannya yang suka gambar itu.”

Aku menyimak dengan serius.

Selama berteman dengan Becky, dia pernah cerita pernah dekat dengan teman gereja yang kini sedang kerja di tempat jauh. Memang sih, dia juga sedikit menyinggung soal laki-laki idamannya.

“Eeeeh…,” mendadak Richard seperti teringat sesuatu.

“Kok cowok idamannya itu mirip kamu juga yaa…” Richard jadi memandangku dengan tatapan serius.

“Kamu kan juga senang gambar, bikin disain gitu to??”

Aku malah jadi salting.

“Apalagi kamu sudah dekat dengan keluarganya. Wah… Bisa bikin gosip heboh ini. Haha…”

Aku ikutan tertawa.

Tetapi, mendadak dalam hati ada rasa takut juga jika memang ada banyak orang yang menangkap demikian. Padahal di antara kami tidak ada apa-apa. Kedekatan ini murni sebagai teman atau rekan aktivis gereja. Walau tak langsung bilang, Becky seperti meragu untuk membuka hati sejak yang pernah dekat itu sedang jauh di mata. Kebetulan juga Becky sudah pernah bilang langsung bahwa ia menganggapku sebagai kakak. Maka, aku tak protes dan mempersilahkan ia memanggilku dengan panggilan “Mas”.

 

Sudah hampir jam satu dini hari, tapi mataku tak mampu terpejam.

Di kepala begitu banyak hal memenuhi, seperti tak memberi ruang sedikit saja agar mimpi bisa diam-diam mengambil alih kantuk mata yang sedang seperti hendak bermain-main saja.

Perjalanan hidup kali kurasa memaksaku untuk berpikir keras. Perjalanan yang dalam prosesnya bertemu banyak orang dan peristiwa, terutama bertemu sosok istimewa satu itu yang kuanggap sama. Semirip rasa.

Kondisi ini tak hendak kuanggap angin lalu meski seringnya mengharuskan kuambil nafas panjang agar tak lama-lama mendekat.

Sudah beberapa hari ini aku bersama Becky dan kawan-kawan untuk menyiapkan sebuah kegiatan cukup besar. Ini momen kesekian kali aku bersama gadis manis yang makin disuka banyak lelaki itu dalam waktu nyaris tiap hari bertemu.

Entahlah, mungkin perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang beda tiap kali mata kami bersirobok lalu sama-sama memberi senyum termanis yang kami punya. Biasanya, Becky yang akan lebih dulu tersipu malu lalu menunduk.

Duh…

Kok aku makin merasa gemas dan di bagian dalam dada ada yang mengilikitik ya?

Rasa itu semakin kencang akhir-akhir ini tiap kali di dekatnya, terutama jika dia sudah tersipu malu tiap tanpa sengaja kami bersirobok.

Gusti… Mengapa ia semakin terlihat makin manis dan mengajak kepalaku kembali mengingat sosok perempuan yang kuinginkan itu seperti apa?

Yes.

Harus kuakui, Becky adalah sosok perempuan yang kuidamkan selama ini. Bukan dari penampilan fisiknya, tetapi dari keseluruhan dirinya. Lahir batin.

Sungguh, dia ternyata adalah perempuan yang selama ini hanya ada di kepalaku…

Lalu… Bagaimana selanjutnya aku melangkah atas kondisi ini?

Apakah perjalananku harus berhenti padanya?

“Mas Pandu ditanya bapak ibu. Katanya sudah lama sekali enggak mampir,” ujar Becky beberapa hari lalu.

“O iya ya…. Kesibukan ini benar-benar menyita wakuku, Dik… Kamu tahulah gimana,” jawabku.

Kulihat Becky berubah raut mukanya. Tatapan mata teduhnya itu mendadak menjadi sesuatu yang mungkin hendak dia utarakan, tetapi seperti ada yang menghambat di mulut.

“Mas Kurnia balik ke Bandung, Mas..,” ujarnya pelan.

“O ya?” komentarku singkat.

Kepala Becky mengangguk.

“Kalian sudah bertemu?”

Sekali lagi kepala gadis di hadapanku ini mengangguk. “Sudah. Sudah ke rumah, ketemu bapak ibu malah…”

“Oh…”

“Ibu sama bapak kemarin nanya aku Mas, bagaimana hubungan kita ini sebenarnya? Apalagi setelah kedatangan Mas Kurnia datang lagi ke Bandung.”

“Kamu sendiri masih punya perasaan ke Kurnia?”

Kali ini Becky menunduk. Hal yang hampir selalu sama ia lakukan tiap kali kutanyakan tentang hal itu Padahal ada bagian dalam diriku yang ingin sekali mendengar jawaban tidak darinya.

Malam kian berlalu. Dini hari kian menjelang.

Lalu, bagaimana dengan mataku yang susah sekali mengatup ini?

Padahal jam sembilan nanti, aku harus menghadap pimpinanku. Evaluasi seluruh hasil kerja dan keputusan bagaimana selanjutnya nasibku.

Hhh…

 

Segala yang harus terjadi selanjutnya kini kupasrahkan kepada Sang Pemberi hidup.

Aku hendak menjalaninya saja dengan sebaik-baiknya.

Termasuk hari ini ketika Romo Paroki memberi pengumuman di gereja selepas Misa Hari Minggu. “Saudara-saudara terkasih, hari ini saya sekalian hendak memberitahukan bahwa tugas pastoral dari Frater Pandu sudah selesai di paroki ini. Besok ia harus kembali ke rumah formasinya untuk melanjutkan proses panggilannya. Kita doakan bersama ya saudara-saudara sekalian supaya Frater Pandu lancar dalam menempuh semua proses menuju jenjang Diakonat dan akhirnya menjadi Romo…”

Sedikit gaduh dari bangku umat. Untungnya mereka masih menahan diri untuk tidak bertepuk tangan.

Aku sendiri berusaha tenang dan memberi senyum saja kepada mereka. Bersiap memberi sedikit komentar atas pengumuman yang diberikan Romo Paroki barusan.

Sesaat namaku dipanggil, sempat kulirik Becky yang duduk di bangku lektor.

Tidak sama sekali memandang ke depan. Sekelebat kutangkap tangan kanannya menyeka pinggiran matanya. Bisa jadi itu bulir bening yang tanpa sengaja menetes tak diminta.

Langkahku terus maju ke depan. Keyakinan akan keputusan ini membuatku tak ragu untuk meneruskan pilihan. Meski tak kupingkiri juga, ada satu bagian perjalanan hidup yang sesaat menghentikan langkah sebab dikira ada jalan lain bersama yang lain pula menuju tujuan.

Aku tak hendak menyalahkan. Kukini percaya, Becky dipertemukan untuk menguatkan panggilan dan aku dikenalkan untuk Becky agar diyakinkan bahwa dia harus tetap melanjutkan perjalanannya.

Tetap berhati-hati di jalan, Becky….

Oleh Anjar Anastasia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini