Ketua KKPPMP Regio Sumatera/Badan Pengurus KKPPMP KWI, Pastor Chrisanctus Paschalis Saturnus: Agar Mereka Terhindar dari Target

494

HIDUPKATOLIK.COM – Perempuan dan anak-anak kerapkali menjadi target perdagangan manusia. Peran apa yang harus dilakukan Gereja?

KEPRIHATINAN dan seruan Paus Fransiskus dalam buku Arah Pastoral Perdagangan Manusia menjadi inspirasi para penggiat Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) di berbagai keuskupan untuk melakukan ragam kegiatan dalam rangka menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Bagaimana peran KKPPMP dan Komisi Justice and Integrity of Creation (JPIC) memberi animasi terhadap persoalan ini? Berikut wawancara HIDUP dengan Ketua KKPPMP Regio Sumatera sekaligus Badan Pengurus KKPPMP Konferensi Waligereja Indonesia, Pastor Chrisanctus Paschalis Saturnus.

Pastor, apa itu human trafficking dan bagaimana bentuk-bentuknya?

      Perdagangan orang (human trafficking) adalah segala bentuk tindakan perekrutan, pengangkatan, perpindahan, pengiriman dengan segala ancaman kekerasan, penipuan, pemalsuaan, penyalahgunaan kekuasaan, yang bertentangan dengan hak asasi manusia untuk tujuan ekspoitasi.Bentuknya itu macam-macam seperti perbudakan berkedok pernikahan dalam bentuk pengantin pesanan; pekerja anak dibawah umur; adopsi illegal; eksploitasi organ tubuh; eksploitasi ekonomi; pengemis; dipaksa untuk menjadi pekerja seks; dipaksa untuk menjadi model pornografi; dan pekerja rumah tangga yang mengalami eksplotasi.

Sejauh pengalaman Pastor, bagaimana modus awal human trafficking?

      Ada aneka macam modus awal agar orang mau menjadi korban. Modus awal yang ditawarkan oleh mafia adalah janji-janji muluk akan sebuah pekerjaan yang mudah dikerjakan dengan gaji yang besar. Janji-janji itu disertai dengan pemalsuan atau manipulasi ataupun tipu daya muslihat bahkan disertai juga dengan ancaman, intimidasi, dipaksa dengan kekerasan, diculik, dan lain-lain. Intinya para mafia umumnya menawarkan pekerjaan dengan gaji besar dan dengan cara yang mudah dan beribu jebakan lainnya yang membawa orang pada perangkap perdagangan manusia

 

Human trafficking adalah persoalan kompleks dan butuh kerja sama semua pihak. Bagaimana bentuk kerja sama yang harus buat?

      Perlu disadari bahwa proses penghapusan tindak perdagangan orang ini membutuhkan kesadaran dan partisipasi semua pihak baik itu pemerintah, Gereja, LSM, ormas, pemuka agama, masyarakat umum, maupun korban. Harus bersama-sama berdiri dan tidak tinggal diam dalam permasalah perdagangan orang ini. Kerjasama bisa dilakukan melalui tiga tahapan.

Pertama, Bekerja sama dalam bidang pencegahan. Misalnya, Gereja dan pemerintah, bisa memperkasai program pendidikan masyarakat dan kampanye tindak perdagangan orang, melakukan animasi dan motivasi upaya- upaya pencegahan, memberikan wawasan hukum, pendidikan dasar kepada anak dan perempuan untuk mempeoleh pekerjaan yang aman, melakukan pelatihan, dan membangun kesadaran bersama akan bahaya kemanuasiaan ini. Bisa juga memberi.

Kedua, bekerja sama dalam bidang perlindungan. Misalnya, kita memberikan pendampingan korban, baik dari proses hukum, persoalan-persoalan yang dialami korban lainnya baik psikis dan jasmaninya, sampai dengan pemulangan dan integrasi. Kami di Keuskupan Pangkalpinang memiliki shelter di bawah komisi KKPPMP keuskupan.

Ketiga, bekerja sama dalam bidang hukum demi keadilan bagi para pelaku.

Apakah ada pengalaman terkait penanganan human trafficking?

      Sejak 2013, saya memiliki banyak pengalaman dalam menangani kasus human trafficking. Dari pengalaman itu saya menemukan berbagai motif mengapa seorang pergi dan terperangkap dalam jebakan mafia.

Sejumlah TKI yang membuat pasport untuk berangkat ke luar negeri.
(Foto: Ist.)

Sebutlah karena kemiskinan (banyak korban direkrut dari daerah-daerah miskin ke wilayah-wilayah yang lebih kaya dan maju. Kesulitan Hidup  seperti adanya konflik keluarga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jeratan utang, perceraian, sakit, lari dai rumah, dan sebagainya. Ada persoalan konflik Sumber Daya Alam seperti kekeringan, gagal panen, bencana alam. Rendahnya tingkat pendidikan. Misalnya, tanpa persiapan yang cukup dalam hal status hukum, keterampilan, bahasa, pengetahuan budaya, jaringan sosial.  Kuatnya budaya patriarkal yaitu menjadikan perempuan lebih rentan, laki-laki merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan dalam hal kuasa, otoritas, dan akses kepada sumber daya.

Mengapa perempuan dan anak-anak yang rentan menjadi korban?

      Pertama, kita harus sadar bahwa semua karena kebutuhan tenaga kerja. Pada lapangan pekerjaan nonformal memang tenaga kerja yang diperlukan adalah perempuan. Misalnya, kebutuhan dalam pekerjaan rumah tangga seperti di Malaysia dan Singapura. Kebutuhan dalam kasus pekerja seks komersial, perempuan menjadi objek eksploitasi seksual.

Kedua, segi budaya. Kuatnya budaya patriarkhi yang masih banyak hidup di masyarakat kita menjadikan perempuan lebih rentan, kedudukan perempuan dianggap di bawah. Tak jarang peran ganda dijalankan oleh perempuan. Terkadang perempuan, yang juga seorang ibu atau istri harus pula menjadi tulang punggung keluarga guna menopang kebutuhan rumah tangga. Sama juga seperti anak–anak, di dalam budaya kita, anak dituntut untuk bisa membantu orang tua dan ketika dia seorang anak maka ia akan berada di posisi rentan, jarang diajak berpendapat dalam pertemuan keluarga, kurang juga mendapat pendidikan dan akhirnya tidak punya pilihan terpaska pergi meninggalkan kampung halaman demi berbakti kepada orang tua.

Pastor Chrisanctus Paschalis Saturnus (berdiri tengah) bersama Bridget Tan dan teman-teman dari Jaringan Safe Migrant Batam.

 Bagaimana peran Gereja mengatasi persoalan human trafficking?

      Kepedulian Gereja Katolik, khususnya Keuskupan Pangkalpinang terhadap masalah perdagangan manusia di wilayah Propinsi Kepulauan Riau (Batam sebagai daerah tujuan dan transit dengan sejumlah pelabuhan tikusnya) melalui KKPPMP, telah menangani beberapa kasus baik mereka yang dieksploitasi di Kepulauan Riau maupun di negara tetangga Malaysia dan Singapura.

Gereja perlu menyampaikan informasi secara berkala kepada umat dan masyarakat serta keluarga korban terhadap isu-isu perdagangan manusia, modus kegiatannya, dan akibat-akibat yang di timbulkannya. Gereja perlu juga mendekatkan masyarakat pada akses keadilan. Menyerukan keadilan kepada publik melalui media sosial yang ada agar mendapat perhatian dari berbagai pihak terhadap masalah-masalah ketidakadilan (hukum) yang diterima para korban perdagangan manusia.

Jalan Salib Melawan Perdagangan Manusia yang diadakan oleh para frater di Seminari Tinggi St, Mikhael Penfui, Kupang, NTT.
(Foto: Dok.Pribadi)

Gereja bisa pula memberi masukan berbasis ‘etika moral Kristiani’ kepada umat, penyalur tenaga kerja, dalam mengambil kebijakan perlidungan pada buruh migran dan kebijakan yang diskriminatif terhadap tenaga kerja perempuan. Menjangkau kaum muda agar menjadi pioner dan memiliki kesadaran, kepekaan dan solidaritas yang tinggi terhadap praktek-praktek perbudakan perdagangan manusia yang melanda angkatan muda pencari kerja. Paling penting juga Gereja membangun komunikasi dan kerja sama dengan berbagai lembaga kemanusiaan dalam melakukan upaya-upaya pembelaan kasus-kasus perdagangan manusia.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 18, Tahun ke-76, Minggu, 1 Mei 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini