HIDUPKATOLIK.COM – Pagi itu cuaca Tokyo, Jepang cerah, setelah semalam hujan lebat. Kami bangun agak awal, karena ingin Misa Minggu Paskah.
Kali ini kami pilih gereja yang terjangkau jalan kaki dari lokasi kami menginap. Setelah mencari di googlemaps, kami temukan ada sebuah gereja bernama Honjo Catholic Church. Jarak gereja dari ‘apartemen’ yang kami sewa ini hanya sekitar 2 km.
Setelah mandi bergantian, ngopi dan sarapan mie seduh, kami bergegas keluar kamar yang terletak di lantai 4.
Banyak apartemen di Tokyo, berupa bangunan 4 lantai dengan beberapa kamar pada setiap lantai. Walau bangunan 4 lantai, tidak disediakan lift. Jadilah saat awal kami datang, kami harus menenteng koper-koper besar naik ke lantai 4 melalui tangga. Suatu perjuangan tapi sekaligus pengalaman.
Udara saat itu masih cukup dingin, jadi perlu bekal jaket tebal. Jalanan sepi, toko-toko juga tutup, entah karena masih pagi, entah karena hari Minggu. Situasi yang nyaman untuk melenggangkan kaki.
Dalam perjalanan ini kami melewati Tokyo Skytree, sebuah menara TV sekaligus salah satu ikon baru Kota Tokyo.
Pada malam hari, ikon ini menjadi sangat cantik dengan lampu hiasan yang begitu gemerlap. Rasanya tidak ada turis yang tak mampir ke sini.
Bila kantong cukup tebal, bolehlah beli tiket untuk naik sampai ke dek atas. Suguhan menarik menanti, berupa panorama seluruh kota Tokyo. Bila kantong tipis, cukuplah berfoto-foto di plaza bawah menara.
Pihak pengelola sudah menentukan spot terbaik untuk mengambil foto menara. Bahkan pada titik ini, di lantai disediakan sebuah dudukan untuk meletakkan HP atau kamera.
Dijamin hasil foto dari sini, akan menangkap keseluruhan menara yang sangat tinggi itu. Tercatat memiliki ketinggian 634 meter.
Kami terus berjalan, lima belas menit kemudian, nampaklah gereja yang kami tuju, Gereja Honjo. Ternyata ini sebuah gereja kecil. Ada halaman tapi juga tidak besar.
Gereja ini sudah ada sejak 1880 yang merupakan pengembangan dari paroki Asakusa.
Waktu itu Uskup Auxilier Felix Midon meresmikan gereja Honjo sebagai paroki ke empat dari keuskupan Tokyo.
Secara khusus gereja ini juga didedikasikan kepada 26 Martir Jepang. Gereja ini berulangkali hancur dan dibangun kembali. Hancur entah karena perang atau bencana alam.
Bangunan gereja yang sekarang ini adalah hasil renovasi pada tahun 1951, setelah rusak cukup parah akibat perang dunia kedua.
Paroki Honjo mencakup wilayah yang cukup luas, namun umatnya tidak banyak. Menurut data dari Keuskupan Tokyo, per 31 Desember 2019, jumlah umat hanya 517 orang.
Agak bergegas, karena jarum jam di tangan sudah menunjukkan pukul 9.29, kami masuk gereja. Seketika saya terkejut. Bila kemarin saat Misa Minggu Palma, misa Kamis Putih, ibadat Jumat Agung, gereja lenggang, kali ini berbeda.
Gereja kecil ini penuh. Beberapa umat sudah duduk di kursi tambahan di lorong samping dan belakang gereja. Kami terpaksa berdiri di belakang.
Namun ada dua umat atau mungkin petugas tatib, mengambilkan kursi-kursi tambahan untuk kami. Jadilah kami terpisah, mencari tempat kosong untuk sebuah kursi dimana kami bisa duduk.
Misa berlangsung meriah, nampak semua umat aktif terlibat termasuk ikut lantang bernyanyi.
Saat homili, imam banyak menyapa umat. Nampak sekali adanya keakraban antar imam dan umat, serta juga antarumat sendiri.
Mungkin karena gereja tidak besar sehingga mudah terbentuk keakraban. Juga karena jumlah umat paroki tidak banyak, maka imam sungguh dapat mengenal umatnya. Sehingga mereka berubah menjadi satu keluarga besar.
Hal ini diperkuat, saat Misa selesai, saya lihat umat tidak langsung bubar. Mereka mengeser kursi-kursi ke samping, sepertinya akan ada acara ramah tamah.
Dari halaman gereja ketika kami melangkah hendak pulang, saya sempatkan melirik ke dalam gereja, ternyata mereka sedang foto bersama sambil bercengkrama.
Sungguh suatu pemandangan langka, bagaimana mereka menunjukkan makna Gereja sesungguhnya. Gereja sebagai kumpulan orang beriman yang telah menjadi satu keluarga.
Sungguh, Yesus yang bangkit, ada bersama mereka.
Selamat Paskah, Saudaraku!
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang