St. Agatha Yi So-sa (1784-1839): Martir di Tengah Kaum Pagan

411
St. Agatha Yi So-sa dan adiknya St. Petrus Yi Ho-Yong/maria.catholic.or.kr/

HIDUPKATOLIK.COM“Selama Kristus tidak mengkhianati kami, tidak ada alasan untuk melupakan-Nya,” ujarnya suatu ketika.

 HUJAN lebat mengguyur wilayah Gilhae, Korea Selatan, membuat dinding penjara jebol. Penjara yang dibangun Dinasti Joseon (1803-1838) mengalami rusak parah diterjang banjir. Situasi itu membuat para tahanan kocar-kacir. Beberapa justru menggunakan peluang itu untuk melarikan diri.

St. Agatha Yi So-sa / maria.catholic.or.kr/

Di antara para tahanan, ada Agatha Yi So-sa dan adiknya Petrus Yi Ho-Yong (1803-1838). Sebenarnya Agatha dan Petrus punya peluang besar melarikan diri. Keduanya menempati ruang persis di sudut penjara yang kurang diawasi. Kesempatan itu ada, tetapi tidak dimanfaatkan Agatha. Sebaliknya, ia menyerahkan diri asalkan para tahanan yang sudah melarikan diri diampuni.

Gadis 25 tahun ini ditahan karena dianggap menentang keputusan pemerintah kerajaan. Di masanya, Dinasti Joseon mengeluarkan maklumat anti Katolik, “Seohak” (menolak ajaran dari Barat).

Buntut dari maklumat itu, sedikitnya 800 ribu umat Katolik ditangkap, dipenjara, hingga meninggal dunia. Penindasan Dinasti Joseon dimulai dari tahun 1781-1888. Kejadian ini terjadi delapan kali di beberapa wilayah, seperti Shinhae (1791), Eulmyo (1795), Jeongsa (1797), Shinyu (1801), Eulhae (1815), Junghae (1827), Gihae (1839), dan Byungin (1866).

Agatha mengakhiri hidupnya sebagai martir Kristus di wilayah penjara Gilhae pada 24 Mei 1839. Sebelum meninggal dunia ia mengalami serangkain penyiksaan.

Iman Pagan

Agatha dilahirkan di tengah keluarga paganisme di Kuwul, dekat Inchon, Provinsi Kyonggi tahun 1784. Orang tuanya adalah penganut aliran Syamanisme, sebuah kepercayaan tradisional Korea yang mempercayai keberadaan roh-roh halus. Maka itu, kehidupan spiritual Agatha sedari kecil tergantung penerawang para dukun. Kedekatan dengan para dukun membuatnya bercita-cita menjadi seorang mudang (tabib) Syaman.

Keluarga Agatha tak pernah bersentuhan langsung dengan iman kekatolikan. Konon, ibunya pernah menerima pelajaran katakumen dari seorang pengikut katekis awam Yi Sung Hun (1756-1801). Sayang, pelajarannya tidak tuntas. Sang ibu terlanjur menikah dengan San Hi, seorang Syaman. Seakan-akan pernikahan menjadi jalan terbaik untuk melupakan pengetahuan kekatolikannya.

St. Agatha Yi So-sa saat disiksa oleh tentara Dinasi Joseong/www.cbck.or.kr

Memasuki usia 15 tahun, sebuah pengalaman iman yang mengubah cara pandang Agatha. Secara diam-diam Agatha mempelajari iman kekatolikan. Ia beberapa kali membaca buku katekismus yang diberikan oleh seorang katekis dari desanya. Lewat buku katekismus ini, Agatha untuk pertama kalinya mengenal Kristus.

Setiap hari, Agatha diam-diam membaca buku katekismus. Sang ibu, sudah mengetahui kejadian ini tetapi memilih diam. Ia memberi ruang bagi Agatha untuk memperdalam imannya. Sang ibu memiliki keyakinan bahwa keyakinan baru puterinya akan mengubah cara pandang mereka tentang kehidupan.

Sayang sekali bahwa benih iman yang sedang mekar di koyak-koyak San Hi. Sang ayah, menolak mentah-mentah kepercayaan baru anaknya. Baginya iman kekatolikan hanyalah kedok kaum aristokrat dan bangsawan Korea agar mempertahankan kekayaan. Hi termakan hasutan para mudang bahwa iman Katolik bukanlah iman asli orang Korea.

Demi mengakhiri keinginan anaknya, Hi buru-buru menikahkan Agatha dengan seorang pria pagan. Dara 17 tahun ini harus menelan pil pahit seatap dengan orang yang tak dicintainya. Batinnya tersiksa, tetapi tak bisa berbuat banyak. Jadilah, Agatha menjadi seorang isteri seorang pria yang tak diinginkannya.

Setiap hari Agatha dipaksa menjalani praktik Syamanisme. Ia membawa sesajen dan persembahan kepada dukun. Herannya hampir setahun ia melakoni praktik ini, tetapi tidak berdampak besar dalam hidupnya. Malahan Agatha merasa ini jalan yang tak dikehendaki Tuhan. Hal ini diyakini dengan pengalaman tidak mendapatkan momongan. Bagi Agatha ini kutukkan dari Tuhan karena telah melupakan-Nya.

Apa daya, Agatha tak bisa berbuat banyak. Ia memilih menjalani rutinitas dengan pura-pura bahagia. Padahal hati kecilnya kerapkali memberontak terhadap sikap ayah dan suaminya. Agatha mencoba mencari makna hidupnya dengan berusaha menyenangkan suaminya, tetapi usaha itu sia-sia.

Perubahan Hidup

Hidup Agatha bersinar kembali bersamaan dengan peristiwa yang tak disangkanya. Setelah dua tahun membangun rumah tangga tiba-tiba sang ibu melahirkan seorang adik laki-laki yang diberi nama Petrus Yi Ho-Yong. Kehadiran Petrus seakan menjadi sebuah keajaiban bagi Agatha karena peristiwa ini mengubah hidup sang ayah. Sebagai bontot, Petrus menjadi kesayangan sang ayah. Bahkan ketika Petrus belajar menyebut nama Yesus sang ayah tak geram. Peristiwa lain juga adalah Petrus pernah berdoa secara Katolik oleh sang ibu, tetapi sang ayah tak memarahinya.

Peristiwa lain yang mengubah hidup Agatha adalah saat kematian suaminya. Sebuah pengalaman yang tak lazim yaitu sang ayah meminta agar suaminya didoakan secara Katolik. Menyaksikan peristiwa ini, para mudang begitu kesal karena tiba-tiba Hi menjadi pembelot. Meksi demikian, janda tanpa anak ini merasa inilah kesempatan menyiarkan Firman Tuhan di tengah para mudang.

Perubahan perilaku sang ayah makin hari membuat Agatha terheran-heran. Bayangkan belum genap sebulan mengenal iman kekristenan, ia buru-buru meminta untuk dibaptis. Untung saat itu tidak ada katekis sehingga rencana baptisannya ditunda. Ia baru menerima kurnia dari Tuhan itu sesaat sebelum meninggal.

Kematian Hi digambarkan Agatha sebagai kematian yang penuh riang. Bahkan sebelum meningal, ia berpesan kepada sang ibu agar menuruskan cita-cita Agatha menjadi katekis muda. Tak butuh waktu lama bagi sang ibu mengenal Kristus. Bagi sang ibu, inilah kesempatan langka yang sudah dinantinya berpuluh-puluh tahun. Ia lalu dibaptis dan mengambil peran sebagai pemasok bahan makanan untuk para katekis di wilayah Inchon.

Selama lima tahun tugas ini dijalaninya hingga akhirnya menderita sakit keras. Agatha mengambil peran ibunya sebagai pemasok makanan. Selain itu, ia juga menjalani tugas sebagai perawat bagi ibunya dan adiknya. Semua itu dijalani tanpa ada penyesalan. Di tengah ekonomi yang sulit, Agatha tak pernah angkat tangan mohon bantuan dari siapapun. Ia berusaha berdiri dengan kaki sendiri tanpa intervensi siapapun.

Menariknya, ia tidak merasa malu bekerja apapun, termasuk menawarkan hasil jahitannya kepada tetangga. Meski orang melabelinya pembawa aib dalam keluarga, Agatha dengan gigih berjuang. Malahan di tengah kemiskinan, ia masih setia mempelajari katekismus. Hasilnya sungguh memukau ia menjadi wanita yang suka mengampuni, rendah hati, dan rela berkorban seperti Kristus.

Badai Terakhir

Dalam catatan harian yang ditulis Karolus Hyong Sing-mun soal Agatha Yi dituturkan, “setelah kematian ayahnya, dia bersama dua adiknya menghadapi segregasi yang berat. Kondisi kemiskinan membuatnya sempat menyerah, tetapi selalu tampil dengan penuh senyum. Ia seorang yang memahami kapan Tuhan menyapanya. Meski para paganisme membencinya, tetapi anak-anak Tuhan mengagumi dan mencintainya.”

Totalitas hidup Agatha membuatnya disegani bahkan dikalangan para mudang. Buktinya ada beberapa pengikut mudang yang bertobat. Di desa terpencil Kuwul, Agatha menjadi figur yang disegani. Ia mendirikan komunitas “Belaskasih Allah” di wilayah Inchon. Komunitas ini khusus menyediakan keperluang sandang, pangan, dan papan bagi para katekis.

Nama gadis tersohor ini terdengar sampai ke telingah para tentara Dinasti Joseon. Mereka menangkap Agatha dan Petrus bersama 79 martir lainnya. Dalam catatan sejarah para martir Korea disebutkan Agatha dan Petrus menghabiskan waktu paling lama di penjara di antara para martir lainnya. Persoalan utama adalah keduanya selalu menolak untuk menanggalkan imannya. Mereka berdiri teguh pada pendirian bahwa “selama Kristus tidak mengkhianati kami, tidak ada alasan untuk melupakan-Nya.”

Sebelum ajalnya, Agatha benar-benar menjalani siksaan. Ia dipukuli sampai dagingnya terlepas dari tubuh hingga nampak tulangnya. Kuku kakinya di lepas paksa dan sekujur tubuhnya disirami air panas. Ia ditelanjangi dan dilecehkan berkali-kali dengan kedua tangan diikat tergantung.

Siksaan demi siksaan membawanya pada kematian pada 24 Mei 1839. Satu kata yang selalu diucapkannya, “saya tidak ingin mengkhianati Gereja.” Kata-kata ini dikemudian hari menjadi semboyan bagi para martir yang meninggal di era 1839.

Agatha Yi So-sa dan adiknya Petrus Yi Hong-yong serta 79 martir Korea lainnya dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 6 Mei 1984 di Yoido Plaza, Seoul, Korea Selatan. Darah kemartiran mereka dikenang setiap 20 September.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini