HIDUPKATOLIK.COM – Peningkatan iman dan aspek sosial ekonomi akan menjadi program pastoral di Keuskupan Sintang di masa mendatang.
PADA 22 Maret 2022, Uskup Sintang Mgr. Samuel Oton Sidin, OFMCap merayakan lima tahun tahbisan episkopal. Lima tahun menjadi gembala utama di tengah keuskupan yang memiliki dinamikan pastoral yang unik. Apa saja pengalamannya sebagai uskup dan bagaimana dinamikan pastoral di Keuskupan Sintang? Simak wawancara HIDUP dengan Mgr. Samuel di Wisma Keuskupan Sintang, Senin, 28 Februari 2022.
Apa saja yang Mgr. Samuel alami selama lima tahun pertama sebagai Uskup Sintang?
Pertama, saya tidak pernah bercita-cita menjadi uskup. Tidak juga pernah berpikir akan menjadi uskup Sintang. Setelah kenyataan itu saya hadapi, saya mencoba membuat apa yang dapat saya buat. Saya tidak membuat suatu program yang hebat-hebat, tapi mengikuti dan meneruskan apa yang sudah ada. Saya mencoba melakukan yang terbaik, mau melayani.Saya bukan orang yang suka banyak omong, sebenarnya saya lebih banyak kerja: kerja tangan, kerja fisik, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain menjumpai umat. Pada dasarnya saya senang dengan tugas sebagai uskup walaupun tidak gampang. Karena saya dipanggil dan dipilih, bukan berdasarkan kesenangan sendiri. Setelah dipanggil dan dipilih saya mencoba untuk menghidupi panggilan itu, saya bahagia dengan panggilan tersebut, saya mengalami sukacita. Itu yang penting.Prinsip dasar saya memberi apa yang saya terima dan memberi semaksimalnya.
Apa saja yang menjadi fokus pastoral Monsinyur di Keuskupan Sintang?
Pertama, perlunya militansi dalam beragama. Memang saya melihat, keimanan masih lemah dimana-mana. Kadang terasa juga adanya ketidakseimbangan antara pembangunan fisik dengan kehidupan beragama yang benar. Pembangunan fisik boleh menjulang, tapi kehidupan keagamaan kok rasanya kurang. Ternyata tidak sedikit orang Katolik yang murtad. Itu memprihatinkan. Kenapa murtad kalau kuat imannya? Militansi itu penting, supaya jangan kita diombang-ambing ke sana kemari, orang ngomong ini dan itu kita ikut saja, tidak punya pendirian. Kedua, soal kemajuan sosial ekonomi banyak yang perlu dibenahi terutama pemanfaatan lahan atau tanah, supaya tanah-tanah yang ada kita garap dan tidak harus selalu kita lepaskan ke perusahaan, karena tanah adalah kehidupan kita. Kalau kita tidak punya tanah lagi, mau jadi apa? Apalagi para peladang. Ketiga, program Keluarga Berencana, tidak harus diartikan dua anak secara otomatis sejahtera. Ada yang lima anak, semuanya terpelihara dengan baik, terdidik dan keluarga sejahtera. Umat perlu memperhatikan keberlangsungan suku setempat agar tidak punah. Inti sarinya berupa kesejahteraan keluarga.
Sejauh mana tantangan yang dihadapi selama lima tahun berjalan?
Keuskupan Sintang memiliki 37 paroki yang terbagi dalam enam dekenat dan tersebar di tiga kabupaten yakni Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Imam yang melayani umat sebanyak 77 orang (data 31 Desember 2020), dan hanya lebih kurang 60-an yang langsung bekerja untuk keuskupan di paroki, sedangkan lainnya biarawan yang tinggal di biara. Keterbatasan tenaga terasa sekali, ada beberapa paroki yang hanya ditangani satu orang. Pelayanan terbatas karena orang yang melayani juga terbatas. Geraknya juga terbatas. Ini salah satu tantangan yang dihadapi.
Tapi saya melihat pembangunan iman umat coba diperkuat dengan katekese: pelajaran agama, pertemuan pendalaman iman, pengembangan doa-doa devosional Katolik dan sebagainya. Saya selalu menyampaikan kepada para pastor agar dalam kunjungan mereka ke stasi-stasi, mereka tidak hanya merayakan Ekaristi tapi memperbanyak katekese. Untuk menjadikan orang militan, kita harus mendidik mereka sebagai orang yang militan, secara militan dengan cara meningkatkan pelayanan pewartaan kita. Saya mau menegaskan pentingnya katekese, pendalaman iman, disamping pelayanan perayaan sakramental.
Selama lima tahun pertama, bagaimana penerjemahan visi-misi Monsinyur?
Selama tahun-tahun awal, saya mencoba membenahi perangkat kerja di keuskupanseperti dewan-dewan: dewan keuangan, dewan imam, dewan pemerhati hidup bakti. Itu semua coba dihidupkan kembali. Perjumpaan-perjumpaan dengan para pastor dalam temu pastores, kita galakan. Lalu ada perubahan yang dulunya regio menjadi dekenat. Di setiap kabupaten yang tercakup dalam Keuskupan Sintang ini ada dekenat. Dekenat diketua oleh dekan dan untuk hal-hal tertentu, uskup bisa menyerahkan tugas kepada dekan-dekan yang ada di dekenat-dekenat. Ada pertemuan di dekenat, nanti ada pertemuan untuk keseluruhan keuskupan. Lalu, komisi-komisi yang dulu juga sudah ada, kita coba untuk hidupkan kembali: menyemangati ketua-ketua komisi untuk menjalankan tugas melalui komisi-komisi itu. Ada komisi yang berjalan dengan baik, ada yang stagnan, tidak semua berjalan baik.
Bagaimana perkembangan iman umat sendiri?
Sulit mengukur iman, kecuali kalau kita mengadakan sejenis survei besar-besaran dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau dilihat begitu saja, paling-paling kita melihat frekuensi kehadiran orang di gereja, dulunya satu dua sekarang sudah banyak, dulunya banyak yang murtad sekarang sedikit. Itu belum jelas bagi saya karna belum pernah diadakan survei. Belum pernah diadakan penelitian mendalam mengenai hal itu. Jadi saya tidak bisa mengambil kesimpulan apakah selama saya berada di sini, sudah lebih baik atau malah mungkin lebih buruk lagi. Tetapi, saya tentulah berharap akan lebih baik kalau kita secara rutin melayani mereka dengan setia. Terus-terus omong, sekurang-kurangnya lengket di hati mereka, kepala mereka apa yang kita omongkan atau sampaikan. Setiap kali saya pergi ke stasi-stasi dan paroki, saya menggaungkan beberapa hal yang sudah saya sebutkan tadi, saya harap itu lengket. Para pastor juga begitu, tidak hanya merayakan Misa, tapi perjumpaan dengan umat berupa dialog dan tanya jawab. Biasanya, bila ada pemberkatan gereja di satu stasi atau paroki, malam harinya ada pertemuan dengan umat. Saya membeberkan beberapa poin yang penting menurut hemat saya, setelah itu mereka boleh bertanya. Melalui tanya jawab dan dialog seperti itu, saya berharap para umat menangkap apa yang saya sampaikan, tidak hanya mendengarkan setelah itu melupakan.
Program keuskupan untuk mendukung pembangunan iman umat yang sudah diterapkan?
Kita punya Ardas yang dibahas dalam rapat bersama para pastor. Saya meminta mereka mengaplikasikannya di paroki-paroki. Ada Dewan Pastoral Keuskupan yang mengadakan evaluasi, yang mengumpulkan para pastor paroki dan ketua komisi yang bergerak di lapangan, memastikan hal itu terlaksana. Lalu dalam perjumpaan-perjumpaan dengan para pastor, kita membicarakan beberapa poin penting terutama berkaitan dengan keimanan. Pernah dibuat kaos dan stiker-stiker dengan ungkapan Sekali Katolik, Tetap Katolik, Saya Cinta Katolik dan sebagainya. Hal ini mengarahkan umat kepada militansi.
Kedua, ada kursus-kursus untuk membangun kelompok militan bagi pasangan suami-istri yang diusahakan setiap paroki ada utusannya, sehingga banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang militan. Setelah mereka mengikuti kegiatan, mereka memberikan kesaksian.
Selain itu, kita juga menerima kehadiran kelompok-kelompok doa. Pernah datang dari Malaysia kelompok doa, mereka sempat beberapa kali berkunjung, tapi belum bisa berjalan karena Covid. Beberapa kelompok doa yang sudah ada kita kembangkan seperti Karismatik, Kerahiman Ilahi, Komunitas Tritunggal Mahakudus, Legio Maria. Lalu ormas-ormas Katolik kita harap bisa berkembang: PMKRI, ISKA, KKMK, OMK, WKRI dan sebagainya. Setiap kelompok ada moderatornya. Ini sebagai tanda bahwa kita menyetujui dan menganjurkan kelompok-kelompok ini berkembang diKeuskupan Sintang.
Bagaimana relasi dengan umat lain?
Relasi dengan umat lain dibangun melalui Forum Komunikasi Umat Beriman: Katolik, Kristen-Katolik, Kristen-Non Katolik, dan Muslim.Sudah ada pastor yang mewakili saya disitu. Kita berharap melalui forum ini terjalin suatu saling pengertian, ada kesepahaman dalam hal-hal tertentu, disamping kita harus saling menghormati kekhasan masing-masing. Kita tidak bisa menyamakan semua agama, agama itu masing-masing punya kekhasannya.
Saya pribadi, biasanya menjalin relasi dengan perjumpaan saat ada peresmian gereja atau undangan dari umat lain.
Setelah lima tahun berjalan, apa yang Monsinyur ingin lakukan di lima tahun ke depan?
Terutama meningkatkan iman dan sosial ekonomi. Itu dua poin penting menurut hemat saya. Saya akan teruskan. Upaya-upaya untuk meningkatkan keimanan, memperdalam keimanan, membangun militansi melalui membaharuan cara berkatekese, mewartakan sabda Tuhan. Sekali lagi bukan hanya dengan merayakan sakramen-sakramen, yang terpenting menggalakan kursus-kursus, pendalaman iman, katekese dan seterusnya. Memastikan bahwa semua stasi terlayani. Dalam perjumpaan ke depan ini, setelah lima tahun saya banyak belajar dari lapangan, saya mencoba kita beralih dari membangun gedung kepada membangun iman. Lima tahun ini rasanya kita banyak membangun gedung: katedral, wisma, unio, gereja-gereja megah di paroki-paroki besar, pastoran-pastoran, rasanya sudah cukuplah.Bahwa masih ada terus pembangunan, karena perlu misalnya gerejanya sudah tidak memadai, oke kita usahakan. Tetapi yang lebih penting adalah pembangunan keimanan. Apa gunanya gedung bagus dan indah tapi imannya tidak ada, tidak kuat, malah keropos, malah gampang sekali pindah agama, apa artinya?Jadi, mudah-mudahan dengan menggalakan pendalaman iman melalui katekese, pewartaan, kursus-kursus, doa-doa devosional, dan lain sebagainya, umat Katolik makin bertumbuh dalam mutu keimanannya.
HIDUP, Edisi No. 12, Tahun ke-76, Minggu, 20 Maret 2022