Pesan Kardinal kepada Peserta Lemhanas: Kepemimpinan yang Peduli dan Berbela Rasa

344
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo (kanan, baju hitam) menerima peserta Lemhanas PPRA 63 dan 64 di Wisma Keuskupan, Senin, 28/3/2022.

HIDUPKATOLIK.COM – Bertempat di ruang tamu Keuskupan Agung Jakarta, tujuh perwakilan umat Katolik, peserta Lemhannas PPRA 63 dan 64 tahun 2022 memperoleh kesempatan beraudiensi dengan Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo.

Ketujuh perwakilan berasal TNI , ASN, dan non-ASN, organisasi kemasyarakatan dan agama yaitu ISKA, Alumnika UI, Asosiasi Kepala Daerah se-Asia Pacific, Kementerian Luar Negeri dan seorang pastor dari Medan.

Lemhannas yang dijunjung sebagai lembaga pendidikan kepemimpinan berkelas dunia ini diharapkan dapat menghasilkan calon-calon pemimpin naional yang berkarakter policy maker yakni memiliki pengetahuan, pengalaman sekaligus instink yang kuat. Mereka dituntut untuk berwawasan nusantara dan kebangsaan.

Berkaitan dengan hal ini, Kardinal menitipkan dua hal pokok bagi para peserta yaitu rasa cinta tanah air dan menjadi Gereja yang peduli.

“Pada 2019 saya membaca sebuah artikel di Kompas di mana dalam sebuah penelitian terhadap 146 negara dan Indonesia menjadi nomor 1 dalam kategori kerelaan memberi. Penelitian lain pada 167 negara tentang modal sosial, Indonesia urutan nomor 6,” jelasnya.

Hasil dari penelitian itu tentulah menggembirakan, namun ditekakankan oleh Kardinal agar janganlah kita sekadar bangga tetapi menjadi termotivasi sebagai umat Katolik yang memiliki watak seperti itu.

Kardinal mengungkapkan pula pencanangan arah lima tahun ke depan Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta.

Pertama tentang martabat manusia yang merupakan citra Allah sendiri.

“Ibaratnya dalam berlalu lintas, biasanya truk-truk, metromini tidak mau mengalah. Padahal di banyak negara yang harusnya diutamakan adalah pihak yang lemah dalam hal ini adalah para pejalan kaki,” ungkapnya.

Kardinal mengingatkan kembali bacaan Injil pada hari Minggu, 27/3/2022 tentang kembalinya si anak hilang dan disambut penuh kasih oleh bapaknya.

Kardinal menghubungkan hal ini dengan bagaimana Paus menghadapi orang-orang yang menyerang  pandangannya tentang LGBT.

Di sini Paus, kata Kardinal, menjawab, “Siapakah saya ini dapat menghakimi mereka?’ Kerendahan hati ini yang harus kita tiru. Setiap orang adalah setara di mata Allah dan gereja Katolik mengakui hal tersebut, namun soal perilakunya adalah hal yang lain, ini menyangkut moral dan martabat manusia yang dijunjung.”

Solidaritas

Kedua, tentang Gereja sebagai kebaikan bersama selaras dengan sila ke-5 Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga umat diharapkan secara bersama memiliki keinginan dan mampu mengutamakan kepentingan bersama  dari sekadar kepentingan golongan.

Ketiga, solidaritas atau kesetiakawanan. Mengacu pada hasil penelitian di atas, adalah perlu kita ketahui bahwa masyarakat dari segala profesi dan latar belakang usaha telah banyak membantu dan memberi perhatian kepada kaum yang lemah.

“Ada banyak awam, pengusaha dan organisasi sosial yang menolong dengan cara mereka masing-masing. Makna berbela rasa sangat tampak. Terkait dengan pandemi misalnya, Menko Kesra menyatakan bahwa 80% dana yang dikeluarkan untuk vaksin adalah dari para donatur. Kita ingat gereja juga mengambil bagian dalam pemberian vaksin, seperti yang dilakukan oleh Alumni Ursula,” ujar Kardinal.

Kardinal mengungkapkan bahwa di sebuah desa terpencil bernama Mumuku sekitar 5 jam perjalanan dengan spead boat dari Agats merupakan desa yang semua penduduknya menderita sakit kusta. Kemudian para sukarelawan dan donatur datang, memberi pengobatan, mengedukasi. Dalam waktu beberapa tahun penduduk yang menderita kusta sudah banyak berkurang.

“Ketika dilakukan pembangunan Trans Papua ada banyak penduduk yang harus mengungsi, mereka diusir dari tempat tinggalnya. Ini sekedar menyatakan bahwa ada banyak awam membantu secara spontan dan tulus dan kita umat perlu mengetahui akan hal itu, bukan untuk menjadi sombong tetapi terinspirasi untuk juga melakukan gerakan kemanusiaan di sekitar kita,” ungkap Kardinal.

Sasaran tahun keempat, memberi  yang lebih bagi mereka yang kurang beruntung ataupun sering dikucilkan. Misalnya mereka yang menderita gangguan jiwa, mereka adalah orang-orang yang tersingkir.  Kepedulian-kepedulian ini diinternalisasi agar wajah Allah tampak dalam gerejaNya.

Kelima, keutuhan alam ciptaan, dalam mana manusia berlindung  dan tak lepas dari alam sehingga perlu dirawat secara bersama.

Dengan demikian, dalam 5 tahun ke depan, Gereja, kata Kardinal, diharapkan bersaksi dalam hal semakin mengasihi dan peduli.

Kardinal berharp, lara peserta Lemhannas dapat kelak menjadi pemimpin-pemimpin nasional yang peduli dan berbela rasa.

Penulis (kiri) bersama Kardinal Suharyo

Laporan Mathilda AMW Birowo, PPRA 64

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini