HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 27 Maret 2021 Minggu Prapaskah IV Yos. 5:9a, 10-12; Mzm. 34: 2-3, 4-5, 6-7; 2Kor. 5: 17-21; Luk. 15: 1-3, 1-32
KADANG kita mendengar orang berkata bahwa kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dikatakan terutama saat orang berhadapan dengan situasi yang membuat dirinya memutuskan untuk tidak berbuat baik atau tidak memberi maaf lagi.
Untuk apa berbuat baik atau memberi maaf lagi kalau ternyata yang diharapkan berubah pun tak menunjukkan perbaikan serius, malah makin parah.
Itulah juga yang kadang kita baca di surat kabar bahwa orangtua secara resmi memutuskan hubungan darah dengan anaknya. Pernah ada pengumuman yang sempat viral di media sosial.
“Mulai hari ini, tidak saya akui lagi sebagai anak karena ia tidak mau mendengarkan nasihat dan kurang ajar pada orangtuanya, maka sejak pernyataan ini dimuat segala tindak tanduknya di luar adalah menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.”
Ada warganet yang memberi komentar, “Saya pikir dicoret dari Kartu Keluarga (KK) hanya sebatas guyonan saja, tetapi ternyata ada yang sungguhan. Anaknya bagaimana bandelnya hingga dicoret dari KK?”
Yesus mewartakan Allah yang berbelas kasih tanpa batas. Allah bukanlah manusia yang belas kasih-Nya dipengaruhi perbuatan manusia. Allah adalah Bapa yang baik hati yang akan menerima anak-Nya dalam keadaan apapun, sebandel apapun.
Seandainya belas kasih Allah berbatas, bisa jadi kita ini adalah anak-anak yang diputus hubungan dengan-Nya dan diterbitkan di media sosial resmi karena saking bandelnya; dicoret namanya dari kartu keluarga Allah.
Kisah anak hilang bukan sekadar cerita tentang anak yang bagaimana bandelnya, tetapi terutama kisah belas kasih yang tanpa batas berhadapan dengan anak bejat yang menolak berkat dari ayahnya.
Dengan meminta warisan sewaktu ayahnya masih hidup, anaknya seakan menyumpahi ayahnya: “Mampuslah ayah… matilah engkau…!” Ayahnya tahu bahwa harta adalah miliknya. Tidak ada apa yang disebut warisan karena ayahnya masih hidup. Harta menjadi sungguh warisan kalau ayahnya sudah mati.
Ayahnya bisa saja berkata kepada anaknya, “Kamu tak punya harta. Apa hakmu meminta harta yang merupakan hasil jerih payahku?” Ia dapat mengusir anak yang kurang ajar itu: “Kalau kamu mau pergi dari sini, pergilah dan jangan sepeser pun harta kamu bawa.” Itulah reaksi manusia biasa sekalipun ia itu ayah kandung.
Bapak yang dikisahkan Yesus itu bukan ayah biasa. Ia adalah bapak yang menghadirkan wajah Allah. Ia adalah pribadi yang murah hati hingga “warisan” yang diminta anak bungsunya pun diberikan.
Setelah harta diberikan, bisa jadi ayahnya berkata: “Nak, jangan pergi. Ambillah harta itu tetapi jangan pergi.
Kalau kamu tetap pergi, ingatlah untuk kembali. Aku menantikan kamu pulang. Aku ayahmu. Aku mencintaimu. Aku ingin kamu selamat dan bahagia bersamaku!”
Saat mengalami kesengsaraan, anak durjana itu sadar bahwa ayahnya begitu mengasihi. Hidup dalam kasihnya adalah berkat yang membawa kesejahteraan lahir dan batin.
Ia pun ingin kembali walau malu hingga ia berpikir cukuplah menjadi hamba asal dekat dengan ayahnya dan tinggal di rumahnya.
Ternyata tak ada kehidupan yang lebih baik daripada tinggal di rumah dan dekat dengan ayahnya yang begitu mengasihinya.
Rupanya setiap saat sang ayah menantikan anaknya kembali. Waktu melihat anaknya pulang, ayahnya langsung beranjak dan segera berlari memeluknya dengan penuh syukur. Ia berkata kepada para hambanya untuk mengadakan pesta sukacita.
“Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.” (Luk 15: 24) Kata-kata penuh sukacita ini disampaikan lagi kepada kakaknya di akhir perikop.
Itulah gambaran Allah sebagai Bapa dengan berbelas kasih tanpa batas. Kita pun diajak untuk berbelas kasih seperti Bapa. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk. 6: 36)
Masa Prapaskah adalah saat dan kesempatan yang tepat untuk mengalami belas kasih Allah yang tanpa batas hingga kita dengan dosa apapun tak pernah diputus hubungan oleh Allah bahkan dinanti kembali kepada- Nya sesegera mungkin, kapan pun.
Dengan mengalami belas kasih Allah tanpa batas, mudah-mudahan kita pun bisa berbelas kasih pada sesama tanpa batas.
“Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk. 6: 36)
HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-76, Minggu, 27 Maret 2022