HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu Prapaskah III, 20 Maret 2022, Kel.3:1-8a, 13-15; Mzm.103:1-2, 3-4, 6-7, 8, 11; 1Kor.10:1-6, 10-12; Luk.13:1-9
MUSA. Bayi Israel bernasib malang yang dibuang di sungai Nil. Berkat penyelenggaraan Yahweh, hati Putri Firaun tergugah dan Musa ditarik keluar dari air sungai Nil. Ibunda Musa cekatan memanfaatkan situasi, menawarkan diri sebagai pengasuh sang bayi. Musa aman dan selamat. Selanjutnya Musa dibesarkan di lingkup istana Firaun, dibantu para dayang Puteri Firaun.
Ternyata hati Musa tidak pernah tenteram menikmati kenyamanan istana. Perhatian Allah dan tuntutan pembebasan bangsa Yahudi yang ditindas dan menderita mendera batinnya. Kekejaman orang Mesir dan penderitaan bangsanya mengusik hatinya, mengcaukan pikirannya, dan mendidihkan darahnya.
Dia membunuh seorang Mesir. Hidupnya terancam. Kekejian pembunuhan sewaktu-waktu bisa dibalas secara brutal. Rahasia pembunuhan ini hampir terbongkar, tatkala Musa hendak melerai dan mendamaikan sesama bangsanya yang bertikai.
Dia terpaksa menjadi seorang pelarian hingga negeri Midian. Di wilayah pegunungan Sin, Musa menikahi putri Imam Midian, dengan mahar menjadi pekerja bagi keluarga sang istri, dengan tugas menggembalakan kambing-domba mertuanya di kaki Gunung Sinai.
Semak bernyala mengundang Musa mendekat. Namun dia tidak bisa serta-merta mendekati api itu. Tercekam rasa takut dan tertuduh oleh darah orang yang dibunuh, Musa tak sanggup menghampiri yang Kudus. “Jangan mendekat! Tanggalkanlah kasut dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah tanah kudus.”
Musa harus menanggalkan sandalnya. Dia harus bertelanjang kaki, polos, apa adanya, menyerahkan diri seutuhnya untuk dekat ke api Tuhan. Dosa harus ditinggalkan agar diperkenankan memijaki tempat kudus.
Rahmat Allah menuntun Musa masuk ke lingkup Api Kasih Ilahi. Dia diundang masuk ke jalan pengenalan akan Sang Suara, Sang Aku, Sang Adil, Sang Pemerhati Kehidupan. Dia harus menempuh proses jalan pulang, jalan tobat sepanjang hidup.
Musa harus melewati proses pemurnian, pembakaran, peleburan di dalam Api Kasih Tuhan. Api itu berdaya menyucikan dan menjadikan dia baru.
Memang jalan rahmat yang harus ditempuh sungguh panjang dan mengagumkan. Musa harus mengalami proses kelahiran agar lebih siap jadi utusan Yahweh: Dari rahim Ibu Yahudi, dari rahim air sungai Nil, dari rahim “kejatuhan hati” putri Firaun, dari rahim Istana Firaun, dari rahim situasi penuh kekejaman dan penindasan, dari rahim situasi hidup bangsanya yang suram-kelam, dari pelariannya ke negeri Midian, dari Rahim Api Ilahi di semak bernyala, dan dari rahim pewahyuan Nama Allah. Berkat kelahiran itu, Musa siap kembali ke Mesir.
Dengan kekuatan rahmat Allah, Musa siap untuk tugas memimpin bangsa Yahudi keluar dari Mesir menuju cakrawala pembebasan di Tanah Terjanji. Bangsa Yahudi dipimpinnya melalui pembaptisan dalam awan dan dalam laut.
Musa harus memberi mereka makanan dan minuman rohani dari batu karang rohani, pralambang kehidupan abadi di dalam Kristus. Untuk itu kaum beriman dituntut menghayati hidup seperti Kristus: taat secara mutlak kepada Allah yang diikat dalam Darah Perjanjian Anak Domba.
Ternyata sebahagian besar dari orang-orang Yahudi, termasuk Musa sendiri, tidak diperkenankan Yahweh masuk ke Tanah Terjanji. Di tengah perjalanan mereka jadi degil hati, berlaku jahat, bersungut-sungut dan memberontak terhadap Yahweh. Mereka dibinasakan oleh malaikat maut di padang gurun.
Yesus, Sang Juru Selamat, meminta kita menggunakan rahmat pertobatan dengan belajar dari tragedi yang menimpa orang-orang dari Galilea dan orang-orang yang mati tertimpa menara di kolam Siloam. Kita perlu belajar bertobat, menghasilkan buah kehidupan dalam Kerajaan Allah: damai-sejahtera, kasih setia, kebenaran, dan sukacita dalam Roh Kudus.
“Dosa harus ditinggalkan agar diperkenankan memijaki tempat kudus.”
HIDUP, Edisi No.12, Tahun ke-76, Minggu, 20 Maret 2022