Potret Katedral Bandung: Indah Fisik, Sarat Makna

703
Katedral St. Petrus, Bandung di malam hari.

HIDUPKATOLIK.COM – Arsitekturnya mengandung pesona makna yang dapat menghantarakan mereka yang berada di dalamnya bak berlayar bersama Allah.

“INDAH!” adalah kata yang kerap dilontarkan oleh hampir setiap orang saat mengunjungi Katedral St. Petrus, Bandung. Namun, sebuah gereja seyogyanya tidak dapat dikagumi hanya dari unsur fisiknya saja, tetapi harus menggali makna di balik unsur-unsur fisiknya, yaitu roh dari gereja itu sendiri.

Ceacilia Amanda

Pada Jumat, 4 Februari 2022, HIDUP berkesempatan menyelami makna di balik keindahan arsitektur bangunan katedral ini bersama salah satu anggota Komsos Katedral, Ceacilia Amanda.

Tampak luar Katedral Bandung

Sebagai Dosen Desain Interior FSRD Universitas Kristen Maranatha, perempuan yang kerap disapa Amanda ini membawa HIDUP melihat bagaimana gaya, ukiran, motif, bahkan kata-kata yang ditemukan di dalam gereja mampu mengungkapkan sebuah cerita yang memunculkan refleksi mendalam.

Langgam Neo Gotik

Gereja ini merupakan salah satu gereja tertua di Kota Bandung. Dibangun tahun 1921 dan diresmikan tahun 1922. Gereja ini dirancang oleh arsitek berkebangsaan Belanda, C.P. Wolff Schoemaker. Prinsip Neo Gotik menjadi acuan perancangan katedral ini yang dipadupadankan dengan langgam Timur dalam porsi yang lebih kecil.

Katedral ini hanya mengambil bentuk Gotik untuk bagian tertentu dari struktur. Prinsip Neo Gotik diterapkan pada menara lonceng yang tinggi, rose window (kaca mawar), deretan dinding kaca patri pada nave, ribbed vault, dan bentuk salib Latin pada denah bangunan. Selain itu, ada juga unsur Art Deco yang dimainkan untuk memberikan elemen dekoratif yang kontras. Sedangkan eksterior menggunakan moulding (lekukan pada dinding yang membentuk ruang maju-mundur) yang menghasilkan bayangan akibat permainan cahaya matahari. Ini sangat dipengaruhi oleh arsitektur Timur seperti candi di Jawa dan India di mana lekuk-lekuk mendominasi permukaan bangunan.

Kaya Pesan

Dalam buku “Gereja Katolik Santo Petrus Katedral Keuskupan Bandung” dijabarkan jika melihat bagian luar depan Katedral maka terlihat penekanan pada garis vertikal, yang mengaspirasikan Surga, kemuliaan Tuhan; namun juga diimbangi dengan sejumlah garis horizontal yang mengaspirasikan kepedulian sosial.

Tiga kolom di bawah lingkaran kaca mawar mengingatkan pula pada tidak ada awal maupun akhir dari Allah Tritunggal Mahakudus. Kaca lingkaran itu sendiri terdiri dari lingkaran pusat yang dikelilingi 12 lingkaran kecil, melambangkan Kristus beserta kedua belas murid-Nya.

Tampak dalam Katedral Bandung

Saat memasuki Pintu Barat (utama) umat akan tiba di area Narthex (Serambi Katedral). Dengan antusias, Amanda menjelaskan perbedaan suasana yang dihadirkan di sini. Suasana lebih gelap dan langit-langit lebih rendah. Ini bak ruang transisi antara ruang profan dan ruang sakral ditandai dengan tempat air suci dan pembaptisan. Air sebagai simbol pembersihan dosa dan penganugerahan keselamatan dan hidup baru.

Memasuki bagian utama gereja yang disebut Nave, mata langsung mendapatkan pencahayaan terang nan lembut. Langit-langit pun tinggi menunjukkan gaya Gotik yang vertikal. Ini dimaksudkan untuk merepresentasikan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Kata ‘nave’ sendiri berasal dari kata Latin ‘navis’ atau kapal. Kata ini digunakan untuk ruang umat berkumpul. Umat yang duduk di situ diibaratkan sebagai orang-orang yang berada dalam sebuah bahtera yang sedang mengarungi zaman berlayar menuju suatu tujuan, merujuk pada bahtera Nabi Nuh dan perahu nelayan Santo Petrus. Gelombang badai lautan diibaratkan sebagai kekacauan dan berada di dalam bahtera berarti keselamatan. Hati pun kian sejuk saat melihat di ceruk panti imam terdapat cuplikan dari Mat 11:28-30: “Marilah kepada-Ku kamu yang letih dan menanggung beban.”

Jika melihat denah gereja yang berbentuk salib, Amanda menuturkan, umat diajak memaknai keselamatan. Dari salib sendiri muncul juga penghayatan Tritunggal Mahakudus.

Gambaran Allah Bapa sendiri terdapat pada lingkaran pusat di pintu barat di mana terdapat gambar mata di dalam segitiga yang melambangkan Allah yang Mahatahu, melihat dan selalu menyertai umat-Nya. “Jadi ketika kita duduk di bahtera ini kita diajak memaknai bagaimana bisa mengarungi keihidupan dengan Tuhan. Meskipun ada badai tetapi kita senantiasa aman sebab Tuhan selalu mengawasi kita dari atas,” ujarnya.

Bagian lengan salib (transept) membatasi bagian utama (Nave) dengan panti iman, di dinding Utara terdapat kaca patri bertuliskan IHS (Iesus Humanum Salvator). Ini adalah gambaran Allah Putra, Allah yang menyelamatkan. Di dinding Selatan terdapat kaca patri bergambar burung merpati. Itulah Allah Roh Kudus, Allah yang memberi rahmat.

Selain itu, Amanda menunjukkan keunikan letak menara yang berada di sebelah kiri (dari arah Barat). “Jika Gereja ini adalah bahtera Tuhan, Ia sebagai nahkoda (di altar) memanggil (lonceng) kita masuk kedalam bahtera-Nya, ‘Ikuti Aku’, merangkul kita dengan tangan kanan-Nya,” jelasnya.

Biasanya secara psikologis manusia merasa lemah pada bagian kiri. Dengan meletakan menara di sebelah kiri, menimbulkan rasa aman. Ini melambangkan Allah melindungi manusia dengan tangan kanan-Nya.

Kembali ke dinding Timur panti imam, Amanda menunjukkan tiga kaca lukis yang menggambarkan Perjamuan Terakhir, Penyaliban Yesus, dan Penampakan Yesus kepada St. Teresa dari Avila.

Letaknya di Timur sehingga cahaya matahari pagi dapat menerangi lukisan menawan tersebut yang dapat dinikmati dalam Misa Kudus, khususnya pada pagi hari.

Amanda menyimpulkan, setiap elemen yang ada di dalam gereja ini membantu untuk meniupkan ‘roh’ gereja ini. Setiap elemennya mengarahkan hati untuk berpusat kepada Allah. “Jadi, Katedral tidak hanya indah secara fisik tapi juga indah secara makna,” pungkasnya.

Merawat Cagar Budaya

Tahun 2009 Katedral Bandung dinyatakan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Bandung. Seorang arsitek profesional yang ditugaskan menjadi tim ahli cagar budaya Kota Bandung sejak 2012, David Bambang Soediono menuturkan, Katedral masuk dalam kelas A. Ini berarti ia telah memenuhi empat dari lima kriteria yang diajukan dan Katedral bisa memenuhi kelimanya.

David Bambang Soediono

Lima kriteria itu adalah pertama, umur di atas 50 tahun, kedua, punya nilai kesejarahan. Sejarah bukan untuk umat saja tapi juga bagi perkembangan kota. Ketiga, untuk ilmu pengetahuan. Dengan gaya arsitektur Neo Gotik dapat menjadi ilmu pengetahuan dilihat dari konstruksinya. Keempat, gaya arsitekturnya yang menekankan kepada kekhasan style. Kelima, sudah menjadi memori kolektif masyarakat dan lintas generasi.

“Maka konsekuensinya kelas A praktis tidak boleh diapa-apakan tetapi bukan berarti tidak boleh dikembangkan,” ungkapnya. Hal ini melihat dari realita bahwa terkadang manfaat lama sudah “tidak nyambung” dengan gaya kehidupan masa kini. Maka bolehlah berubah. Namun, untuk tempat ibadah seperti Katedral, fungsinya pasti akan tetap abadi sebagai gereja.

David menjelaskan, dalam memilih arsitek untuk pegembangan cagar budaya terdapat kualifikasi tertentu. Pertama, ia memiliki pengalaman paling tidak ikut dalam dua proyek cagar budaya sebelumnya. Kedua, selain punya pengalaman harus punya kualitas Madya berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek. Ia pun wajib mengantongi sertifikat dan lisensi. Jika belum menemukan arsitek yang tepat, dapat bertanya langsung kepada Ikatan Arsitek Indonesia untuk rekomendasi.

David yang sedari kecil sudah melihat Katedral turut kagum dalam arti, bagunan ini unik dan hanya satu-satunya di Bandung. Lalu, Katedral memiliki sejarah yang diakui oleh negara karena perkembangan Gereja Katolik di Kota bandung bermula dari sini. Jadi ia pun telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.

Ia berharap, tim pastores Katedral akan terus melanjutkan komitmen merawat cagar budaya yang telah dilakukan selama ini. “Barangkali frekuensi pengecekan kerusakan bisa lebih tinggi karena agak mengkhawatirkan bangunan berusia 100 tahun ini berada di tanah yang relatif labil (gempa) sedangkan ketika Katedral dibangun pasti dengan informasi kegempaan yang tak selengkap sekarang,” sebutnya.

Tidak hanya  kegempaan, potensi hujan asam juga bisa menjadi momok ancaman. Ini berarti ancaman ini juga nyata kepada bangunan cagar budaya lainnya.

Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia (Bandung)

HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-76, Minggu, 20 Februari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini