Gereja Katedral Bandung Dulu dan Kini

1016
Katedral St. Petrus, Bandung di malam hari.

HIDUPKATOLIK.COM – Gereja ini memiliki banyak kisah yang telah membentuk sejarah. Semuanya merupakan perwujudan empat pilar Gereja.

JEJAK kehadiran Gereja Katedral St. Petrus Bandung bermula sekitar tahun 1878. Buku “Ziarah Arsitektur Katedral St. Petrus Bandung” menuliskan bahwa saat itu Bandung sebagai ibu kota karesidenan Priangan sudah cukup ramai namun belum memiliki pelayan umat Katolik sendiri. Untuk melayani umat, imam didatangkan dari stasi terdekat yaitu Cirebon yang berada di bawah Vikariat Apostolik Batavia. Ketika jalur kereta api Batavia-Bandung dibuka tahun 1884 dan hubungan Bandung dengan Batavia menjadi lebih mudah, pelayanan umat secara tetap di Bandung segera dipersiapkan.

Dibangunlah gereja pertama yang berukuran 8×21 meter persegi dilengkapi sebuah pastoran di Schoolweg (kini Jalan Merdeka), berdekatan dengan gudang kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Gereja ini dinamai St. Franciscus Regis dan diberkati Mgr.W.Staal pada 16 Juni 1895. Lokasi gereja ini sekarang menjadi lokasi Bank Indonesia bagian baru.

Awal Mula

Pada 1 April 1906 Bandung memperoleh status gemeente (setingkat kota madya) sehingga berhak menyelenggarakan pengelolaan kota sendiri. Pada tanggal 13 Februari 1907 pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memisahkan Priangan, termasuk Kota Bandung, secara administratif dari distrik Cirebon. Kota Bandung ditentukan sebagai sebuah stasi baru di Jawa Barat.

Upacara pemberkatan Gereja St. Petrus Bandung 19 Februari 1922.

Dalam penyelenggaraan gereja selama empat tahun berikutnya ternyata jumlah umat Katolik membesar hingga mencapai 280 orang pada Perayaan Ekaristi. Saat itu jumlah umat mencapai 1800 orang. Maka Gereja St. Franciscus Regis pun diperluas karena tidak cukup lagi menampung umat. Untuk itu, dibutuhkanlah bangunan gereja baru yang lebih besar. Akhirnya, lahan bekas peternakan di sebelah Timur Gereja St.Franciscus Regis di Merpikaweg (kini Jalan Merdeka).

Pembangunan gereja baru itu dilaksanakan sepanjang tahun 1921. Kemudian diberkati Mgr. Luypen pada 19 Februari 1922. Gereja ini dipersembahkan kepada Santo Petrus yang merupakan nama permandian Pastor P.J.W Muller, SJ. Para imam Jesuit menggembalakan  umat di kala itu.

Beberapa tahun kemudian rel kereta api dibangun tepat di sebelah selatan kompleks gereja. Sejak tahun 1928 penggembalaan umat diserahkan kepada Ordo Salib Suci. Kemudian pada tahun 1932 karya misi di Bandung dijadikan sebuah Prefektur Apostolik. Prefek Apostolik Mgr. J.H. Goumans, OSC tinggal di Pastoran Gereja Santo Petrus Bandung. Ketika Takhta Suci membentuk Vikariat Apostolik Bandung pada tahun 1941, kemudian Mgr. Goumans mendapat tahbisan uskup, secara eksplisit Gereja Santo Petrus Bandung disebut sebagai Gereja Katedral. Ketika Takhta Suci mendirikan Hierarki Gereja Katolik Indonesia pada 1961, dengan jelas disebutkan Gereja Santo Petrus Bandung adalah Gereja Katedral Keuskupan Bandung. Demikianlah, walaupun bukan gereja tertua, Gereja Santo Petrus Bandung menjadi gereja induk Keuskupan Bandung.

Gereja katedral adalah gereja dengan katedra. Katedra (Yunani: kathedra, Latin: cathedra) adalah kursi, singgasana, atau takhta uskup yang ditempatkan dalam gereja induk keuskupannya, yaitu gereja katedral. Itulah juga simbol pelayanan pada umatnya. Katedral menjadi pusat dan sumber energi dan gerak pelayanan gereja keuskupan.

Gereja Katedral Keuskupan Bandung memiliki banyak kisah yang telah membentuk sejarah. Semuanya merupakan perwujudan empat pilar Gereja: hidup persaudaraan (koinonia), peribadatan (liturgia), pewartaan (kerygma), dan pelayanan (diakonia) yang dijalankan dalam semangat rela berkurban (martyria).

Dewan Paroki Dibentuk

Berdasarakan informasi dari buku “Tonggak-Tonggak Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Bandung” tercatat bertahun-tahun sebelum tahun 1979, Paroki Katedral tidak memiliki Dewan Paroki. Saat itu segala persoalan ditangani oleh pengurus lingkungan yang mengadakan rapat-rapatnya setiap dua atau satu bulan sekali.

Mulai bulan Mei 1979 pastor paroki dan banyak kalangan umat merasakan kebutuhan akan adanya Dewan Paroki supaya sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu, diselenggarakanlah Musyawarah Umat Katedral untuk membentuk Dewan Paroki sesuai kebutuhan saat itu. Dewan Paroki dilantik oleh Uskup saat itu pada tanggal 10 Agustus 1979.

Dewan Paroki Katedral periode 1979/1982 terdiri dari 29 orang anggota yang mencerminkan berbagai unsur umat yang terwakili (pastor, wakil lingkungan, wakil organisasi, wakil petugas Gereja, serta wakil profesi seperti dari ABRI dan pegawai pemerintah). Saat itu, Pastor Chris Tukiyat, OSC menjadi Ketua Umum Dewan Paroki. Kemudian bulan Agustus 1982 terjadi pergantian Dewan Paroki untuk periode 1982/1985. Dewan Paroki periode ini telah membentuk Seksi Beasiswa dalam tubuh Badan Pekerja Harian/BPH dan Anggaran Rumah Tangga diserahkan kepada Uskup. Tercatat di akhir tahun 1983 jumlah umat Katolik 4.870 orang.

Untuk memperjelas pengaturannya, ditetapkanlah Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki Santo Petrus Bandung oleh Mgr. A.S. Djajasiswaja pada tanggal 30 Oktober 1998, setelah dipersiapkan Tim Perumus yang terdiri dari Pastor Fons Bogaartz, OSC; Robby Dharmawan; Yohannes Herman; F.Parikesit; Sindhu Pranata; Robertus Hadi; dan A.A Soemardji. Dengan demikian Dewan Pastoral Paroki Katedral menjadi lebih jelas diatur secara tertulis.

Ibarat Suatu Penginapan

Salah satu saksi mata yang telah melayani Paroki Katedral Bandung hampir 25 tahun, Pastor Leo van Beurden, OSC turut mengisahkan dinamika Katedral saat ditemui HIDUP pada Kamis, 3/2/22. Setelah ditahbiskan di Kerkdiel, Belanda, kelahiran 26 Desember 1942 ini langsung ditugaskan ke Indonesia. Maret 1971 menjadi Pastor Pembantu Paroki St. Mikael Indramayu. Januari 1967 menjadi Pastor Pembantu di Paroki Bunda Tujuh Kedukaan Pandu, Bandung, dan sebagai Socius Magister di Biara OSC. Kemudian bulan Januari 1984 menjadi Pastor Rekan di Paroki St. Petrus Katedral, Bandung. Membantu di Kapel dan RS St. Borromeus, Bandung. Namun di medio 1986, kembali diutus menjadi Kepala Paroki Pandu. Kemudian sejak Mei 1999 kembali melayani di St. Petrus Katedral Bandung hingga saat ini.

Pastor Leo van Beurden, OSC

“Ini Katedral bagus! Gedungnya bagus!” ungkapnya saat memberi kesan pertama menginjakkan kaki di Katedral Bandung. Hanya saja, Pastor Leo merasakan gedung Katedral begitu panjang sehingga sulit untuk menyapa umat yang ada di bangku belakang. Ini salah satu tantangan dari Katedral.

Saat menjadi Kepala Paroki Katedral Bandung, ia langsung membagi lingkungan menjadi lingkup yang lebih kecil lagi agar gairah persaudaraan kian kuat. “Jika mau membangun suatu paroki harus ada persaudaraan. Karena di Katedral lebih banyak umat dari nonparoki, maka ini menjadi tantangan tersendiri,”akunya.

Ia mengungkapkan dari segi jumlah umat yang tinggal di wilayah administrasinya, paroki ini justru termasuk kecil di antara paroki lain di Keuskupan Bandung. “Hanya 2.200an umat, tapi umat yang datang Misa ribuan,” terangnya lagi.

Kenyataan ini membuat Gereja Katedral harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada mereka. Untuk itu, Pastor Leo menggambarkan bahwa Gereja Katedral adalah Gereja Allah yang diibaratkan suatu penginapan. Banyak orang datang sedang dalam perjalanan menempuh jalan di dunia, mereka ini perlu penguatan, perlu penyegaran rohani, dan mereka datang di penginapan, yakni katedral.

Untuk itu, dalam pandangannya, Gereja Katedral hendaknya menyajikan liturgi yang bagus, menyentuh, mampu memberikan kekuatan kepada mereka yang datang. “Inilah kewajiban utama Gereja Katedral sebagai City Church!” tegasnya. Tahun 2004 -2008 merupakan masa Gereja Katedral menyadari dirinya sebagai City Church.

Takhta Uskup (Catedra) di Katedral St. Petrus Bandung.

Selain menghidupkan liturgi yang menyentuh, Pastor Leo menekankan bahwa Gereja Katedral hendak menekankan wajah sosialnya, dalam menyapa mereka yang terpinggirkan. Katedral juga hendaknya menjadi simpul orang-orang lintas iman. Ini menjadi penting karena menurutnya, inti menjadi Gereja adalah menjadi saudara satu sama lain. Bukan hanya kepada Tuhan tetapi sesama. Hingga saat ini menurutnya, Katedral telah berkembang dengan baik di mana dahulu melayani lima Misa sekarang tujuh Misa. Ia berharap semoga nanti kepeduliaan pada lingkungan semakin tinggi dengan diadakannya program bank sampah di paroki ini.

Agen Perubahan

Dari kacamata seorang awam perkembangan paroki ini dilihat. Awal tahun 1971, dari Kota Apel (Malang, Jawa Timur), Blasius Darmastoto, akrab disapa Toto, bertolak ke Kota Kembang (Bandung, Jawa Barat).  Ia dan keluarganya berangkat menggunakan kereta api. Ketika tiba di Bandung, ia tinggal di Jalan Jawa, termasuk dalam lingkungan Antonius (dulu sebutnya Lingkungan V) Gereja Katedral Bandung. Dirinya pun masih mengenyam pendidikan di SMA Negeri III Bandung.

Blasius Darmastoto

Setiap Minggu Toto tidak pernah absen Misa, malah kadang ikut Misa harian dan hadir dalam pertemuan doa di lingkungan. “Agak kaget awalanya, karena yang hadir kebanyakan para senior, sudah sepuh, bisa dikatakan seumuran dengan bapak dan ibu saya. Juga biasanya turut hadir Suster-suster Ursulin,” jelas Toto.

Kendati demikian, Toto tetap bersemangat aktif di lingkungan Gereja. Salah satunya yang ia jalani di Legio Maria. Sejak tahun 1973 sejak tahun 1973, ia telah bergabung dengan Legio Maria pada Presidium Pohon Sukacita Kami, kurang lebih selama 8 tahun sebagai Perwira Presidium.

Bagi Toto, Katedral St. Petrus, Bandung menyimpan banyak cerita menarik yang layak diungkapkan.  Sosok Katedral sudah dikenal khalayak ramai. “Kalau nanya orang, Gereja di mana, selalu menunjuk Jl. Merdeka No. 14,” ungkapnya ketika dihubungi melalu daring, Kamis, 3/02/2022.

Lebih dari sekadar bangunan yang memiliki arsitektur yang khas, Katedral menjadi saksi bisu tentang perjalanan panjang perkembangan umat Katolik di Keuskupan Bandung.
“Tegur, Sapa, Senyum, Ramah.  Mungkin kaidah ini yang dilakukan umat Katedral menghadapi masyarakat yang berinteraksi. Lingkungan Katedral, adalah Kantor Kepolisian, Sekolah Kantor Wali Kota, Kantor Bank Indonesia, Perhotelan Bintang Lima, Rel Kereta Api. Sehingga tidak terjadi Perselisihan atau didemo, sampai umur 100 tahun saya tidak melihat itu pernah terjadi,” terang Toto.

Sebagai Ketua Seksi Hubungan Antar Keagamaan Gereja Katedral, Toto menceritakan selama ini Katedral memberikan kesan yang positif. Kerap kali bersilahturami dan memfasilitasi tokoh-tokoh agama saling bertegur sapa. “Saya selaku wakil Gereja Katolik Bandung, dalam Forum Komunikasi Umat Beragama, kehadiran Gereja Katedral sebagai herritage, sangat dihargai banyak pihak dari Bandung maupun luar Kota Bandung. Hendaknya sambutan dan pelayanan tetap ditingkatkan dan dipersiapkan dengan baik, sebagai ajang persaudaraan masyarakat, lintas agama, dan lintas etnik,” papar Toto.

Menurut Alumni Institut Teknologi Bandung ini, sekarang Katedral harus berani menjadi agen perubahan atas perubahan teknologi, cara berpikir, kepribadian umat, meningkatkan relasi umat dengan Tuhan dan sesama. Toto mengungkapkan, sudah saatnya Gereja mempunyai kader, untuk berpikir ke depan guna membawa altar dan misi Gereja ke tengah masyarakat.

Gereja Santo Fransiskus Regis 1895.

Menurutnya, sudah saatnya, untuk ditingkatkan lebih dari biasa, menjadi utama adalah  bidang pelayanan adalah keinginan dan aksi membantu orang lain, secara khusus di masa pandemi, PHK dan kemiskinan bertambah. “Di hati saya, Gereja Katedral sesuai dengan konsep keimanan dan keyakinan serta kepedulian di atas gereja adalah rumah kita dan saya adalah bagian kecil yang menyatu. Teruskan dan lestarikan, program kegiatan yang menyangkut pihak eksternal. Marilah membawa wajah Katedral menjadi wajah kasih dan sosial secara nyata. Prioritaskan dana sosial Gereja untuk keperluan memberi pangan, pendidikan dan lapangan kerja, serta pengobatan, semoga poliklinik juga dapat dibangun kembali,” terangnya.

Umat Luar Paroki  

Beberapa kali pindah domisili dan paroki, dinamika yang berbeda dirasakan Wakil Dewan Pastoral Paroki Harian (DPPH) Gereja Katedral, Ignatius Lie Suyanto. Awal pelayanannya dimulai dari lingkungan. Kemudian ia bergabung di DPPH pada tahun 2015. DPPH membawahi lima bidang yakni Liturgi, Pelayanan, Pewartaan, Persaudaraan dan  Bagian (bidang yang memastikan segala sarana prasarana gereja terawat dengan baik).

Ignatius Lie Suyanto

Pada bidang Koinonia, Paroki Katedral menerjemahkan sebagai persaudaraan. Menurut Lie, hal ini dikarenakan pertama-tama dikondisikan dengan paroki masing-masing, kedua, para imam  ingin menyatukan seluruh elemen di Gereja. Tidak  hanya milik golongan tertentu, Katedral sebagai City Church. Gereja milik bersama.

“Jumlah umat Katedral saat ini mayoritas lebih banyak lansia dibandingkan orang muda sehingga dengan menjadi City Church, maka kehadiran umat luar paroki akan sangat membantu sekali dalam hal berbagai tugas pelayanan di Katedral misal lektor, pemazmur, misdinar, asisten imam, kor, kategorial yang boleh diisi dari umat luar paroki,” tuturnya saat ditemui di kantor Sekretariat Paroki Katedral, Kamis,3/2/2022.

Menurut Lie, Gereja turut melibatkan semua kelompok kategorial. “Misalkan panitia dibuka untuk paroki sendiri, lalu nanti baru dibuka untuk umat paroki lain. Dalam acara besar, melibatkan lingkungan. Jadi sudah ada usaha untuk melibatkan umat-umat asli Katedral,” tuturnya.

Kembali ke “Pasar”

Usia seabad sudah masuk kategori sepuh, Katedral mau dibawa ke mana? Tema HUT 100 Tahun Katedral,  “Bertumbuh dalam Masyarakat”.

Dosen LB Politeknik LPKIA Bandung ini  maknai seperti wejangan dari uskup yang terdahulu,  jangan hanya di altar, kembalilah ke pasar. Itu harus ada bukti nyatanya. Sejak Covid, mungkin kolekte Gereja berkurang namun selalu ada jalan, solidaritas harus tetap ada.

Menurut Lie,  beberapa pengembangan sudah dilaksankaan, seperti memasang AC, sehingga umat yang mengikuti Misa semakin terasa nyaman. Bagian multimedia sudah mumpuni. Dari segi pelayanan sosial, selain Nasi Pincuk, setiap tahun diadakan buka puasa bersama dengan para sahabat jalanan. Dulu ada klinik, tapi karena peraturannya cukup kompleks, akhirnya ditunda dulu. Hal ini memang disayangkan, menurut Lie, karena warga sekitar banyak membutuhkan klinik tersebut.

Lie juga berharap Tim Pastores bertambah karena berlum ada pengganti almarhum Pastor Y. Cantius Abukasman, OSC hingga saat ini. “Dengan kondisi Paroki Katedral yang berada dalam pusat kota, harapannya agar Paroki ini bisa tetap eksis berkembang dengan kehadiran umatnya,” pungkas bapak beranak dua ini.

Karina Chrisyantia/ Felicia Permata Hanggu (Bandung)

HIDUP, Edisi No. 08 Tahun ke-76, Minggu, 20 Februari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini