Rabu Abu di Depan Mata, Sudah Siapkah Kita

666
Paus Fransiskus menerima abu pada Hari Rabu. Foto diambil sebelum Covid-19.

HIDUPKATOLIK.COM – Beberapa tahun lalu, saya dapat tugas prodiakon dalam Misa Rabu Abu. Saat itu gereja sangat penuh. Semua bangku kayu di dalam gereja terisi.

Semua kursi lipat dalam naungan  tenda terpal di halaman gereja tak ada yang kosong.

Bahkan banyak umat tak kebagian tempat duduk, sehingga terpaksa berdiri dimana pun asal teduh. Termasuk di halaman parkir sekolah yang letaknya di sebelah gereja.

Upacara berjalan lancar, termasuk saat pemberian abu pada dahi umat. Mereka antre tertib, maju satu per satu, menerima abu sambil meresapi perintah “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”. Selang beberapa menit, tibalah saat penerimaan Komuni.

Saya bertugas di satu titik di halaman gereja, melayani umat yang duduk di kursi lipat dan mereka yang berdiri.

Awalnya seperti tak ada masalah. Menit demi menit berlalu, saya lihat isi sibori di tangan kiri saya sudah menipis.

Sedangkan antrean umat masih mengular panjang. Ada rasa kuatir, jangan-jangan sibori keburu kosong.

Benar saja, tak lama kemudian Hosti Kudus dalam sibori habis. Sesuai prosedur, saya tinggalkan posisi, kembali ke  sakristi.

Di sana saya bertemu dengan dua rekan prodiakon yang juga sama kehabisan hosti kudus.

Sayangnya tabernakel kosong. Tak lama, beberapa rekan prodiakon lain juga datang ke sakristi dengan kondisi sama. Kami bingung namun tak bisa berbuat apa-apa.

Alhasil banyak umat saat itu yang tak menerima Komuni. Saya hanya  berdoa semoga mereka dapat lebih memaknai perintah pertobatan setelah mengalami hal yang di luar dugaan ini. Alih-alih merasa jengkel atau marah.

Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaskah. Selama 40 hari (hari Minggu tidak dihitung) kita mempersiapkan diri dengan pantang dan puasa agar kita boleh mengalami pertobatan.

Angka 40 mengingatkan kita akan 40 tahun bangsa Israel dipersiapkan di padang gurun sebelum masuk tanah terjanji.

Atau 40 hari Yesus berpuasa mempersiapkan diri sebelum mulai menjalani tugas perutusan-Nya.

Kita menjalani 40 hari prapaskah agar layak menyambut Paskah, memperingati momen terpenting iman kita, kebangkitan Tuhan.

Mengapa pada Rabu Abu, kita ditandai dengan abu?

Abu adalah lambang sesal, tobat. Juga lambang perkabungan dan ketidak-abadian.

Kitab Ester mengisahkan seorang tokoh bangsa Yahudi, Mordekhai yang berkabung lalu menggunakan kain kudung dan menaburkan abu saat mendengar rencana jahat Haman.

Haman dengan licik mempengaruhi Raja Ahasyweros sehingga raja meminjamkan cincin meterainya.

Bermodal cincin meterai inilah Haman menulis perintah untuk menghabisi seluruh bangsa Yahudi yang berada dalam kerajaan Persia.

Berkat upaya Mordekhai dan Ester, bangsa Yahudi selamat dan Haman dihukum oleh raja.

Atau dari Kitab Ayub, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42:6). Masih ada beberapa ayat lain dalam Perjanjian Lama yang mendukung makna abu ini.

Biasanya abu dioleskan dengan bentuk salib di dahi atau bisa juga dengan cara ditabur di kepala. Dalam kondisi normal, menabur abu di kepala sebenarnya hanya untuk kalangan tertahbis.

Namun selama masa pandemi, cara ini diterapkan juga kepada umat, karena lebih aman terhadap penyebaran virus. Apapun caranya, penerimaan abu mengajak kita masuk dalam pertobatan. Bukan untuk lucu-lucuan atau sekadar tanda sudah ikut misa.

Lalu sejak kapan tradisi pemberian abu pada hari Rabu Abu mulai dikenal?

Tradisi ini berawal masa Paus Gregorius I (590-604). Sri Paus mengambil tradisi pengakuan dosa orang Yahudi.

Saat hari raya Yom Kippur, orang Yahudi mengaku dosa dan memohon pendamaian dengan cara  berpuasa dan berdoa.

Seharian mereka menggunakan karung dan duduk di atas debu. Sri Paus menerapkan cara ini bagi orang yang mengaku dosa, terlebih bagi mereka yang melakukan dosa berat.

Pada konsili Benevento (1091) tradisi pemberian abu saat Rabu Abu, disahkan berlaku bagi seluruh gereja. Sehingga mulai abad 11 tradisi ini mulai umum diterapkan.

Lalu bagaimana kita mempersiapkan diri menjelang Rabu Abu?

Ada satu tradisi menyambut Rabu Abu di belahan negara lain.

Pernah dengar Mardi Gras? Ini adalah festival, karnaval, dan pesta makan minum sehari sebelum Rabu Abu.

Tradisi ini masih dijumpai di beberapa kota, seperti Venesia (Italia), Rio de Janeiro (Brasil), Karibia, Lousiana dan yang paling heboh di New Orleans (USA).

Pada Mardi Gras (Perancis) atau Fat Tuesday (Inggris), orang-orang berpesta makan minum.  Mereka mengikuti pesta karena mulai esok hari, selama 40 hari mereka pantang dan puasa.

Tentu saja karena kita tidak mengenal tradisi ini, kita tidak perlu mengadakannya. Dari pada pesta, lebih baik kita mendekatkan diri pada Allah.

Kita dapat melakukan novena bersama keluarga, sembilan hari berurutan berdoa bersama, mohon kekuatan dan rahmat untuk masuk dalam masa pertobatan.

Atau membaca Kitab Suci setiap hari. Atau ikut Misa harian. Kegiatan apa saja, yang dapat membuat kita lebih siap masuk dalam masa pertobatan.

Rabu Abu besok menjadi “istimewa” karena Sri Paus Fransiskus mengajak kita berdoa dan berpuasa dengan intensi perdamaian dunia, khususnya bagi Ukraina.

“Saya mengundang semua orang untuk menjadikan Rabu Abu 2 Maret mendatang, sebagai hari puasa untuk perdamaian. Mari dedikasikan diri kita secara intensif untuk berdoa dan berpuasa. Semoga Ratu Damai menjaga dunia dari kegilaan perang,” demikian pesan Sri Paus.

Selamat memasuki Rabu Abu dan menjalani Masa Prapaskah. Semoga pertobatan kita berkenan pada Bapa Surgawi.

Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini