Masihkah Bapak Tetap Tersenyum Kalau …?

221

HIDUPKATOLIK.COM – BAPAK tersenyum lebar. Sangat lebar bahkan sampai wajahnya terlihat semua berkerut. Belum pernah aku melihat bapak sebahagia ini. Sungguh! Seolah menularkan sukacita ke seluruh gedung dan orang-orang sekeliling. Harusnya aku pun ikut tertular, sebagai sumber utama kebahagiaan Beliau karena besok pagi pesta pernikahanku berlangsung. Tapi sayangnya tidak!

Kontras dengan suasana hati Bapak yang bergairah sumringah cerah sejak acara lamaran sampai hari ini, justru aku semakin galau. Betapa tidak adilnya aku entah sudah kepada berapa puluh orang. Dan itu membuat pilu hingga ke ulu hati. Termasuk melihat senyum Bapak, hatiku tersayat. Bertahun sudah Bapak menginginkan pernikahanku, sampai dengan langkah terseok, bibir gemetar, masih berupaya menemuiku dan bicara dari hati ke hati.

“Bapak ingin menimang cucu Gano…!”

“Aduuuh Bapaaak… hari gini.. kok cita-citanya masih enggak berkembang  juga?”

“Kamu anak sulung, satu-satunya lelaki.”

“Lantas, kenapa kalau anak sulung? Iyaa! Aku lelaki! Jelas lelaki! Enggak perlu diragukan! Ehhh… nggg…. iya. Aku lelaki… iyaa.. lelaki…!” Aku berusaha memberi penegasan, meski suaraku terdengar bergetar. Antara kehilangan kesabaran atau kepercayaan diri.

“Justru itu!”

“Justru apa, Pak? Cuma anak sulung yang lelaki, yang bisa berikan cucu? Itu dua adikku, Sinay dan Arbina sudah kasi Bapak enam cucu. Enggak cukup? Bapak sendiri bilang suka pusing kalau mereka lagi nakal. Sekarang masih mau nambah?”

“Ini bukan perkara cukup enggak cukup, tapi soal penyambung marga. Enam  cucu dari dua adik perempuanmu, lebih dari cukup. Tapi tidak meneruskan marga Bapak. Jadiiii…..”

“Jadi… aku harus menikah hanya demi meneruskan marga Bapak?”

“Itu salah satu alasan saja. Tapi lainnya  juga atas dasar ajaran yang Bapak yakini! Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Begitu tertulis di kitab Kejadian 2:18.”

Bisa diduga, akhir dari perbincangan sore itu adalah mendung bergelayut di wajah Bapak yang menua. Dan, gurat kesal di parasku yang juga tidak lagi muda. Mustahil menghapus luka Bapak, karena aku sendiri gagal menghalau galau dalam benak akibat pilihan hidup yang kujalani. Berkali-kali sudah topik ini jadi pembahasan setiap Bapak berkunjung ke kotaku. Sampai Bapak mengambil kesimpulan karena kesibukanku sebagai direktur perusahaanlah penyebab tak memiliki waktu mencari jodoh. Lalu Bapak mencarikan, tepatnya menyediakan jodohku.

Sudah beragam caraku menjelaskan bahwa dengan pesona wajah serta kedudukan ini tidak sulit menemukan pasangan. Tapi satu hal yang belum Bapak ketahui ingin kusampaikan, namun ngeri mendung di wajahnya sontak berubah menjadi badai topan membawanya terlempar ke alam lain. Atau justru sebaliknya aku bakal dilemparkan Bapak entah ke manapun asal jauh darinya.

Hati kecilku sebagai anak sulung, apalagi satu-satunya lelaki, jujur sangat ingin membuat Bapak tersenyum, maka jadilah pesta pernikahan ini. Benar saja, senyum  Bapak tak sedetik pun lekang dari wajahnya. Arelona, perempuan pilihan Bapak juga bukan sembarangan. Tidak cantik memang tapi juga tak bertampang buruk. Menarik, khasnya perempuan metropolis, punya karier cemerlang lulusan perguruan tinggi ternama. Aku sendiri heran kenapa perempuan mapan seperti Arelona mau saja dijodohkan denganku yang sama sekali tidak dikenal bahkan dipertemukan langsung  saat lamaran.

Aaah… Di zaman serba digital, haruskan aku juga mengenal calon pendamping hidup lewat virtual saja? Sudahlah, tak perlu  membahas karena entah sudah berapa ratus kali berbantahan dengan Bapak. Tidak sekalipun aku bisa menyenangkan Bapak. Bahkan dengan segala kemewahan yang kupersembahkan ternyata tidak membuatnya bahagia. Bahkan Bapak rela mengembalikan semua pemberianku, mobil, rumah, usaha bengkel yang kubuatkan, semua dipertaruhkan Bapak agar aku menurut saja. Aku memang akhirnya setuju tanpa ‘transaksi’ apapun selain kepatuhan seorang anak dan panggilan nurani demi membuat Bapak tersenyum.

***

Lagit membiru seakan merestui pesta pernikahan ini. Terukir cantik nama kami berdua, Gano Priananta dan Arelona Gundari. Jujur ada rasa bersalah berdiri di sisi Arelona yang tampak makin menarik dalam balutan gaun penganten. Entah bagaimana caranya aku bisa minta maaf kelak, mengaku tidak pernah mencintainya dan sangat tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi dibalik itu semua aku pun tak bisa memaafkan diri sendiri atas semua kejadian. Harusnya lebih berani menghadapi kenyataan dan jujur pada situasi agar senyum Bapak tidak semakin menyiksaku.

Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, begitulah tertulis di Roma 12 ayat 9. Jadi anak-anakku… tuluslah kalian berdua saling mengasihi………,” demikian beberapa potong kalimat Bapak terdengar di telingaku sebelum pesta usai. Tapi lanjutannya tak sampai ke telingaku sebab seluruh perhatian bahkan pikiranku tersedot ke sudut gedung. Ada seseorang sesenggukan,  sangat terluka dan aku paham sekali sebabnya. Sekilas kulirik Arelona masih menebar senyum ceria diantara sahabat.

Aku berada di antara dua perasaan bersalah, amat sangat mengganggu dan sungguh ingin meneriakkan kata maaf sekerasnya agar seluruh hadirin di gedung mendengar. Bila  terjadi, pastilah bukan hanya senyum Bapak terhenti, tapi jantungnya pun berhenti berdetak. Tapi aku sendiri merasakan kesesakan tak terperi, telah menyebabkan seseorang di pojok sana tak bisa menghentikan air mata dan aku sangat tidak adil terhadap Arelona, perempuan bermartabat dalam  keriangan karena sesuatu sedang dijalani. Padahal  sesungguhya sebelah kaki memasuki kembara gelap yang tak pernah dia ketahui.

Ingin sekali aku mengakhiri hidup di tengah riuh pesta agar semua kepalsuan  ikut berakhir. Namun itu berarti semakin banyak mahluk tersakiti. Entah seperti apa tumpukan dosaku. Menakutkan dan aku adalah seorang pengecut, membiarkan semua terjadi sambil mengandalkan nanti akan baik-baik saja. Arel masih disibukkan teman-temannya. Kuberanikan berlalu sejenak dari kerumunan, berniat menghapus air mata seseorang di pojokan itu.

“Maafkan aku…, sungguh..! Semua demi senyum Bapak. Lihat Beliau bahagia kan! Kamu pasti setuju kita harus membahagiakan orang tua?”

“Akan sangat lebih setuju kalau saja Beliau bahagia karena ketulusan tanpa kedok.”

“Boleh kita bahas nanti?”

“Nanti kapan? Sudah tidak ada waktu untukku setelah ini. Ini akhir dari segalanya, Gano! Termasuk akhir hidupku.”

Aku kaget, spontan memegang erat tangannya. Sekian tahun hidup bersama membuat Gano sangat mengenal kepribadiannya. Yang terucap barusan bisa terjadi. Gano tak ingin kekasihnya mengakhiri hidup begitu saja karena pernikahan ini.

“Semua demi senyum Bapak. Setelah ini hidupku kembali bersamamu.”

“Itu lebih tidak mungkin. Sekarang kamu milik Arleona. Jangan menambah rumit hidup kita. Jalani saja yang sekarang.”

“Kamu menipu diri. Seakan merelakan aku tapi air matamu saja tidak henti saat berucap.”

“Lebih baik menipu diri daripada menambah deretan panjang orang yang tertipu  perbuatan kita.”

“Kamu tidak mencintaiku lagi?”

“Apa defenisi cinta menurutmu, Gano?”

“Selalu bersama dalam suka dan duka. Makanya aku selalu ingin bersamamu, bukan Arel. Aku tidak mencintainya. Aku melakukan ini semua demi…..”

“Demi senyum Bapak…..”

Aku mengangguk, tak kuasa menahan air mata, benar-benar limbung.

“Teruskanlah membuat Bapak tersenyum. Hanya itu kebahagiaan Beliau. Satu lagi kutambahkan definisi cinta  khusus untukmu! Cinta tak harus selalu bersama. Ketulusan cinta adalah merelakan orang yang dicintai demi kebaikan banyak orang.”

“Banyak orang? Lalu mengorbankan kebahagiaan kamu?”

“Apalah artinya kebahagian satu orang semacam aku dibanding kebahagiaan semua orang dalam gedung ini? Apalah arti keberadaanku bila hanya akan menghapus senyum Bapak? Hidupku sudah rumit. Tapi masih berharap diberi waktu untuk meluruskan semua penyimpangan ini. Kamu beruntung telah diberi kesempatan mulai meluruskan segala yang pernah menyimpang.  Jangan sia-siakan!”

Aku tersedak.

“Sekarang giliranku! Selamat berbahagia, Gano. Hari ini semua berakhir. Lahirlah kembali sebagai Gano…, lelaki sejati. Selamat berpisah. Berpisaaaaah…..! Kita enggak perlu bertemu lagi. Selesai.!”

“Arnold…….! Jangan pergi….!”

“Cukup Gano….! Jangan hapus senyum Bapak…! Ingat… Hanya itu yang dia miliki di hari tua. Lihat tulisan di pintu gedung: Gano Priananta dan Arelona Gundari. Bagus dan sangat pantas. Enggak mungkin kan kalau sampai tulisan itu berganti  menjadi: Gano Priananta dan Arnold Gunadi. Mirip sih.. tapi…. !”

“Tapi apa Ar….?”

“Tapi mustahiiiilll….!”

Aku tertegun! Arnold yang selama ini jadi ‘teman’ hidupku pergi membawa luka. Meninggalkan aku di tengah kebahagiaan semua orang.

Lalu…, aku kehilangan definisi kebahagiaan, tapi tetap berharap sebuah pengampunan.

Oleh Ita Sembiring  

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini