HIDUPKATOLIK.COM – Umat Katolik perlu bersabar biarpun menghadapi persoalan mendirikan bangunan Gereja. Dalam sabar itu perlu membangun dialog yang berkualitas.
SATU-satunya regulasi terkini yang dipakai sebagai pegangan dalam hal aturan Pendirian Rumah Ibadah (untuk semua agama) adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) yakni oleh Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Hadirnya PBM ini adalah respons terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pembangunan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya.
Harus disampaikan bahwa SKB ini dirasa tidak memadai lagi sehingga kedua kementerian mempersiapkan drafnya untuk dibahas. Hasilnya adalah lahirnya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang membahas tentang 3 hal pokok yakni Pedoman Pelaksanan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadat.
Menarik dalam proses pembahasan PBM ini adalah dilibatkannya lima Majelis Agama (MUI, PGI, KWI, WALUBI, dan PHDI- Majelis Agama Khonghucu belum terbentuk saat itu) dengan menghadirkan perwakilannya. Dalam rapat maraton 11 kali pertemuan, draf awal yang disiapkan berubah 98 persen setelah mendapatkan masukan dan pertimbangan dari masing-masing majelis agama. Sehingga regulasi tentang PBM sesungguhnya adalah regulasi yang dihasilkan dari keterlibatan dan partisipasi umat sendiri lewat para perwakilannya.
Syarat PBM
Dalam Bab IV dibicarakan tentang Pendirian Rumah Ibadat dari proses, langkah-langkah dan syarat-syarat yang perlu diperhatikan. Penentuan tentang jumlah umat 90 dan persetujuan oleh 60 dari umat yang lain adalah juga bagian dari persetujuan para majelis agama. Hasil ini sebagaimana ada dalam pengantar PBM disebutkan bahwa jumlah itu adalah jumlah rata-rata yang dipertimbangkan dari keadaan wilayah yang ada, karena di beberapa daerah sudah diberlakukan oleh pemerintah daerah sebelum PBM lahir.
Misal, di Provinsi Riau jumlah syarat minimal 44 Kepala KK, di Sulawesi Tenggara 50 KK, di Bali 100 KK. Nah bila satu KK minimal terdiri dari 2 orang, berarti di Bali selama ini menempuh persyaratan 200 orang. Di Riau berarti 80 KK dan di Sulawesi Tenggara 100 KK.
Bertolak dari angka-angka ini setelah mengadakan musyawarah, para majelis agama menyetujui angka 90 orang yang dapat berasal dari 20, 30, 40 KK atau lebih. Terkait angka 60 orang yakni dukungan masyarakat bukanlah hal menjadi hal yang mutlak, karena dalam bagian lain dikatakan bahwa apabila dukungan masyarakat setempat tidak terpenuhi 60 orang dan calon pengguna rumah ibadat tersebut sudah memenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban menfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Ini artinya bahwa sekelompok umat beragama yang telah memenuhi keperluan nyata dan sungguh-sungguh tidak akan ditolak keinginannya untuk mendirikan rumah ibadat, hanya saja lokasinya mungkin digeser sedikit ke wilayah lain yang lebih mendapatkan dukungan masyarakat setempat. Dalam PBM ini juga diatur tentang izin sementara pemanfaatan bangunan Gedung yang hendak digunakan sebagai rumah Ibadat.
Penuh Pertimbangan
Regulasinya sudah diatur sedemikian, tetapi mengapa dalam implementasinya sering tidak lancar? Banyak faktor yang kita temukan di lapangan. Penguasaan dan pemahaman tentang regulasi ini belum seluruhnya tersosialisasi dengan baik, baik bagi umat maupun mereka yang terlibat di dalam pengambilan keputusan. Yang terjadi biasanya langsung ditarik ke dalam ranah pertimbangan politik, ekonomi, dan maupun sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini bukan lagi soal regulasinya yang tidak mencukupi, tetapi perlu dilengkapi dengan kemampuan komunikasi dan dialog dengan baik dan tulus.
Dialog sangat diperlukan, komunikasi dengan baik dengan masyarakat, tokoh agama dan pemerintah baik secara pribadi maupun secara organisasi. Kita harus akui bahwa ada banyak pembangunan gedung gereja yang tidak mengalami kesulitan karena komunikasi dan dialog yang hidup di situ, kalaupun masih membutuhkan waktu dalam prosesnya tetap perlu bersabar dan tekun memperkuat hubungan yang baik. Toh dalam tradisi dan ajaran Gereja Katolik mendorong kita semua untuk hidup bermasyarakat dan bernegara dengan semakin lebih baik.
Sebenarnya istilah IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sudah berganti menjadi PGB (Persetujuan Bangunan Gedung) sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 2021 yang adalah turunan dari beleid UU Cipta Kerja yang diteken oleh Presiden Jokowi tanggal 2 Februari 2021. Dalam prosesnya pemberian PGB itu sepenuhnya oleh pemerintah daerah yang tentu ikut juga dipertimbangkan tentang tata ruang wilayah. Jadi bukan hanya soal rumah ibadat untuk beribadah yang menjadi pertimbangan tetapi apakah lokasi atau tempat rencana pembangunan rumah ibadat tersebut baik dan strategis untuk tata ruang kota dan tentu keamanan dan kenyamanan.
Misalnya Gereja memiliki tanah tepat di pinggir jalan raya, mungkin saja akan diberikan pertimbangan untuk memindahkan lokasinya demi jangka Panjang, misalnya pelebaran jalan atau dilewat jalan tol. Umat tentu tidak serta merta harus mengatakan bahwa dipersulit tetapi ada maksud lebih baik untuk jangka Panjang. Dalam hal ini perlu komunikasi dan dialog yang baik sekali, demikianpun dengan para tokoh agama, masyarakat lintas agama dan Ormas Keagamaan lainnya perlu dikuatkan.
Dialog yang Berkualitas
Bila dibandingkan dengan komunitas Kristen lainnya, Umat Katolik dalam memandang fungsi rumah ibadat yakni gereja tidak banyak berbeda dengan umat Islam yang memandang masjid atau mushola sebagai tempat ibadat. Umat Islam bisa masuk di masjid atau mushola di mana saja, bila waktu sholat atau Jumatan. Umat Islam hanya akan mencari tempat ibadat yang terdekat, karena umat Islam, sekalipun ada juga keberagamannya, tetapi hanya mengenal tempat ibadat yakni masjid atau mushola yang bisa dipakai oleh semua umat islam.
Demikian pun umat Katolik, bila berada di luar parokinya karena lagi dinas atau pindah rumah, tidak sulit untuk segera bergabung dan memakai gereja yang berdekatan dengan tempat tinggal atau domisili. Umat Katolik boleh beribadah di mana saja, Katolik hanya satu, karena disatukan hanya oleh satu altar di mana Ekaristi dirayakan. Dalam hal ini, memahami fungsi rumah ibadat bagi umat Katolik dan umat Islam ada kesamaannya. Mungkin pada denominasi kekristenan lainnya tidak dengan semudah itu.
Maka kata kunci dalam semua proses ini adalah memahami dengan baik regulasi yang ada, memahami dengan baik prosesnya, dan membangun komunikasi dan dialog yang berkualitas dengan semua yang terlibat di dalamnya, masyarakat setempat dan pemerintah. Umat Katolik tetap menjadi warga negara yang taat dan patuh pada aturan, sekaligus membangun kebijaksanaan dengan dengan semangat dan nilai-nilai Katolik.
Paulus Tasik Galle’
Doktor dari Universitas UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten
HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-76, Minggu, 13 Februari 2022