HIDUPKATOLIK.COM – Romo Kris, saya sempat membaca sebuah artikel tentang ritual pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dan kebetulan beberapa teman saya yang Katolik juga ikut melakukan ritual tersebut. Apakah ini diperbolehkan? (Sarah, Depok)
DALAM sebuah tradisi budaya ada yang disebut sebagai ritual pembersihan diri, yang disebut “melukat”. Dimaksudkan dengannya adalag tradisi menyucikan diri agar dapat memperoleh kebaikan. Tradisi ini menggunakan media air, karena air dianggap sebagai sarana pembersihan diri dan pikiran serta menghalau hal- hal negatif yang dapat merusak, segala hal yang kotor, sehingga dapat memulai kehidupan baru yang lebih baik.
Dalam diri setiap pribadi ada sesuatu yang kotor ataupun negatif. Tradisi tersebut memaksudkan untuk mengurai simpul- simpul energi negatif, agar seseorang dapat memperoleh kembali keseimbangan. Alam membantu untuk itu. Tradisi ini terbuka bagi siapa saja, betapapun berakar dari tradisi agama Hindu akan tetapi mereka yang berlatarbelakang agama maupun budaya lain dapat pula menjalankan upacara ataupun ritual ini. Tentu tatanan maupun ritus tradisi agama tersebut perlu diperhatikan serta dituruti.
Pernyataan Konsili Vatikan II, Nostra Aetate menyebutkan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan suci dalam agama-agama lain. Dengannya Gereja diperkaya, dengan menemukan pijar-pijar sinar kebenaran yang terpancar di dalamnya. Pernyataan tersebut bisa membawa ke dalam pertanyaan reflektif lebih lanjut, apakah umat Katolik bisa mengikuti ritual pembersihan diri, seperti misal “melukat” tersebut? Apalagi kini semakin marak pula perkembangan wisata rohani, yang tidak saja diikuti oleh mereka yang berasal dari tradisi agama yang melatarbelakangi tempat wisata rohani tersebut.
Di dalam sejarah Gereja abad 17-18 pernah terkenal apa yang disebut sebagai perdebatan Ritus China. Salah satu topik perdebatan adalah altar pemujaan arwah nenek moyang itu kultur atau religiositas. Satu kelompok mengatakan itu merupakan kultur sehingga orang Katolik bisa saja membuat itu atau membuat altar seperti itu di dalam Gereja. Sedangkan kelompok lain mengatakan itu merupakan bagian dari agama dan kepercayaan, maka tidak layak dilakukan orang Katolik apalagi memasangnya di Gereja. Perdebatannya sangat panjang dan panas, hingga akhirnya hanya bisa diselesaikan dengan intervensi dari Takhta Suci.
Hal yang sama bisa diajukan misalnya terkait dengan tradisi Melukat ini. Itu merupakan bagian dari kultur ataupun melekat pada ritus keagamaan. Kalau kemudian tradisi tersebut lebih tampak sebagai bagian dari wisata rohani, yang tidak mensyaratkan kepemulukan akan agama tertentu, maka bisa dikatakan sebagai kultur, maka tidak ada persoalan untuk mengikutinya. Untuk ini perlu diingatkan akan rasa hormat, terkait dengan tradisi akan apa yang benar atau suci dalam tradisi agama tersebut. Akan tetapi jika semua itu menuntut adanya pengakuan iman atau kepemelukan agama lain, maka sebaiknya dihindari untuk diikuti. Kehendak untuk melakukan dialog agama ataupun penghargaan akan tradisi agama lain tidak bisa dilakukan dengan merelatifkan atau menghilangkan keyakinan iman kita.
Namun, menjalani ritual tersebut demi sekadar tren, ikut- ikutan, apalagi “bergaya”, namun tidak mau tahu tentang latar belakang, pengartian maupun tatanan ritual tersebut berdasarkan tradisi maupun religiositas ajaran agama yang menyertainya, bisa malahan bisa terjebak ke dalam perendahan ritual tersebut, karena mengingkari makna religius akan ritual tersebut. Memang dalam suatu ritual ada aspek kultural, akan tetapi jangan melupakan makna religiositas dari ritual tersebut.
Pada tahun 2003, Vatikan pernah mengeluarkan dokumen tentang refleksi akan New Age. Dokumen tersebut kiranya bisa dipakai sebagai pegangan untuk merefleksikan ritual tertentu dari tradisi lain. Memang dalam diri kebanyakan orang ada kerinduan akan sesuatu yang rohani, dan Gereja Katolik sering dipandang kurang memberi pelayanan untuk menanggapi kerinduan itu. Tidak jarang yang dicari adalah gerakan atau ritual yang hendak mengembalikan harmoni kehidupan, keutuhan kembali. Namun kita diingatkan bahwa yang memurnikan dan mengutuhkan kita bukanlah suatu ritual atau upacara tertentu, melainkan pribadi Yesus Kristus. Dialah air hidup, yang menyegarkan dan memurnikan kita.
HIDUP NO.07, 13 Februari 2022
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
(Teolog Dogmatik)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.