Prasangka

689

HIDUPKATOLIK.COM -DALAM PENGADILAN ‘orang yang ditangkap’ polisi, diselidiki pelanggaran dan kesalahannya. Ia lalu disidik oleh yang berwajib. Kalau ada ada bukti-bukti kuat ia dapat menjadi ‘tersangka’ dan ajukan  ke pengadilan. Bagaimanapun orang tersebut tetap menyandang ‘hak’ sebagai orang yang ‘tak-bersalah’. Status ini dikenal dengan istilah ‘pra-duga tak-bersalah. Kalau di dalam sidang tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat, ‘sang tahanan’ dinyatakan bebas, tetapi bila jelas ada bukti-bukti nyata dan pengakuan , maka dia dinyatakan ‘bersalah’ lalu menjalani proses di pengadilan, dibela oleh pengacara yang bisa memperingan dakwaan dan ancaman hukuman.

 Apa Itu Prasangka?

         Ada Praduga – ada Prasangka. Adakah bedanya ? Praduga umumnya istilah yang digunakan dalam bidang Hukum, sedang Prasangka umumnya ada dalam wilayah Moral.

Kita dicipta dengan dengan akal budi dan perasaan. Kita diberi kemampuan untuk menilai. Kita berjumpa atau tatap muka dengan ‘obyek’, entah itu keadaan,  peristiwa atau orang dan kita menangkap pesannya. Kesan itu bisa berupa penilaian, persangkaan.

Kata ahli, prasangka sangatlah terkait dengan penilaian dini, yakni suatu penilaian yang tidak sungguh didasarkan pada pengetahuan riil atau pengalaman aktual. Kita, manusia, memiliki kemampuan untuk me-generalisasi atau ‘menyamaratakan’ : kita menggolong-golongkan segala hal dalam kategori atau kelompok-kelompok  dan membuat pernyataan umum tentang kelompok tersebut, misal pemuda berpenampilan  ‘acak-acakan’, ber-tatoo, bercelana jean disobek-sobek, kita lalu cepat menilai, ‘wah ini dan kelompoknya, tentu anggota yang senang tawuran’.

Kalau generalisasi tersebut menjadi kaku (tidak dapat berubah, tidak mengijinkan adanya variasi) atau terlalu menyederhanakan (mengkategorikan realitas dengan hitam-putih, baik-buruk, benar-salah dsb), kita menyebutnya dengan istilah stereotip, suatu kategori yang masih di tingkat pikiran atau nalar.

Stereotip tersebut mudah menjadi penilaian, dan kalau emosi mulai ikut terlibat di dalamnya , itu membawa orang kepada prasangka. Ini yang berbahaya.

Prasangka adalah suatu sikap yang afektif yang terkait dengan penilaian soal nilai-nilai, misal dari fakta bahwa perempuan fisiknya secara umum lebih lemah daripada laki-laki, kita menyimpulkan bahwa dari segi   jenis-kelamin mereka lemah dan bahkan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Penilaian keliru tersebut  membawa orang pada sikap dan kebiasaan yang penuh prasangka dan melukai serta merugikan pihak perempuan.

Orang berprasangka dapat diumpamakan ‘orang  menderita sakit Kuning (hypatetis)’ – kelompak mata menjadi nampak kuning- kecoklatan. Orang yang sakit seperti itu  tidak dapat membedakan dan menghargai warna-warni di sekitarnya – biru, hijau, merah dsb – semua yang dilihatnya berwarna  kekuning-kuningan.

Maca-macam Bentuk Prasangka

         Kita bisa berprasangka tentang “barang” -(yang ‘bukan pribadi’)-,  misal makanan, restoran, kebiasaan-kebiasaan. Ada orang-orang memiliki pandangan  negatif tentang Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik, meski belum pernah ikut atau mempelajarinya. Orang berprasangka pada Ormas-ormas tertentu yang berkedok agama.

Yang lebih sering, kita berprasangka tentang pribadi orang. Hal ini bisa menyangkut  individu orang (orang tertentu yang saya dekat dengannya,  atas alasan apapun) atau lebih sering terkait dengan kelompok, misal tentang anggota kelompok yang berbicara  bahasa tertentu dari suku tertentu atau orang-orang melakukan jenis pekerjaan tertentu. Biasanya prasangka itu melawan orang lain, bersikap negatif terhadap mereka, atau juga sikap pilih-kasih akan orang-orang . Adanya sistim kasta, di India , yang sudah ribuan tahun berlaku di sana. Sistim ini membuat anggota kasta tertentu memilik prasangka terhadap orang-orang dari kasta yang lain, khususnya kasta yang dianggap lebih rendah. Rasa-perasaan ‘superioritas’ mudah menyertai prasangka. Demikian juga prasangka berdasar akan suku dan etnis . Orang kulit putih merasa lebih superior dari orang berkulit hitam di AS. Di setiap bangsa rasanya selalu ada sikap berprasangka berdasar suku dan golongan.

Ada banyak peristiwa yang bersumber pada prasangka membawa orang ke sikap merendahkan bahkan menghina  dan sampai ke perlakuan yang sangat tak manusiawi, kekerasan dan malahan merenggut  hidup orang.

Apa yang terjadi dengan kasus bapak Eddy Mulyadi – berawal dari prasangka negatif , terungkap entah disadari atau tidak, menjurus kepada penghinaan dan berujung dengan masalah ‘pidana’. Aneh, tidak senang  dengan keputusan pemindahan ibukota ke Kalimantan, lalu ia dikabarkan, mengatakan Kalimanyan sebagai tempat ‘jin buang anak’ dan penduduknya disamakan  kera dan monyet.

Berbagai  bentuk, prasangka itu lebih memecahbelah daripada menyatukan; menciptakan tembok pemisah daripada membawa orang bersatu; mengobarkan permusuhan pada mereka-mereka  yang sebenarnya  adalah saudara-saudari kita sendiri; sangat memisah-misahkan umat manusia, dan dampaknya sangat memperihatinkan – seringkali hal ini tidak dapat dipulihkan. Tidak jarang prasangka tersebut, meskipun  ada, tidaklah dikenali orang dan ada saja prasangka malahan dibela dan bahkan dibenarkan, dan ini menghasilkan kerugian besar yang tak terkirakan.

Prasangka di Kalangan Yahudi Zaman Yesus

Pada tahap awal munculnya Yesus di muka umum , tahap Dia merekrut orang untuk menjadi murid-murid-Nya, ternyata sudah ada kebiasaan berprasangka. Setelah Filipus bertemu dengan Yesus dari Nazaret,  lalu memberi informasi ke Natanael untuk ikut serta menjadi murid-Nya seperti dia, apa jawab Natanael ? “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” Untuk menghilangkan prasangka, Filipus lalu menanggapi, “Mari dan lihatlah!” (Yoh 1:45-47).

Karena Yesus banyak berkarya di daerah Galilea, sewaktu gagal ditangkap oleh para prajurit suruhan para imam, Nikodemus  yang telah kenal Yesus, mengingatkan orang-orang Farisi yang mau menangkap dan menghakiminya, agar jangan menghukum Yesus sebelum yang bersangkutan diminta klarifikasinya, apa kata orangporang Farisi, “Apakah engkau orang Galilea. Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea!” (Yoh 7: 50-52).

Sewaktu orang buta sejak lahir disembuhkan penglihatannya oleh Yesus di suatu hari Sabat, orang-orang Farisi berkata kepada si buta yang disembuhkan Yesus, “Orang itu tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat!” (Yoh 9:16). Sedang si buta yang tidak memiliki prasangka buruk menjawab, “Dia seorang nabi. …Jika orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa!” (Yoh 9: 16,33).

Dalam hal ini, justru Yesus-lah yang menjadi kurban prasangka dari umatnya sendiri.

Yesus Yang Tak-Berprasangka

Yesus yang kita jumpai dalam Injil sungguh bebas dari prasangka dengan orang sezamannya. Beberapa prasangka umum yang terjadi pada masa Yesus adalah:

  • Terhadap para pendosa – mereka-mereka yang   tidak setia melaksanakan  Hukum (Agama) Yahudi sampai sekecil-kecilnya . Tetapi Yesus menerima mereka, mengampuni, makan bersama mereka (lih Luk 15:1-2) serta memampukan mereka memulai suatu kehidupan baru.
  • Terhadap mereka yang tak berpendidikan atau kurang pengetahuan sehingga dipandang rendah, Yesus bersyukur kepada Bapa yang menyingkapkan rahasia Kerajaan Allah kepada orang-orang yang seperti itu, sementara mereka yang bijak dan terpelajar tetap tinggal dalam kegelapan yang tak tertercerahkan (lih Mat 11:25).
  • Terhadap mereka yang sakit secara fisik maupun mental, yang dipandang terkutuk oleh Allah, Yesus menjumpai mereka dan menyembuhkannya. Orang berpenyakit kusat, tidak hanya dipandang najis, tetapi dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Yesus menyembuhkan mereka dan mengembalikan hak-hak sosialnya.
  • Terhadap perempuan, yang dipandang rendah dan tunduk di bawah laki-laki, Yesus menghargai, menerima mereka sebagai murid-murid-Nya (lih Luk 8:1-3), bersahabat dengan mereka (lih Luk 10:46-50) dan menjadikannya sebagai saksi kunci akan wafat serta kebangkitan-Nya (lih Mrk 15:47; 16:1-8).
  • Terhadap orang-orang Samaria yang dipandang kasta rendah, karena menikah dengan suku lain (non-Yahudi) Yesus memperlihatkan penghargaan khusus kepada mereka (lih Luk 9:51-53; 10:29-37; 17:11-19).
  • Terhadap orang-orang yang bukan Yahudi, yang tidak termasuk pada golongan ‘bangsa terpilih’, Yesus mengagumi iman mereka (lih Mat 8:10; 15:28; Luk 13:29).

Betapapun diperlihatkan adanya pilihan dan keberpihakan  kepada orang miskin dan tertindas, Yesus tidaklah menolak orang-orang kaya. Dia makan bersama Simon, orang Farisi (lih Luk 7), tinggal bersama Zakheus (lih Luk 19) dan mempunyai murid-murid yang kaya seperti Nikodemus dan Yosef dari Arimatea (lih Yoh 19). Para murid-murid Yesus sendiri berasal dari berbagai latar belakang, baik profesi maupun ideologinya; Dia mempersatukan mereka semua dalam sebuah kelompok yang terpadu.

Melalui pengajaran serta hidup-Nya, Yesus mencoba menyadarkan orang-orang akan prasangka yang mereka miliki, sehingga mereka dapat dibebaskan dari itu semua. Kita bisa mengatakan bahwa  kebebasan-Nya yang amat tinggi tersebut tumbuh dari kesatuan-Nya dengan Allah, Abba-Nya.

Romo F. Subroto Widjojo, SJ, tinggal di Paroki Blok Q, Kebayoran, Jakarta Selatan; mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini