Mengenang St. Sirilius dan St. Metodius, 14 Februari: Merah dan Aksara Kiril

733
Santo Sirilus dan Santo Metodius

HIDUPKATOLIK.COM – NUANSA merah mewarnai Misa hari itu. Mulai dari kasula yang dikenakan Pastor, singel di pinggang rekan-rekan prodiakon, bunga-bunga yang menghiasi altar, hingga taplak altar yang biasa berwarna putih, saat itu merah. Juga hiasan lampion di beberapa bagian gereja serta banyak angpao yang digantung, semua berwarna merah. Warna merah juga menjadi seragam para awam pembawa persembahan.

Merah adalah warna kegembiraan, sukacita. Hari itu,  memang tahun baru penanggalan Cina. Tahun baru Imlek, hari yang penuh kegembiraan bagi umat keturunan Cina. Di seluruh dunia dimana ada keturunan Cina, Imlek pasti dirayakan dengan meriah.

Kisah di atas menunjukkan bahwa Gereja Katolik menghargai kebudayaan lokal.  Juga kebudayaan kelompok etnis umat. Tentu saja sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Gereja. Keterbukaan inilah yang membuat Gereja bisa diterima di berbagai daerah dengan kebudayaan setempat yang jelas berbeda-beda. Baik di Jawa Tengah yang waktu itu dirintis oleh Romo van Lith. Atau pada suku-suku yang relatif terpencil seperti di Nias, Kalimantan, bahkan Papua.

Gereja sendiri makin membuka diri, sejak Konsili Vatikan II yang digagas oleh Paus Yohanes XXIII pada tahun 1962. Sejak itu Gereja mengalami banyak perubahan. Antara lain,  Kitab Suci didorong untuk diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lokal. Misa tidak lagi harus menggunakan Bahasa Latin, malah dianjurkan menggunakan bahasa setempat sehingga umat menjadi lebih tersapa dan terlibat.

Bahwa penggunaan bahasa lokal sangat berperan besar dalam karya pewartaan sudah disadari oleh para misionaris, jauh sebelum Konsili Vatikan II. Sebut misalnya Santo Sirilius dan Santo Metodius yang kita peringati setiap tanggal 14 Februari. Mereka hidup pada abad 9, satu abad sebelum Konsili Vatikan II.

Mereka kakak beradik yang lahir di Kota Tesalonika (saat ini bagian dari negara Yunani). Sang kakak Mikael yang kelak setelah menjadi rahib memilih nama Metodius lahir pada  tahun 815. Sedangkan si bungsu dari tujuh bersaudara, Konstantinus lahir pada tahun 827. Konstantinus kelak memakai nama Sirilius setelah menjadi rahib.

Berlatar belakang keluarga bangsawan, Mikael dan Konstantinus memperoleh pendidikan yang baik. Tak heran, bila kemudian hari, Konstantinus memperoleh julukan sang filsuf. Konstantinus juga mengajar di Universitas Magnaura (saat ini menjadi Universitas Konstantinopel, Istambul, Turki) yang didirikan oleh Theoktiktos. Seorang menteri utama Kekaisaran Turki, yang menjadi orang tua asuh Konstantinus dan Mikael setelah ayah mereka meninggal.

Kedua bersaudara ini ditahbiskan menjadi imam segera setelah menyelesaikan pendidikan. Ketika ada permintaan dari seorang pangeran dari Moravia agar dikirim misionaris untuk mewartakan Kabar Injil Yesus, mereka berdua mengajukan diri. Jadilah Sirilus dan Metodius berangkat ke Moravia, juga daerah Bohemia dan Bulgaria, kepada bangsa Slavia. Bangsa yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda dengan budaya Yunani yang mereka geluti selama ini. Namun karena kecintaan mereka pada misi mewartakan karya keselamatan Kristus, maka mereka berani meninggalkan segala kenyamanan. Yang jelas mereka harus banyak beradaptasi dan belajar Bahasa Slavia.

Waktu itu bangsa Slavia belum memiliki aksara atau abjad. Luar biasanya Sirilius dibantu Metodius dan beberapa rekan, kemudian menyusun dan mengembangkan satu aksara agar Bahasa Slavia dapat ditulis dan dibaca. Aksara ini dikenal sebagai aksara Kiril. Dengan aksara inilah Sirilius menterjemahkan Kitab Suci dan teks-teks lain ke dalam Bahasa Slavia, sehingga pewartaan Injil di kalangan bangsa Slavia dapat berjalan dan berkembang baik. Aksara ini kemudian dikenal sebagai Bahasa Slovanik.

Pada awalnya upaya Sirilius dan Metodius, menterjemahkan Kitab Suci dan bacaan Liturgi ke dalam Bahasa Slavia ini ditentang oleh Gereja. Mereka banyak dikritik dan dikecam, bahkan kemudian dipanggil ke Roma menghadap Bapa Paus. Namun setelah memperoleh penjelasan, Paus Adrianus II malah merasa kagum dan amat berterima kasih kepada kedua saudara ini. Sri Paus kemudian menyetujui cara-cara mereka mewartakan iman. Tidak hanya itu, bahkan Paus hendak mengangkat mereka menjadi Uskup.

Sayangnya Sirilius keburu meninggal dunia sebelum ditahbiskan menjadi uskup. Hanya tujuh tahun setelah ia memulai karya perutusan ke bangsa Slavia. Sirilius meninggal pada 14 Februari 869 dalam usia 41 tahun. Ia dimakamkan di gereja St. Klemens di Roma. Sedangkan kakaknya, Metodius diangkat menjadi uskup dan kembali melanjutkan karya pewartaan ke bangsa Slavia sebelum meninggal pada 6 April 885, pada usia 70 tahun.

Tidak lama setelah wafat para pengikut Sirilius menganggap ia sebagai santo. Konon pada saat prosesi pemakaman di jalanan kota Roma, massa yang hadir langsung menyerukan kanonisasi.  Demikian pula, Metodius. Setelah meninggal, para pengikutnya mengenang ia sebagai orang kudus. Waktu itu memang proses kanonisasi masih sangat longgar.

Namun Gereja mengakui mereka sebagai Rasul Bangsa Slavia dan  sampai saat ini tetap dihormati baik oleh Gereja Kristen Ortodoks maupun Gereja Katolik Roma. Bahkan Paus Yohanes Paulus II telah mengangkat St Sirilius dan St Metodius sebagai pelindung Eropa, pada 31 Desember 1980.

Kita bersyukur Allah telah memilih orang-orang yang berhati mulia untuk menjadi misionaris. Sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat dari berbagai bangsa dan gigih mewartakan Injil. Bercermin pada St. Sirilius dan Metodius, apakah kita juga siap menjadi pewarta? Siap mengupayakan berbagai cara agar Kasih Yesus mudah dipahami oleh orang-orang sekitar kita. Sehingga makin banyak orang mengenal dan menyadari Kasih-Nya.

Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini