HIDUPKATOLIK.COM – Talitha Kum dan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang menyelenggarakan kampanye antiperdagangan orang. Kegiatan ini diramu dalam talk show bertema, “Kekuatan Kepedulian: Perempuan, Ekonomi, Perdagangan Manusia”. Acara berlangsung di Matow Way Hurik, Tanjungseneng, Bandarlampung, Selasa (8/2/2022).
“Talita Kum Keuskupan Tanjungkarang terbentuk tanggal 13 Oktober 2021, yang merupakan jaringan di keuskupan yang dibentuk oleh jaringan Talitha Kum Indonesia dan internasional yang berpusat di Roma. Jaringan ini dibentuk dan diprakarsai oleh Ikatan Biarawati Seluruh Indoensia (IBSI),” ujar Sr. M. Tarsisia, FSGM Ketua Jaringan Talitha Kum Keuskupan Tanjungkarang dalam pengantar talk show dan Doa bersama lintas iman untuk korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
Sebutnya lagi, di tanggal yang sama, 8 Februari 2022, Talitha Kum Indonesia baru saja mengadakan ragam gerakan di berbagai keuskupan yang bertepatan dengan hari doa internasional peringatan Santa Josephine Bakhita, patron korban perdagangan manusia.
Memperkuat Jaringan
Talk show yang dilakukan secara offline ini dihadiri 25 peserta dari berbagai organisasi dan lembaga, termasuk panitia serta disiarkan melalui live streaming oleh Tim Komsos Keuskupan Tanjungkarang. Tujuan dari kegiatan ini utuk memperkuat jaringan jaringan kerja untuk menghentikan TPPO dan membangun harapan para korban TPPO agar bergerak menjadi pejuang
Pengurus Talitha Kum Keuskupan Tanjungkarang dan Koordinator KKPPMP Keuskupan Tanjug Karang, Yuli Nugrahani mengundang para sahabat/ aktivis kemanusiaan dari berbagai lembaga/organisasi antara lain: Tymu Irawan dari Serikat Buruh Migran Indonesia Lampung; Suzana Indriyati Caturiani, akademisi di FISIP Universitas Lampung; Ana Yunita dan Kiki Ayu dari Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Bandar Lampung; Anisa dari Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung; Hardyanto Luke dari Paguyupan Sosial Marga Tionghoa Indoensia Bandar Lampung; Aliful Mdari Organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama; Umar Robani dari Jaringan Gusdurian Lampung; Desak Ketut Suastika dari Wanita Hindu Dharma Indoensia Bandar Lampung; Pdt. Budiman dan Pdt. Agetta Putri Awijaya dari Gereja Kristen Indonesia Bandar Lampung; Sr. Sisilia Murwati, ALMA dari Pelita Kasih Bandar Lampung; Elysabeth Sri Puryanti, Cicilia Trisnaningsih Carlost; Maria Tora Pratiwi dari WKRI Bandar Lampung; Alexander Bagaskara P.W dan Gisela Novena Vivi Nathania dari Orang Muda Katolik (OMK) Bandar Lampung; Pastor Alexander Pambudi, SCJ dkk dari tim KOMSOS Keuskupan Tanjungkarang.
Tymu Irawan dari SBMI Lampung, pemantik dalam talk show menyampaikan masalah-masalah yang dialami oleh pekerja migran. SBMI menggalakan pendampingan terkait dengan pekerja migran perempuan. Di Tahun 2021 menurut Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Lampung sekitar 4.192 pemberangkatan, sedangkan tahun 2020 sekitar 9.000 pemberangkatan, menurut data SBMI Lampung banyak pekerja migran yang tidak tercatat dan tidak berangkat dari Lampung sehingga itu bisa dikatakan non prosedural sekitar 50% dari catatan yang ada di BP2MI Lampung itu yang sangat berpotensi adanya kasus-kasus atau permasalahan migrasi yang dialami oleh teman-teman yang menjadi pekerja migran.
Tymu menjelaskan juga bahwa pengiriman, di tempat transit, di tempat tujuan dan ketika kepulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), diberbagai tempat inilah ditemukan permasalahan migrasi dan banyak faktor pendorong terjadinya migrasi antara lain permasalahan yang ada di keluarga, permasalahan terkait ekonomi, kurangnya akses terhadap pendidikan, kemiskinan, tidak adanya lapangan pekerjaan bahkan baru-baru ini dampak pandemi covid-19 yang sangat dirasakan oleh semua masyarakat salah satu pendorong terjadinya migrasi.
Tymu memaparkan pula modus operandi yang digunakan calo atau oknum ketika dalam bermigrasi adanya penculikan, janji – janji manis dan modus operandi ini dari dulu hingga sekarang masih ada, sekarang ini SBMI Lampung mendampingi 26 kasus untuk satu calo dan itu ada calo lain sistemnya sama dan modus dengan berbagai macam seperti iming-iming gaji besar, salah satu pendorong masyarakat bekerja di luar negeri.
“Cara pelaku untuk mengendalikan korban dengan cara pemalsuan dokumen dan di sini mereka tidak serta merta melepas korbannya dalam praktek TPPO ini. Kebanyakan sponsor atau calo memberikan jerat agar ada ketergantungan pekerja migran ini menjadi tergantung untuk selalu bekerja di luar negeri dan dimanfaatkan dan diperdagangkan oleh sponsor atau calo,” sebut Tymu.
Permasalahan sampai saat ini masih banyak ditemui dan bisa dilihat terutama untuk masyarakat yang ada di pedesaan yang cenderung lebih mempercayai calo atau sponsor dari pada mempercayai kepala desa yang lebih ingin melindungi.
“Kepala desa menolong agar ada MoU antara pekerja migran dengan calo agar diketahui oleh desa, namun sering kali jutru pekerja migran tidak mau melalui jalur tersebut. Permasalahan migrasi tidak berubah hanya dimodifikasi oleh sponsor yang memanfaatkan kelemahan para pekerja migran sehingga mereka tidak lepas dari TPPO.
Sementara itu, Anisa dari organisasi LAdA merespon bahwa terkait dengan mendampingi pekerja migran yang menjadi TPPO, bahwa sering kali informasi pekerja migran yang aman belum sampai ke pekerja migran maka munculah permasalahan dan PMI itu memilih non prosedural untuk bekerja di luar negeri. “Biaya penempatan memberatkan PMI sementara dalam undang-undang ada tanggungan dari pemerintah daerah. PMI yang dideportasi mengalami permasalahan juga ketika kembali kekampung halaman karena tidak adanya akses ekonomi,” sebutnya.
Menaggapi persoalan ini, Ana Yunita, dari organisasi DAMAR, juga merespon bahwa bicara soal TPPO sangat setuju bahwa ini merendahkan martabat manusia, DAMAR sendiri melakukan pendampingan pada korban trafficking yang mayoritas usia anak dan mayoritas adalah perempuan.
Mengapa perempuan rentan? Kita lihat kontrusksi sosial yang melihat perempuan, karena perannya dianggap domestik saja. Perempuan tidak boleh bermimpi, perempuan dibatasi untuk menunjang karier. Masalah ekonomi sangat kompleks maka ada banyak persoalan yang muncul seperti angka perkawinan anak tinggi, akhirnya memilih migrasi dan bekerja di luar negeri.
Juga kebijakan negara yang tidak berpihak pada masyarakat, perubahan iklim yang terjadi, negara memberikan banyak pijaman tetapi masyarakat terjerat hutang akhirnya menjadi PMI. Mari kita melakukan edukasi bagi para perempuan agar tidak mengalami diskriminasi dan perempuan bisaberperan di arena manapun,mari kita bersama memperkuat upaya kita dalam mencegah TPPO di Lampung.
Upaya Pendampingan
Selain itu, Suzana Indriyati Caturiani, akademisi, FISIP Universitas Lampung, juga sebagai pemantik dalam talk show mengatakan data TPPO meningkat hal ini ruwet bagaimana tidak, sebab mereka yang mau berkerja di luar negeri itu berbagai alasan ada yang ingin gaji yang besar untuk membangun rumah, menyekolahkan anak dan sebagainya.
“Mereka pasti harus mengurus dokumen resmi, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau ribet semua diserahkan oleh para calo, hal ini mempermudah para calo untuk merekrut tenaga kerja dengan cara illegal non prosedural, dan mempermudah juga mereka dideportasi,” tegasnya.
Apa yang dapat kita lakukan bagi mereka? Upaya-upaya itu antara lain dengan sosiliasi, pelatihan, pendampingan dan kebijakan. Di sekolah, di sekitar kita, atau kita terlibat di pemerintah mendorong pemerintah, kita menemani para korban dan keluarganya. Pelatihan kesabaran, melawan akan nasib, ada sosilisasi, pendampingan ditemani dan kemudian kebijakan. Di tingkat lebih luas kabupaten, ada asosiasi para guru. Keterampilan mendampingi, oleh para pemuka agama, organisasi-organisasi non pemerintah. Dukungan perguruan tinggi dalam internal, sehingga melek migrasi (migrating literacy) menjadi kepedulian bersama.
Alif dari NU Lampung, merespon dalam ruangan ini permasalahan kemanusiaan kita masih ruwet karena dari berbagai sisi masih banyak celah yang berlum kita urai, kita harus hadir di masyarakat, kita ikut membantu pemerintah yang sampai hari ini belum bisa menyelesaikan masalah ini, mungkin bisa jadi undang-undang tidak bisa diterjemahkan kepada masyarakat terutama tentang TPPO kadang yang jadi korban pun tidak sadar kalau dirinya menjadi korban. Anak-anak gampang teriming-imingi.
“Ini menjadi PR kita barangkali orang tua sadar hidup itu segala sesuatu tidak harus kita penuhi semuanya. Kehadiran kita bagaimana kita mendampingi masyarakat, mari kita bergadeng tangan sering berdiskusi, mengadakan seminar untuk diteruskan ke masyarakat.”
Mengubah Mentalitas
Pdt. Agetta Putri, menambahkan pengalamannya ketika bekerja sebagai penerjemah bahasa di salah satu negara, bahwa persoalan PMI ada pada mentalitas, pendidikan bahasa yang kurang, perbedaan budaya dan etos kerja. Pekerja yang bekerja di domestik akan mudah binggung karena kurangnya pengetahuan bahasa sehingga rentan menjadi korban kekerasan maka pendampingan dari kita untuk membekali mereka.
“Kita kenal dengan Santa Josephine Bakhita, hidup bertahun tahun menjadi seorang budak dan akhirnya ia terpanggil untuk menjadi biarawati dan menjadi santa pelindung perdagangan orang, mungkin kedepannya kita perlu mendatangkan narasumber dari korban TPPO.”
Vivi dari OMK Bandar Lampung menambahkan menurutnya perdagangan manusia tidak selalu yang berurusan dengan kerja di luar negeri, di lingkungan dekat kita tinggal saja bisa terjadi perdagangan orang apalagi dengan alat komunikasi yang modern sekarang ini, lewat medsos dan lainnya, mari kaum muda semua untuk melihat persoalan ini dan tidak jatuh dalam persoalan TPPO.
Elysabeth dari WKRI,mengungkapkan bahwa perisiwa bertemu dalam kegiatan ini sungguh indah kita saling membuka hati, dengan doa hari ini akan berkelajutan dan ini akan kami masukan dalam program WKRI khususnya dengan Talitha Kum kita bersinergi.WKRI siap mendukung dan bergerak bersama menanggani persoalan TPPO.
Desak dari WHDI juga mengungkapkan, bahwa TPPO baru tahu dari narasumber bahwa TPPO mengerikan.dan Organisasi kami belum menyentuh soal ini, melalui talkshow ini membuka wawasan kami.
Para peserta talkshow sangat antusias merespon gagasan yang dipaparkan oleh para pemantik, dan hal ini tidak selesai didiskusikan dalam waktu satu hari. Untuk itu Yuli Nugrahani, selaku moderator talkshow mengajak agar seluruh peserta yang hadir untuk mengendapkan dan mengambil apa yang baik dari dskusi hari ini, semoga ini bukan pertemuan yang terakhir walaupun ada banyak hal yang ruwet di depan sana kita akan bisa melakukan sesuatu dengan kekuatan kepedulian kita.
Di akhir kegiatan pengurus Talitha Kum mengadakan evaluasi dengan kegiatan bersama ini harapan ke depan dapat terus berjejaring dalam upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang khususnya di Lampung. Selain itu Jaringan Talitha Kum ini mendapatkan informasi terkait dengan kasus-kasus TPPO dan bagaimana ke depannya untuk berkoordinasi dengan semua pihak yang berkehendak baik menentang perdagangan manusia dan berupaya dalam pendampingan korban TPPO.
Laporan: Sr. Stella Maria, HK (Tanjungkarang)