Mengapa Mantan Imam Masih Bisa Memberikan Sakramen Tobat dalam Keadaan Darurat

902

HIDUPKATOLIK.COM – Baru-baru ini, seorang imam dibebaskan dari tugas-tugasnya sebagai imam (kembali sebagai awam), tapi imamatnya tetap tak dicabut. Saya agak bingung. Lebih bingung lagi, mantan imam ini bisa memberikan Sakramen Pengakuan Dosa dalam keadaan darurat. Mohon penjelasan, Romo.

Prabastu, Yogya

SAKRAMEN di dalam tubuh Gereja adalah menjalankan panggilan pengudusan, dalam keikutsertaan dalam pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Sakramen-sakramen tersebut ditetapkan oleh Kristus bagi Gereja-Nya. Maka sakramen-sakramen yang ada ada melalui serta untuk Gereja. Sakramen-sakramen Gereja karenanya merupakan sakramen iman, bagi keselamatan, sebagaimana Gereja adalah sakramen keselamatan Allah.

Sakramen Tahbisan, atau yang sering disebut sebagai Sakramen Imamat, merupakan suatu sakramen pelayanan apostolik, diarahkan kepada sakramen keselamatan orang lain, yang dengan melayaninya mereka yang menerimanya juga memberi sumbangan bagi keselamatannya sendiri.   Dengannya penerima sakramen tersebut disanggupkan untuk melaksanakan kuasa kudus dari Kristus di dalam Gereja-Nya. Sakramen ini, bagi Gereja, merupakan meterai yang tak terhapuskan, oleh karenanya daya sakramentalnya tidak hilang.

Karena itu, imamat, yang diterima sebagai sakramen, tidak dapat dihapuskan. Hal yang sama berlaku dengan Sakramen Baptis dan krisma, pengurapan Roh Kudus menjadikan daya sakramen tersebut tetap. Imamat, sebagai sakramen, tidak dapat dicabut. Namun seorang imam dapat dibebaskan dari tugas pelayanan serta kewajiban yang diberikan atas dasar kuasa tahbisan tersebut oleh Gereja. Martabat imamat tetap, namun kuasa menjalankannya bisa dicabut. Malahan Katekismus Gereja Katolik memberi pernyataan yang jelas, mengutip penetapan dari Konsili Trente, tentang seseorang yang dibebaskan dari tugas imamat, bahwa dia tidak dapat menjadi awam lagi dalam arti yang sebenarnya, karena tanda yang telah diukirkan oleh tahbisan tidak dapat dihapuskan (KGK 1581-1584).

Karakter rohani akan Sakramen Tahbisan tidak bisa dihapuskan. Karakter rohani atau daya sakramentalnya tidaklah sementara dan tidak bisa diulangi, karenanya kekal. Betapapun seseorang yang telah menerima Sakramen Imamat, namun bisa meninggalkan status klerikal.  Tentu karenanya tidak bisa dia begitu saja bisa bertindak sebagai imam. Bagaimana pun imamat yang diterima adalah imamat Gereja, maka karena kuasanya dilepaskan oleh Gereja, dia tidak bisa bebas bertindak sebagai imam Gereja. Dia telah kehilangan status klerikalnya, dan dilarang menjalankan kuasa tahbisan.

Akan tetapi ada pengecualian dalam kondisi atau situasi darurat. Kitab Hukum Kanonik menyatakan ruang kemungkinan itu, juga untuk memberikan absolusi dalam sakramen pengakuan dosa. Dikatakan tentang hal itu bahwa seorang imam, walaupun telah kehilangan status klerikalnya atau tidak memiliki lagi kuasa menjalankan fungsi imamatnya, dapat memberikan absolusi dalam bahaya kematian (KHK 976). Demi alasan keselamatan jiwa orang tersebut, maka pelayanan sakramental dapat diberikan dalam situasi dan kondisi darurat, dan seorang “mantan imam” bisa melayani. Karakter dan meterai tahbisan imamat dalam dirinya tetap ada, tidak terhapuskan, sehingga situasi darurat tersebut bisa menjalankan fungsi imam.

Namun dengan catatan dan perhatian tentu perlu diberikan tentang situasi kedaruratan yang ada. Seorang imam dapat dicabut kuasa untuk menerima sakramen pengakuan dosa oleh Uskup, demikian juga kalau dia sedang dalam suatu proses inkardinasi atau kehilangan jabatan atau domisili (KHK 974-975). Maka sebenarnya kuasa memberikan absolusi dalam pengakuan diberikan oleh Gereja, dan karenanya pimpinan Gereja dapat mencabutnya.  Akan tetapi ada situasi tertentu yang membutuhkan penanganan tertentu. Yang biasa disebutkan sebagai situasi darurat ini adalah bahaya kematian atau situasi mendesak lainnya, tergantung pada situasi yang ada, seperti misal pernah ada ketentuan dari Vatikan soal sakramen pengakuan dosa dalam kondisi kedaruratan akibat pandemi ini. Karena darurat, maka tidak bisa begitu saja diberlakukan, dan tidak memungkinkannya untuk mendapatkan pelayan sakramen yang seharusnya atau pula tata pelayanan sakramental yang seharusnya.

Dengan demikian, meterai Sakramen Imamat tidak bisa hapus, dan dalam arti tertentu imamatnya masih ada. Situasi kedaruratan, karenanya, masih memungkinkan baginya untuk menjalankan fungsi imam.

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog Dogmatik

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-76, Minggu, 30 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini