HIDUPKATOLIK.COM – Kasus Kekerasan Seksual semakin sering kita dengar di media massa. Ibarat gunung es yang mulai memperlihatkan ukuran sesungguhnya yang massif di permukaan. Ironisnya, kasus-kasus ini terjadi dalam lingkungan yang sepantasnya menjadi rumah yang aman bagi korbannya seperti pada lingkungan pendidikan bahkan institusi keagamaan. Tempat-tempat di mana penghormatan pada martabat kemanusiaan diajarkan. Mengapa persoalan ini menjadi kronis dan terus menjadi problematika?
TANGGAL 21 Januari 2022, Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IB Depok menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Lukas Lucky Ngalngola alias “Angelo”. Fakta persidangan membuktikan yang bersangkutan melakukan Kekerasan Seksual terhadap sejumlah anak yang seharusnya dilindungi seperti anak sendiri di sebuah panti asuhan di Depok.
Tanggal 6 Januari 2021, setahun sebelumnya, Majelis Hakim pada pengadilan yang sama juga menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Syahril Parlindungan Marbun yang melakukan Kekerasan Seksual terhadap belasan anak yang ia asuh sebagai misdinar di sebuah paroki di Depok.
Kasus-kasus yang dilaporkan korban terjadi juga secara luas pada institusi pendidikan Katolik meskipun tidak semua kasus berlanjut sampai ke hadapan majelis hakim. Salah satunya yang diungkapkan korban terjadi 27 tahun lalu di sebuah sekolah Katolik di Jakarta.
Kejadian ini juga terjadi dalam lingkungan pendidikan dan keagamaan lain, sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
LPSK melaporkan kenaikan permohonan perlindungan dari 35 korban pada 2016 menjadi 231 korban pada 2019. Data memperlihatkan rentang usia korban beragam mulai dari balita (10 korban) hingga remaja usia 18 tahun. 72,2% korban berjenis kelamin perempuan, yakni sebanyak 174 anak. Dari sisi jumlah pelaku 3,5% adalah pemuka agama. Angka ini terlihat kecil, namun perlu diingat bahwa, karena setiap pemuka agama berinteraksi dengan sejumlah besar anak didik.
Lembaga Keagamaan
Ada beberapa faktor. Pertama, adanya kecenderungan penyangkalan diri di dalam Gereja Katolik atas terjadinya Kekerasan Seksual. Institusi keagamaan adalah penjaga gerbang kebenaran dan keselamatan. Amat sulit dan terlalu mengguncang bagi kita untuk bisa menerima kenyataan bahwa Kekerasan Seksual terjadi dalam lingkungan keagamaan atau bahkan dilakukan oleh pemuka agama. Karena ini kontradiktif secara diametral dengan pondasi dan dasar ajaran Gereja yang menekankan penghormatan pada martabat manusia. Dalam era disrupsi sosial yang meluas, dugaan terjadinya Kekerasan Seksual akan memperparah erosi kepercayaan terhadap signifikansi kehadiran Gereja di masyarakat yang kian kompleks dengan contesting values.
Kedua, ketiadaan mekanisme internal yang memastikan: 1) kasus Kekerasan Seksual ditangani secara terbuka dan; korban dilindungi, didampingi, dan dipulihkan. Hal ini menyebabkan korban Kekerasan Seksual jika ingin mendapatkan keadilan, harus menembus budaya penyangkalan dan tembok ketidakjelasan prosedur penanganan kasus secara diam-diam dan tanpa pendampingan yang memadai.
Ketiga, kelemahan pada hukum pidana materiil dan formil di Indonesia. Sampai pada saat artikel ini ditulis, Indonesia belum mensahkan formulasi tindak pidana yang dapat mengkriminalisasi berbagai bentuk Kekerasan Seksual yang saat ini terjadi. Pemidanaan masih mengandalkan delik kesusilaan yang terbatas perlindungannya. Sementara secara formil, prosedur pembuktian untuk kasus Kekerasan Seksual apabila mengikuti rumusan KUHP serta syarat KUHAP masih sangat sulit dipenuhi.
Bangun Habitus Baru
Menghadapi persoalan Kekerasan Seksual dalam lingkungan Gereja Katolik, pada 7 Mei 2019 Sri Paus Fransiskus mengeluarkan Vos Estis Lux Mundi (VELM) yang merupakan instruksi untuk menangani kasus-kasus Kekerasan Seksual kaum imam. Dalam dokumen ini, setiap keuskupan diperintahkan untuk membuat protokol dan sistem pelaporan kasus Kekerasan Seksual paling lambat pada Juni 2020. Kemudian pada tanggal 16 Juli 2020, Kongregrasi Ajaran Iman menerbitkan Vademecum. Dokumen ini menjadi buku pegangan dalam penanganan kasus Kekerasan Seksual yang dilakukan kaum klerus mulai dari notitia criminis (dugaan terjadinya kekerasan seksual) hingga keputusan final dari sistem peradilan pidana (SP3, deponyaering ataupun vonis pengadilan).
Kedua dokumen ini menunjukkan komitmen Gereja Katolik mulai dari Vatikan untuk lebih terbuka dan akuntabel dalam menangani persoalan Kekerasan Seksual. Namun tentu komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan upaya membangun habitus baru di setiap tingkatan pelayanan pastoral mulai dari keuskupan, paroki hingga lingkungan. Begitu pula pada tarekat dan karya. Tugas yang tidak mudah karena kita harus menumbuhkan budaya yang melindungi anak dan dewasa rentan, menghentikan praktik layanan pastoral yang rentan Kekerasan Seksual, membangun mekanisme pelaporan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban. Kesemua hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan adanya kesepahaman dan kerja sama dari semua pihak.
Menindaklanjuti instruksi VELM dan Vademecum, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pada bulan Agustus 2020 memulai upaya menyusun Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan. Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo membentuk Tim 15 yang bertugas untuk menyusun dokumen kebijakan perlindungan. Tim 15 ini terdiri dari romo dan awam yang memiliki keahlian di bidang hukum, HAM, kriminologi, perlindungan hak perempuan, pendampingan anak, advokasi hak kelompok difabel dan minoritas lain.
Kesulitan pertama dalam menerjemahkan VELM dan Vademecum ke dalam konteks Indonesia adalah realitas penegakan hukum negara di Indonesia yang dinilai kurang berpihak kepada korban apabila dibandingkan dengan negara-negara maju lain. Pada negara-negara maju, korban relatif akan diterima oleh sistem hukum yang ramah dan suportif terhadap kasus-kasus Kekerasan Seksual. Sehingga hambatan terbesar pada negara-negara itu lebih pada bagaimana pelaksanaan prinsip kerahasiaan (principle of confidentiality) para klerus tidak menghalangi pelaksanaan hukum negara. Dan ini adalah fokus dari VELM serta Vademecum.
Di Indonesia masalahnya lebih kompleks dan membutuhkan pengaturan yang lebih dalam untuk memastikan korban termampukan untuk mengakses administrasi peradilan pidana untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan. Protokol KAJ karenanya harus juga berfokus pada pendampingan dan perlindungan korban karena dukungan negara pada kedua hal ini sangat terbatas selain melanjutkan perintah VELM dan Vademecum agar Gereja terbuka secara internal untuk menindaklanjuti dugaan Kekerasan Seksual.
Protokol ini, berkaca dari kecenderungan kasus yang ada, juga menerjemahkan pengertia “vulnerable adult” dalam Vademecum tidak terbatas pada difabilitas fisik maupun mental. Namun juga menjangkau kategori dewasa yang karena orientasi seksualnya, maupun relasi kuasa dalam layanan pastoral rentan menjadi korban Kekerasan Seksual. Ini merupakan sebuah penerjemahan yang harus dilakukan mengingat masih lemahnya perlindungan hukum di Indonesia terhadap kedua kelompok ini dari ancaman kekerasan seksual.
Ujian lain dalam menyusun Protokol adalah realita ketiadaan mekanisme perlindungan yang efektif bagi korban Kekerasan Seksual selama ini. Protokol karenanya harus mempertimbangkan pertumbuhan budaya dan kapasitas perlindungan secara bertahap. Merumuskan target yang terlalu ideal tanpa memperhatikan prasyarat yang harus dipenuhi akan berujung pada kegagalan pelaksanaan protokol dan kekecewaan seluruh pihak.
Sebagai contoh, untuk membangun mekanisme perlindungan korban dan penanganan kasus maka hendaknya dilakukan secara bertahap mulai dari tingkat keuskupan di mana sumber daya dapat lebih mudah dimobilisasi. Begitu tim penerima pengaduan dan layanan pastoral terbentuk sehingga bisa menerima laporan/pengaduan, barulah kemudian tim serupa di tingkat paroki kemudian disusun.
Protokol ini adalah eksperimentasi penting bagi Gereja Katolik. Karenanya dalam penyusunannya, draf dikonsultasikan dengan penyintas Kekerasan Seksual atau yang mendampingi, teolog Gereja Katolik, perwakilan komisi-komisi di KAJ, kelompok kategorial dan kelompok lain yang prihatin dengan persoalan Kekerasan Seksual dalam lingkungan Gereja Katolik. Keragaman perspektif ini diharapkan akan memperkaya perlindungan yang ditawarkan oleh Protokol.
Hendaknya dokumen ini pun dilihat bukan sebagai “kitab suci” tapi sebagai living document yang dapat direview dan disempurnakan setelah 2-3 tahun pelaksanaannya.
Kita tidak akan pernah bisa selesai menciptakan sebuah protokol yang sempurna, fool-proof. Justru dari penerapan Protokol inilah kita akan mendapatkan banyak pelajaran untuk perbaikan kebijakan ke depannya.
Protokol ini serta upaya penerapannya, harapannya, akan menjadi kontribusi KAJ bagi upaya pemerintah untuk membangun sistem perlindungan yang lebih kuat dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Mari kita sambut dan perjuangkan pelaksanaan standard Protokol ini demi Gereja Katolik yang bersahabat, ramah dan melindungi setiap umatnya.
Leopold Sudaryono, Kriminolog, Wakil Ketua Tim 15