HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu Biasa V, 6 Februari 2022, Yes.6:1-2a, 3-8; Mzm.138:1-2a, 2bc-3, 4-5, 7c-8; 1Kor.15:1-11 (panjang) atau 1Kor.15:3-8, 11 (singkat); Luk.5:1-11
“JANGAN takut!” Intuisi Yesus menangkap gejolak batin Petrus, sang nelayan sejati dari Danau Galilea. Petrus galau, cemas campur takut. Dia panik, kerdil tak berdaya. Dia merasa diri seolah-olah berdiri polos di hadapan kuasa Maha Dahsyat yang terpancar dari diri Yesus.
Hasil tangkapan ikan yang berlimpah-limpah itu belum pernah terjadi selama dia menjadi nelayan. Ini kejadian luar biasa yang sangat langka. Ini sungguh di luar kebiasaan dan jangkauan pikiran mereka. Apakah Yesus ini penyihir manjur seluruh ikan sedanau Genesaret yang secara gaib menggiring ikan-ikan ke dalam jalanya?
Petrus merasa takjub, terpesona. Dia merasa Yesus mengetahui seluruh alur hidupnya, luar dalam. Dia merasa seolah-olah tidak ada lagi selubung rahasia dirinya di hadapan Yesus. Demi aman, biar Yesus pergi. “Tuhan, tinggalkanlah aku, karena aku ini orang berdosa!”
Perasaan takut dan gentar, berdosa dan tidak layak, sudah merasuki Nabi Yesaya beberapa abad sebelumnya. Di hadapan kekudusan Allah yang secara abadi digaungkan barisan para Kerubim dan Seraphim, sang Nabi jadi luluh lantak perasaannya. Dia menjadi terkutuk dan terhukum karena kedosaannya. “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, Tuhan semesta alam.”
Rasa takut dan gentar, sekaligus terkesima di hadapan Allah, diungkapkan Mircea Eliade sebagai perasaan khas manusia dalam pengalaman perjumpaannya dengan Allah. Allah dialami sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum, misteri yang menggentarkan, meluluh lantahkan sekaligus menarik.
Dalam kebesaran dan keagungan-Nya, Allah selalu membiarkan menusia bangkit. Dengan kuat kuasa-Nya Allah masih selalu rela menopang manusia dan memanggilnya untuk suatu maksud dan tujuan yang lebih mulia. Itulah awal dari proses pemurnian dan penyucian diri dalam peristiwa panggilan.
Manusia mengalami dan mengakui kebesaran dan keagungan Allah, sekaligus kehinaan dan ketidakpantasan dirinya lantaran segala dosa dan cacat celanya.
Dia mengakui dan memuji kebesaran Allah sekaligus mengakui dosa-dosa dan kehinaan dirinya di hadapan Allah.
“Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Menjala ikan di Danau Genezareth yang sudah jadi profesi sejak masa kecil, rasanya belum cukup. Petrus dipanggil dan didesak untuk suatu tugas penting yang tidak bisa ditunda: Dia harus beralih dari penjala ikan menjadi penjala manusia! Suatu peralihan profesi yang menantang.
Dinamika dengan jalan berliku, penuh tanjakan dan tikungan sulit. Tugas baru dan sungguh berat ke segala penjuru bumi. Menjangkau bangsa-bangsa segala benua! Penjala ikan jadi penjala manusia. Suatu peralihan profesi, suatu pengayaan dan pelebihan bobot tugas profesi dalam kehidupan Petrus.
Bersama teman-temannya Petrus beralih dari pekerjaan penjala ikan menuju penjala manusia. Dia meninggalkan perahu-perahu dan orang-orangnya di danau Genezareth. Sambil mengucapkan selamat tinggal, mereka pergi bersama Yesus dari Galilea menuju Yerusalem.
Kemudian hari perjalanan mereka akan panjang tanpa akhir: dari Yerusalem menuju Roma dan seluruh dunia. Suatu panggilan dan perjalanan hidup dengan magnitudo seluas dunia, semisterius bentangan alam semesta. Dalam keyakinan iman, sebuah perjalanan dari dunia fana menuju surga yang baka. Bagi Petrus dan kawan-kawannya, itulah panggilan tugas dengan perjalanan tanpa titik balik.
Panggilan menjala manusia sungguh mendesak. Putusan harus segera diambil. Tidak bisa ditunda atau diulur-ulur. Mulai sekarang. Petrus harus putuskan secara tegas. Sekarang, bukan nanti. Yesus tahu, pertimbangan manusia yang berlama-lama memiliki risiko besar. Putusan yang ditunda dan diulur-ulur seringkali berakhir negatif. Mulai sekarang atau tidak akan pernah. Ikut Yesus untuk menjadi penjala manusia, atau tetap tinggal di danau Galilea, menjadi penjala ikan.
Panggilan untuk mengikuti Tuhan seringkali diawali dengan pengalaman dan pergelutan pribadi didatangi, disapa, diberi instruksi untuk cara kerja dan pola hidup yang baru, lalu dipanggil oleh Tuhan. Selalu ada keraguan, kebimbangan, dan sederet pertanyaan. Bahkan juga keberatan dan penolakan.
Memang panggilan itu sungguh mulia, menarik dan penuh pesona, namun penuh tantangan. Tidak pernah ada orang yang siap sedia sejak awal untuk langsung menjawab panggilan itu dengan mantap. Selalu diperlukan proses pengolahan hati dan pemurnian motivasi. Gemblengan dan bimbingan harus terus-menerus dilewati. Tahap demi tahap. Perasaan tidak layak, tidak pas, tidak pantas, pasti selalu jadi ganjalan.
Namun Tuhan sendiri menjadi jaminan. Kekuatan-Nya patut diandalkan. Dialah Sumber peneguhan dan pemberi kekuatan untuk menunaikan tugas panggilan itu dengan hasil yang baik. Dialah yang meneguhkan panggilan itu. “Jangan takut. Mulai sekarang, engkau akan menjadi penjala manusia.”
“Putusan yang ditunda dan diulur-ulur seringkali berakhir negatif.”
HIDUP, Edisi No. 06/Tahun ke-76, Minggu, 6 Februari 2022