Perlunya Kedalaman Keteladanan

167

HIDUPKATOLIK.COM – SETIAP kali kita merayakan ulang tahun tahbisan seorang imam, saat itu pula kita merefleksikan hakikat sakramen suci ini. Hal yang sama terjadi, ketika majalah ini pada edisi ini mengangkat momen HUT ke-40 imamat Vincentius Sutikno Wisaksono yang sejak 1 April 2007 didapuk Vatikan menjadi Uskup Keuskupan Surabaya menggantikan Mgr. Johanes Hadiwikarta. Pada tanggal 21 Januari 2022 ini, Mgr. Sutikno, sapaannya, merayakan hari bahagia tersebut.

Menengok kisah panggilan imamat Mgr. Sutikno memang sungguh mengharukan. Ketika ia masih kanak-kanak, benih-benih ketulusan dan pengorbanan telah tumbuh bersemi dalam dirinya. Konon di sekolah, ia pernah memberikan bajunya kepada temannya sehingga ia pulang tanpa mengenakan baju. Sang ibu sempat ‘memelototinya’. Namun setelah ia menjelaskan duduk soalnya, sang ibu malah memeluknya erat. Sang anak meberikan bajunya kepada temannya karena baju temanya sudah rusak dan robek.

Perjalanan panggilan sejak seminari menengah hingga masa diakonat memang tergolong ‘mulus’ hingga ia ditahbiskan menjadi imam 40 tahun yang lalu. Sebelum menjadi gembala utama (uskup) di Keuskupan Surabaya, sulung dari tiga bersaudara ini telah berkarya di pelbagai bidang pelayanan. Kesan yang dirasakan sejumlah orang yang mengenalnya, ia seorang yang tampil apa adanya, bersahaja, spontan, dengan selera humor yang tinggi.

Ya, umat memang menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap penampilan (baca: pelayanan) para imam. Di paroki-paroki pedalaman atau pelosok, kerapkali imam dipandang sebagai manusia-manusia setengah dewa, tahu dan bisa segala-galanya. Apa saja persoalan umat akan disampaikan kepada para pastor dan mengharapkan solusinya. Namun, situasinya akan berbeda dengan para imam yang berkarya di perkotaan atau kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Jakarta dan lain-lain. Dari para imam tak lagi diharapkan solusi untuk menyelesaikan segala perkara (palugada), tetapi keteladanan kesalehan dan kesetiaan pada esensi tahbisan imamat sebagai alter Christus.

Kedalaman rohani para imam akan dirasakan umat dari cara mereka memberikan respons, simpati, atau empati pada umatnya. Kedalaman rohani yang bersumber dan berakar pada imamat Kristus sendiri. Imamat yang melayani, yang datang mencari domba-domba yang hilang dan tersesat, yang solider dengan kaum miskin dan papa, peduli dengan orang-orang yang rentan terhadap pelbagai bentuk kekerasan, penindasan, dan ketiadkadilan di tengah masyaakat.

Dalam sejarah Gereja, kita mendengar atau membaca kisah-kisah para imam yang mengorbankan diri sampai tetes darah terakhir untuk keselamatan umat yang digembalakannya. Sebagaimana Kristus mengorbankan diri demi keselamatan umat manusia, harapannya para imam pun meneladan Sang Imam Agung.

Tak jarang kita mendengar percakapan di tengah umat terhadap sikap dan perilaku keseharian imam parokinya. Imam yang kurang memberikan diri alias pelayanan kepada umatnya. Gaya hidupnya kurang mencerminkan diri sebagai imam. Uskup Petrus Canisius Mandagi, MSC secara terbuka pernah mengritik perilaku sebagian imam yang tidak lagi memberikan perhatian sepenuhnya pada firman Tuhan dan Perayaan Ekaristi. Memprihatinkan.

HIDUP, Edisi No. 04, Tahun ke-76, Minggu, 23 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini