Uskup Padang, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX: Allah Itu Kasih yang Tak Terbatas

300
Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX (Foto: Dokpri)

HIDUPKATOLIK.COM – RENUNGAN Minggu, 30 januari 2022 Hari Minggu Biasa IV Yer.1:4-5, 17-19; Mzm.71:1-2, 3-4a, 5-6ab, 15ab, 17; 1Kor.12:31-13:13 (panjang) atau 1Kor.13:4-13; Luk.4:21-30.  

ORANG-orang sekampung Yesus itu, terpesona oleh ketajaman khotbahnya yang begitu singkat: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Ungkapan “Pada hari ini…” seolah-olah menyadarkan orang pada aktualitas Sabda Tuhan, kini dan di sini. Menyadarkan kita akan kunci untuk membaca Injil Lukas sendiri.

Di awal, penginjil menampilkan kabar keselamatan “hari ini” bagi para gembala seperti diwartakan Malaikat: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.” (Luk. 2:10-11). Kelak, Kepala pemungut cukai di Yerikho mendengar Yesus sendiri berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu” (Luk. 19:5); tetapi lebih dari itu Yesus “membenarkan dia” sesuai dengan namanya, Zakheus: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Luk. 19:9-10).

Di akhir Injil Lukas, Kabar Gembira “Hari ini”, bahkan dihadiahkan cuma-cuma kepada “penjahat yang bertobat” di samping Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk. 23:43). Pewartaan keselamatan ini tidak dicanangkan untuk masa depan yang tidak kunjung tiba, melainkan pada “hari ini… sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:21), mirip sekali dengan pesan kunci “hari ini” yang terus berulang dalam Kitab Ulangan (Lihat Ul. 4:8, 26, 39-40; 5:1; 6:6; 7:11; 8:1 dst.).

Sayangnya, tidak semua orang selalu tergerak dengan aktualitas Sabda yang sedemikian memikat. Mudah sekali orang terjebak dalam eksklusivisme primordial dan kepicikan kelompok. Dari ketakjuban dan kekaguman, orang bisa segera berubah diliputi kebencian, tidak mampu memahami bahwa kasih Allah para nabi tidak berbatas bangsa dan bahasa. Allah nabi Elia dan nabi Elisa seolah-olah berpihak pada orang asing dan hal ini menjadi skandal.

Rupanya memang benar, gambaran kita tentang Allah memengaruhi sikap dan perilaku kita terhadap sesama.

David Maria Turoldo, seorang rahib penyair dari Tarekat Hamba-Hamba Maria, mengatakan bahwa “Salah menggambarkan Allah adalah sesuatu hal yang paling buruk, karena mungkin membuat kita salah memahami semua yang lain, salah memahami sejarah dan dunia, yang baik dan yang jahat, hidup dan mati.” Jika Allah digambarkan hanya sebagai pribadi yang menakjubkan kita dengan mukjizat dan special effect-nya, apabila Allah kita bagaikan Deus ex machina, terbatas pada pembantu untuk memecahkan masalah dan bukan yang mengubah hati, maka kita pun belum mampu keluar dari diri sendiri dengan segala prasangka yang kita miliki.

Mengubah batin agar siap untuk menerima wajah Allah yang baru, yang hadir dalam diri Yesus itu bagaikan merombak keyakinan kita dengan satu cara berpikir tidak selalu membuat kita nyaman-nyaman saja. Madah kasih yang terkenal dalam Surat Kedua St. Paulus kepada Jemaat di Korintus itu mengundang kita untuk menjadi lebih rendah hati dalam usaha mendefinisikan apa itu kasih. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati.” (1Kor. 13:4). Namun, begitu dalamnya kasih itu untuk dirumuskan, Paulus lebih suka menyebut apa yang bukan kasih. Lebih sering diungkapnya bahwa kasih itu tidak begini dan tidak begitu. Bahkan, empat definisi yang terakhir sekali pun, yang tampaknya dirumuskan tanpa negasi, tetap mengandung sesuatu yang negatif: “Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1Kor. 13:7).

Kasih itu sejatinya tak terdefinisikan, karena barangkali pertanyaannya bukan apakah kasih itu, melainkan siapakah kasih itu. Oleh karena itu, penulis Surat pertama Yohanes mengatakan “Allah adalah kasih.” (1Yoh. 4:16). Kasih itu adalah nama Allah sendiri, itu sebabnya abadi, tak berkesudahan (1Kor. 13:8) dan lebih besar dari segalanya (Bdk. 1Kor. 13:13).

“Salah menggambarkan Allah adalah sesuatu hal yang paling buruk, karena mungkin membuat kita salah memahami semua yang lain.”

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-76, Minggu, 30/1/2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini