HIDUPKATOLIK.COM – Seorang wanita pekerja migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Agustina Usi Kolen yang bekerja di Malaysia sebagai asisten rumah tangga (ART) meninggal dunia di kota Kinabalu, Malaysia pada 10 Januari 2022 lalu. Kematian Agustina dikarenakan penyakit kanker payudara yang dideritanya.
Kepergian tulang punggung keluarga tersebut mempengaruhi psikologis kedua anaknya yang berada di kampung halaman Desa Kenere, Solor-Flores Timur, NTT. Kedua anaknya itu nekat bunuh diri pada Minggu, 23 Januari 2022.
Berita kematian ibu dan dua orang anaknya itupun lantas mencuat di media massa. “Membaca berita yang ada di media massa terkait kematian ibu pekerja migran Indonesia dan dua anak yang memilih cara bunuh diri, sungguh mengejutkan dan membuat saya sangat prihatin,” ucap Agustina Doren, Wasekjen Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat (PP) Pemuda Katolik kepada HIDUP, Kamis, (27/1/2022).
Kondisi yang dialami oleh keluarga almarhum Agustina patut menjadi perhatian bersama, baik itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan kementerian terkait. Dimana banyak wanita PMI asal NTT yang bekerja di luar negeri mengalami hal yang hampir serupa dengan yang dialami oleh Ibu Agustina.
“Banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT masuk dalam status ‘Kelompok Rentan’ yaitu kelompok yang mengalami kesulitan dalam mencukupi kehidupan keluarganya. Bahkan di antara mereka merupakan perempuan yang sekaligus kepala keluarga. Mereka terpaksa harus memikul tanggung jawab serta menjadi tulang punggung untuk menghidupi anak-anaknya. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan banyak PMI Perempuan asal NTT yang mengadu nasib di luar negeri,” katanya.
Ditambahkan Wasekjen PP Pemuda Katolik ini juga, terkadang para PMI itu tidak mendapat perlindungan hukum yang cukup dari pemerintah pada saat mereka bekerja. Bahkan seringkali keluarga atau anak- anak yang ditinggalkan luput dari perhatian pihak pemangku kebijakan.
“Para pekerja migran sangat rentan apalagi karena jumlahnya yang semakin banyak, sedangkan perlindungan atau pihak yang peduli akan nasib mereka jumlahnya sangat sedikit. Berapa banyak asosiasi Pekerja Migran di kantong-kantong tempat PMI berkumpul saat ini? Contoh di Hongkong, di Singapura ataupun Malaysia? Banyaknya asosiasi Pekerja Migran di tempat mereka bekerja akan secara langsung berimbas kepada semakin banyak pihak yang akan memperjuangkan hak-hak mereka,” papar Agustina Doren.
Dan menurut pengamatan dari Agustina Doren, para pekerja migran Indonesia kebanyakan tidak paham terhadap hak-hak mereka. Pendidikan PMI juga masih rendah. Agen atau PJTKI sangat senang karena para buruh yang berpendidikan rendah tidak memiliki kemampuan bahasa inggris, sedang saat menandatangani kontrak memakai bahasa inggris. Apalagi ada saja oknum dari agensi yang menakut-nakuti mereka, supaya tidak menuntut apapun saat sedang bekerja di negara tujuan mereka, kalau menuntut akan langsung dipulangkan ke Indonesia.
“Bahkan seringkali juga ditemukan dokumen identitas dan keimigrasian mereka palsu, yang sering dipalsukan adalah terkait usia. Belum lagi persoalan paspor kadang ditahan agen. Sehingga seringkali mereka ragu untuk mengadu ke aparat. Kerentanan lain yang dialami pekerja migran Indonesia juga terjadi pada upah yang diberikan berada di bawah standar gaji. Bahkan tidak jarang pula pekerja migran wanita mengalami eksploitasi seksual, dan diskriminasi. ” ungkap Agustina Doren.
Wasekjen Bidang Perempuan dan Anak PP Pemuda Katolik inipun menyarankan untuk pemerintah pusat atau daerah agar lebih memperhatikan nasib para pekerja migran Indonesia khususnya untuk pekerja perempuan. Karena sekitar 70 persen pekerja itu tenaga kerja wanita. Para pekerja migran juga cukup banyak menyumbang devisa untuk negara. Sehingga sangat layak untuk dapat perhatian lebih besar. Perhatian juga perlu diberikan bagi keluarga yang ditinggalkan di tanah air agar peristiwa seperti ini tidak terulang kembali.
“Pemerintah daerah melalui dinas tenaga kerja didorong untuk melakukan pendekatan secara efektif menggali motif rencana kepergian PMI asal NTT ke luar negeri. Mengkaji terkait aspek-aspek hukum dan HAM jika ada dugaan penelantaran secara sengaja oleh pihak terdekat, baik keluarga atau suami,” pungkasnya.
Editor: Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Pemuda Katolik