Boat untuk Rein

175

HIDUPKATOLIK.COM – TAK ada lagi dan telah menghilang bahwa langkah ini hanya bersandiwara dalam melangkah. Bagaimana mungkin putihnya kata-katamu memudar begitu saja. Kusadari tak seharusnya hal ini menjadi hiasan yang begitu pahit untuk kualami. Sekian lama aku mendapat ketenangan darimu dan aku juga beruntung pernah mengalami setiap pengalaman bersamamu. Aku tenggelam dalam panah asmara yang tidak mungkin untuk kukikis begitu cepat. Tulisan-tulisanmu akan menjadi kenangan untukku bahwa dirimu patut untuk menjadi teladan.

Namanya adalah Rein. Pertama kali aku mengenalnya ketika kami duduk di bangku SMA. Setelah beberapa bulan aku berada di sekolah terfavorit  di kota ini, di mataku Rein mempunyai tipe kepribadian yang berbeda dengan laki-laki sekelasnya. Ia duduk di kelas unggulan sedangkan aku di kelas bawahnya. Rein sangat pendiam. Kalau ia tidak diajak berbicara duluan, ia akan diam seribu bahasa. Rein pendiam dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan ia selalu menjadi teladan bagi orang di sekitarnya.

“Ini bukumu, kemarin kamu meninggalkannya di perpustakaan.”

“Oh iya, saya lupa membawanya. Terima kasih ya.” Balasku dengan tersipu malu.

“Sama-sama Cia. Umurmu masih muda, jangan keseringan pikun ya?”

Banyak teman-teman yang tersinggung dengan perkataannya. Meskipun aku dikatakan pikun, aku sudah memahami sifatnya bahwa ia ingin agar aku lebih berhati-hati meletakkan barang. Bagaimana seandainya barang yang tertinggal itu jutaan rupiah? Pengalaman itu sangat berharga bagiku dan aku juga bersyukur berkat kejadian itu aku dipertemukan dengan Rein.

Rein menjadi salah satu alasan sekolah ini menjadi tempat ternyaman bagiku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu istirahat pelajaran di perpustakaan daripada di kantin atau ngobrol dengan teman-teman lainnya. Pertemuan pertama itu membuat aku jatuh pada pandangan pertama. Di saat kenaikan kelas aku memperoleh juara pertaa sehingga aku ditempatkan di kelas unggulan bersama Rein.

“Cia, selamat ya atas terpilihnya untuk Olimpiade Kimia minggu depan.”

“Terima kasih ya. Selamat juga untukmu telah menyelesaikan olimpiade debat contest bahasa Inggrisnya.”

“Iya, semoga hasilnya membanggakan sekolah kita ya?”

“Amin, Rein. Kamu mau ikut gabung bersama kami belajar kelompok kimia enggak? Yah, sambilan kamu membantu kami untuk belajar.”

“Kalian saja ya Cia. Kalau boleh jujur, saya ada devosi yang tidak boleh saya lewatkan,” cetusnya sambil tersenyum tipis.

Usaha memang tidak akan pernah menghianati hasil. Rein meraih nilai tertinggi dalam Olimpiade itu. Ia mengharumkan nama sekolah kami. Di sela-sela jam istirahat aku mengucapkan selamat atas juara yang diraihnya. Tak lupa aku juga bertanya perihal devosi yang dimaksudkannya. Makhlum saja Rein adalah seorang Katolik, sedangkan aku Protestan. Rein menjelaskan sangat jelas kepadaku apa itu devosi dan berjanji akan mengajariku untuk berdevosi.

***

Sudah waktunya kami melepaskan masa SMA. Rein memilih untuk melanjutkan studinya di Seminari Tinggi. Ia memutuskan untuk mengabdikan hidupnya kepada Tuhan. Aku pun harus merelakan kebersamaan yang telah pernah kami jalin. Berbeda denganku, aku akan melanjutkan kuliah di universitas terkenal di kotaku.

Aku dan Rein mempunyai kesibukan masing-masing. Selama masuk ke Seminari, mungkin hanya sekali atau dua kali kami berkomunikasi melalui telepon. Wajar saja sebab mereka belum diperkenankan memakai hape pribadi. Setelah ia menyelesaikan sarjananya, ia memberitahu bahwa ia TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di sebuah kepulauan. Kisah kehidupannya di sana jauh berbeda dibandingkan ketika ia tinggal di seminari. Kebanyakan stasi yang ia kunjungi harus menggunakan boat. Meskipun laut tidak tenang, ia tetap harus pergi berpastoral demi pelayanannya kepada umat setempat. Ia juga bercerita bahwa ketika ombak menerjang, boat mereka terombang-ambing ketinggian hampir dua meter. Begitulah pengalaman singkat yang diceritakan Rein kepadaku.

Aku dan Rein hanya sesekali berkomunikasi karena di tempat ia TOP tidak ada signal. Aku beruntung karena Rein masih meneleponku di saat ia melewati jalur perkotaan yang ada signalnya. Aku juga bercerita kepadanya bahwa aku telah bekerja sebagai pramugari. Sebelum tes masuk universitas dan tes pramugari, aku berdevosi Novena Tiga Salam Maria dan Novena Hati Kudus Yesus. Meskipun aku bukan Katolik, tetapi aku percaya melalui perantaraan Bunda Maria doaku pasti akan dikabulkan. Pada akhirnya doaku dikabulkan Bunda Maria melalui devosi-devosi yang diajarkan Rein kepadaku. Rein juga demikian. Doanya kerapkali dikabulkan melalui devosi-devosinya. Apabila doanya belum dikabulkan ia selalu mengatakan kepadaku bahwa suatu saat nanti doa itu akan tekabulkan dan ia memintaku untuk tidak pernah berhenti berdoa karena Tuhan selalu ada untuk kita.

***

“Selamat pagi, Bu. Apakah Reinnya sudah libur dari TOPnya?” sapaku terhadap Ibu Rein yang sedang menjemur nilam.

“Selamat pagi juga De. Rein tidak akan pernah pulang lagi De?”

“Mengapa Bu, Rein pernah mengatakan kepada saya bahwa akhir bulan Juni ia akan pulang libur TOP?”

“Ia De, apa yang dikatakan Rein itu benar. Tapi Rein sudah pulang tiga bulan yang lalu.”

“Kenapa Bu, apakah TOPnya dipercepat dan melanjutkan studynya lagi?”

“Kita berbicara di dalam sambil minum secangkir teh ya De.”

Cerita itu sungguh menyayat perasaanku. Air mata sebagai tanda kelemahanku keluar menggenangi bola mataku. Ia jatuh tanpa ada rasa malu di hadapan orangtuanya. Aku hanya seorang mantan pacarnya ketika SMA, tidak lebih. Tetapi perasaanku kepada Rein hingga saat ini belum bisa pudar. Ibunya juga ikut menangis bersamaku. Rein telah pergi tiga bulan yang lalu. Ia pergi demi pengabdiannya kepada Tuhan. Waktu itu, Rein berpastoral ke sebuah stasi paling jauh. Hujan deras, badai ikut mengombang-ambingkan boat mereka. Mereka memutuskan untuk singgah di sebuah muara sampai hujan reda dan ombak tenang. Muara itu merupakan tempat persinggahan setiap boat maupun kapal. Mereka memutuskan untuk bermalam di sana karena hujan deras tak kunjung reda. Apabila mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalananan, badai di muara Sibau-bau akan lebih kencang.

Tubuh Rein tidak sanggup lagi untuk menahan dinginnya suhu di laut. Rein telah mendapat pertolongan pertama dari seorang dokter yang bertugas di kapal yang ada di sana. Nyawa Rein tidak dapat tertolong lagi karena badannya sangat drop. Biasanya Rein kuat setiap kali melakukan perjalanan jauh. Ketika di Seminari ia pun tidak pernah sakit. Mungkin Rein terlalu memaksa tubuhnya untuk beraktivitas. Kami berkata bahwa Tuhan lebih mencintai Rein sehingga ia harus meninggalkan kami.

Ibu Rein memutar sebuah lagu kesukaan Rein yang setiap pagi selalu diputarnya untuk mengawali hari-harinya ketika masa SMA. “Kalaku cari damai, hanya kudapat dalam Yesus. Kalaku cari ketenangan hanya kutemui di dalam Yesus. Tak satu  pun dapat menghiburku, tak seoran pun dapat menolongku. Hanya Yesus jawaban hidupku. Bersama Dia hatiku damai, walau dalam lembah kekelaman, bersama Dia hatiku tenang, walau hidup penuh tantangan. Hanya Yesus jawaba hidupku.” Mungkin ini sebabnya Rein tidak pernah mengeluh sedikit pun kepada keluarga atau orang lain di sekitarnya. Kini, nama Rein terlukis indah di boat yang selalu mereka pakai untuk berpastoral.

Oleh Fr. Yohanes Siringo-ringo

HIDUP, Edisi No.04, Tahun ke-75, Minggu, 23 Januari 2022

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini