HIDUPKATOLIK.COM – Ada kisah yang mungkin sudah berulang kali saya ceritakan. Setiap kali rasa kebangsaan terusik, pengalaman ini kembali berputar bak film di layar kepala saya.
Sekian tahun lampau, suatu siang menjelang petang. Di sebuah Kesultanan kaya-raya di Timur Tengah, United Arab Emirates. Saya sedang berada di dalam sebuah sedan mengkilat.
Perjalanan dari Abu Dhabi ke Dubai sungguh membosankan. Hanya berjarak 130 kilometer. Jalan yang lebar dengan aspal yang mulus, ditempuh dalam waktu 1 jam lebih sedikit. Sebetulnya cukup nyaman, apalagi berada dalam mobil mewah yang sejuk dan angler. Semuanya baik-baik saja, kecuali pemandangan di kanan-kirinya.
Sejauh mata memandang, hanya padang-pasir, gersang, kering-kerontang. Kadang terlihat kota kecil dengan sedikit bangunan. Sisanya kering dan kering, pasir dan pasir, kosong dan kosong. Tak ada nuansa hijau mencuat di sana.
Samar-samar, nampak tanaman dengan sedikit daun. Kaktus dan semacam cemara kerdil nun jauh di sana. Tumbuhan lain tak mau hidup. Apalagi berbunga, apalagi berbuah. Jangan harap dedaunan yang rimbun menaunginya.
Tanah kerontang tak hanya di sana. Ada (banyak) cerita mirip tentang pemandangan yang membosankan itu.
Ini kisah di tempat lain.
Suatu pagi menjelang siang. Saya berada di dalam bis besar. Menjelajah jalan raya, dari Perth ke Utara, menuju obyek wisata Pinnacles, daerah Cervantes, Western Australia.
Udara dingin di dalam, tapi di luar panas luarbiasa. Jalan mulus dan lebar, tak banyak hiruk-pikuk dan berisik suara kendaraan. Tak terdengar klakson, atau raungan knalpot motor yang memekakkan telinga. Seolah tak terasa kalau sedang melaju dengan kecepatan 150 km per jam.
Jarak 230 kilometer ditempuh tak sampai 2 jam. Persis sama dengan cerita pertama, semua baik-baik saja, kecuali tanah gersang di sepanjang jalan.
Yang ada hanya gurun dan pasir. Batu-batuan mencuat di sana-sini. Kadang kecil, tiba-tiba sebesar anak gunung, berdiri dengan pongah. Suram, tak ceria. Abu-abu atau coklat. Tak nampak goresan segar. Membuat mata penat memandang.
Banyak pemandangan serupa di bumi ini. Mirip dengan Abu Dhabi ke Dubai atau Perth ke Pinnacles.
Lihat saja Las Vegas ke Grand Canyon selama 4-5 jam. Tak juga ada daun hijau di sana. Tak ada batang, tak ada bunga, apalagi buah. Hanya abu-abu atau coklat, hitam atau putih kekuning-kuningan. Tanaman tak satu pun di sana. Semuanya panas, membosankan.
Jangan bandingkan dengan alam Indonesia. Sering disebut “Nusantara”, atau “Zamrud Katulistiwa”. Bagaikan bumi dan langit.
“Nusantara” langsung merujuk kepada Indonesia atau kepulauan Indonesia. Nusantara adalah Indonesia dan Indonesia adalah Nusantara. Istilah ini tercatat pertama kali dalam Kitab Negarakertagama (Karya : Empu Prapañca, 1365)
“Nusantara” melukiskan konsep kenegaraan yang dianut Kerajaan Majapahit. Kawasan yang mencakup sebagian besar Asia Tenggara, teristimewa wilayah kepulauan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara)
Entah mengapa, saya suka “Nusantara”. Istilah yang mengesankan “kearifan lokal” (local wisdom) yang kental.
“Nusantara” serta-merta menggiring imajinasi langsung ke masyarakat dengan budaya masing-masing daerahnya. “Nusantara” berkonotasi bahasa, suku, adat-istiadat dan keyakinan lokal yang membuat masyarakat Indonesia kaya lahir-batin.
Keindahan yang dipuja oleh banyak seniman melalui karya-karya besar mereka. Simak ekspresi Koes Plus dalam lagu-lagunya saat menggambarkan keajaiban Nusantara.
Mana ada kolam berisi susu?.
Kolam susu tak pernah ada. Itu judul lagu belaka. Hanya gita-puja Koes Plus, kala mengagumi tanah airnya dengan nada kesengsem berat.
“Kolam Susu” hanya metafora tentang betapa indah dan subur tanah air Indonesia.
Tanaman subur di mana-mana, di seluruh Nusantara. Tak perlu menabur pupuk sebagai makanan atau menyiram air sebagai minuman. Rimbun, bahkan berbunga dan berbuah karena alam mendukung dan menyambutnya dengan ramah.
Jangan kata benih atau cangkokan, tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Tak heran kalau disebut tanah surga. Tiada badai, tak ada topan. Ikan dan udang tak usah dipancing, karena suka-rela menghampirimu. Itulah Indonesia, itulah Nusantara.
Abu Dhabi atau Dubai, Perth atau Pinnacles, Las Vegas atau Grand Canyon, jauh lebih beruntung Nusantara. Mereka tak bisa ikut bersenandung bersama Koes Plus menyanyi Kolam Susu. Tak ada pohon yang bisa ditanam, tak punya belukar meski disemai, tak ada hutan alam yang menjadi paru-paru dunia.
Di Nusantara, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, jadi rimba belantara. Hingga sangat tepat kalau Ibu Kota Negara yang baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegera, Kalimantan Timur, dinamakan “Nusantara”. Itulah representasi Indonesia, yang juga disebut “Nusantara”.
Nusantara I (Koes Plus)
Di Nusantara yang indah rumahku….
Kamu harus tahu
Tanah permata tak kenal kecewa….
Di khatulistiwa
Hutannya lebat seperti…..
Rambutku
Gunungnya tinggi seperti…..
Hatiku
Lautnya luas seperti….
Jiwaku
Alamnya ramah seperti….
Senyumku
P.M. Susbandono, Penulis buku kreatif/Kontributor